Share

Bab 123: Bang Udin

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 123: Bang Udin

“Hahaha..! Mas Jokoo.., Mas Joko! Seandainya kamu ada  di sini dan melihat langsung kejadian di kafe dekat stadion ini, kamu pasti tertawa, Mas. Aku saja yang melihat itu lewat remang-remang lampu sampai tak sanggup menahan geli! Untung saja aku bisa menahan suara tawaku, dan Mas Tentara pun langsung membelesakkan kepalaku ke dalam lingkar dadanya, untuk antisipasi kalau ada suara tawa yang sampai keluar dari mulutku. Khawatir juga kami kalau ada yang malu atau tersinggung.”           

“Jadi ceritanya, tadi tuh aku diajak oleh Mas Tentara untuk hang out. Kami jalan-jalan menikmati malam akhir pekan di kota Bandar Baru ini. Seperti biasa Mas Tentara menjemput aku dengan motor gedenya. Bosan wira-wiri sambil ngobrol di jalan raya, Mas Tentara lalu mengajak aku nongkrong di sebuah kafe yang letaknya di dekat stadion.”

Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 124: Foto di Atas Meja

    Bab 124:Foto di Atas Meja Minggu pagi, masih di rumah Alex. Aku dan sahabat karibku ini berbincang-bincang kembali, melanjutkan obrolan semalam yang terpotong akibat keburu disabotase oleh suara dengkurnya. Ia tertidur di sampingku, di depan televisi, dan aku masih menonton sepakbola liga Eropa sebelum kemudian para pemain bola di televisi itu pamit undur diri, meninggalkan aku yang juga tertidur di samping Alex.Pagi ini, daun jendela sudah aku buka semua. Daun pintu juga, setengah saja, supaya udara pagi bisa masuk dan menyegarkan isi rumah Alex ini.“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu merantau di Bandar Baru ini, Ko?” tanya Alex yang belum cuci muka tapi sudah menyulut rokok. Aku rasa, kebiasaan merokoknya itu semakin hari semakin deras saja. 

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 125: Plan C

    Bab 125:Plan C Foto di atas meja Resti itu telah membuatku benar-benar tersanjung. Itu adalah foto diriku dalam kostum voli, yang meskipun hanya dominan menampakkan wajahku namun aku tahu foto itu diambil ketika aku menjalani laga pertama melawan tim Yonif di Walikota Cup beberapa waktu yang lalu.Aku ingat sekali, karena timing shoot dari foto itu bersamaan dengan foto selfie yang kami lakukan berdua di Gelanggang Remaja, di mana salinan foto selfie itu juga ada di dalam ponselku.Jujur aku katakan, hatiku berbunga-bunga mendapati fotoku ada di atas meja belajar Resti itu. Meskipun, di dalam waktu yang bersamaan masih ada Ningsih, yang bayangannya masih saja melambai-lambai di ufuk mataku dan seakan meminta untuk aku kejar.&

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 126: Aku atau Aku

    Bab 126: Aku atau Aku “Gawat, Ko! Gawat!” “Gawat?? Apanya yang gawat??” “Kamu ditunggu Menuk,” jawab Gofur. “Ditunggu Menuk? Di mana?” “Di atas.” “Di atas? Maksud kamu di rooftop?” “Iya.” “Nah, terus, apanya yang gawat?” tanyaku lagi. “Masalahnya, Yana juga menunggu kamu di atas.” “Di rooftop juga?” “Iya.” “Nah, terus?” “Mereka berdua meminta aku, untuk menyuruh kamu menemui mereka berdua.” “Sekarang?” “Iya, sekarang.” Aku tercenung sebentar, membuang pandangan ke samping dan mencari dasar logis dari keberadaan Menuk dan Yana di rooftop dimana keduanya sedang menunggu aku sekarang. “Kira-kira, ada urusan apa ya, Fur?” tanyaku. “Apa lagi kalau bukan urusan status?” sahut Gofur. “Status?” Aku sampai menarik wajah. “Iya, status.” “Aku saja tidak punya akun media sosial b

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 127: Simalakama

    Bab 127:Simalakama “Kamu pilih aku??” tunjuk Yana pada dirinya sendiri.“Atau aku??” sahut Menuk pula sambil menunjuk dirinya sendiri.Aku yang menyaksikan itu.., deg! Langsung bengong seketika. Rasa-rasanya waktu sedang berhenti di sini, dan hanya di rooftop gedung Benua Trada ini saja. Semuanya diam tak ada yang bergerak, angin tak berembus awan tak berarak, bahkan semut yang tadi mau berjalan pun batalkan gerakannya beranjak.Sementara di luar lingkaran rooftop gedung ini semua berjalan normal seperti biasa. Mobil-mobil dan aneka macam kendaraan yang di jalan raya nun di bawah sana berlalu lalang secara normal karena memang tidak ada apa-apa.Aku masih bengong, menatap Yana

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 128: Pacaran Yuk

    Bab 128: Pacaran Yuk “Hahaha..!” Aku tertawa.Beberapa saat kemudian, aku diam.“Hahaha, hahaha..!” Aku tertawa lagi.Beberapa saat kemudian aku masih tertawa, sendiri saja, di puncak gedung Benua Trada ini. Aku tertawa bagai orang gila yang melihat lelucon di atas langit sana. Namun, aku tetap sadar bahwa tertawanya aku ini karena tidak ada lagi yang mampu aku ungkapkan denngan kata-kata.Betapa menggelikannya kehidupan di dunia ini, pikirku. Banyak orang yang mengharapkan sesuatu untuk dirinya sendiri, tetapi sesuatu itu tak kunjung datang menghampiri. Sementara di sisi yang lain, ada banyak sesuatu yang datang kepada seseorang, akan tetapi sesuatu yang datang itu justru tidak pernah diharapkan. Lucu, bukan? Tragis juga, iya.Ah, betapa mengenaskannya hidupku ini, gerutuku sekarang dalam hati.Jika benar suratan nasib seseorang dan juga jodoh adalah ketentuan Tuhan yang fatalis, atau tidak bisa diganggu-gutat, maka meranalah mereka semua serupa Romeo yang menenggak racun di hadapan

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 129: Terserah  

    Bab 129:Terserah “Jadian? Maksud Mas?” tanya Resti.“Iya, maksud aku, kita pacaran yuk?”Resti terdiam. Ia membuang pandangannya ke samping. Entah apa yang menarik di arah kanan sana, tetapi dia tetap memandanginya. Entah juga itu hanya sekadar cara dia menutupi rasa kikuknya. Hatiku mulai berdebar tak keruan seiring tak kunjungnya aku mendapat jawaban.“Resti?” tanyaku pelan.Resti menarik pandangannya lagi dari kejauhan, dan mengalihkannya sekarang ke wajahku. Aku melihat pantulan lampu-lampu di bola matanya yang menghitam bening itu

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 130: Salah Pilih Toples

    Bab 130: Salah Pilih Toples Ki Ageng Gemblung sudah meninggal dunia. Aku mendengar kabar kematian guru spiritualku dulu itu dari Alex. Alex mendengarnya dari seseorang, dan seseorang itu mendengar dari seseorang lain lagi dan terus berantai berkali-kali, dari akar sampai ke pucuk, lalu sampailah kepadaku yang membaca pesan itu di layar ponsel dengan kepala tertunduk. Apakah aku merasa sedih? Iya, sedikit. Akan tetapi, masih lebih menyedihkan bagiku sekarang ini yang tidak juga mendapat kabar tentang ibu maupun Ayu Dyah adikku di kampung halaman sana. Rasanya ada yang mengganjal dan membuatku uring-uringan. Tidurku gelisah dan tidak tenang. Tambahan lagi, aku telah melakukan satu kebohongan besar kepada Resti dan Tante Resmi, dengan mengakui bahwa aku sudah tidak mempunyai orang tua dan juga saudara lagi di dunia ini. Dan Alex, yang telah kuajak bersekongkol tentang kebohongan itu, semakin mengentalkan drama yang aku bangun di hadapan Resti, Tante Resmi dan selur

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 131: Senyum, Salam dan Sapa

    Bab 131:Senyum, Salam dan Sapa Kemudian, aku menjalani hari-hariku seperti orang yang menyibak lembar demi lembar dari sebuah buku cerita, atau dongeng pengantar tidur yang dibacakan untuk anak-anak, atau juga novel romansa yang dibaca bersama oleh pasangan lansia di suatu senja.Sret, sret, srett..! Rasanya begitu cepat waktu berlalu, diam-diam saja dan tidak terasa. Pagi hari aku membuka mata untuk memulai aktifitasku, tahu-tahu aku sudah berada di malam hari dan bersiap untuk kembali memejamkan mataku.Aih, benarlah kata orang, bahwa waktu akan terasa lambat bagi mereka yang tidak disibukkan oleh pekerjaan. Sementara pada saat yang sama, waktu terasa sangat singkat bagi mereka-mereka yang mempunyai banyak hal untuk dikerjakan.&n

Bab terbaru

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 231: Sang Penari

    Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 230: Tamu Tak Diundang

    Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

    Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 228: Nama Asli Sahabat

    Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

    Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 226: Burung Bangau

    Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 225: Kabar dari Tetangga

    Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

    Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 223: Tiket ke Surga

    Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.

DMCA.com Protection Status