Share

Bab 118: Comel

Penulis: Ayusqie
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Bab 118: Comel

Beberapa bulan kemudian..

Aku duduk di dalam sebuah bus metro berwarna biru, yang akan membawaku ke arah barat kota Bandar Baru. Aku akan pergi untuk mengunjungi Alex, dan telah berencana untuk menginap di rumah kontrakannya. Keterlaluan aku memang, sudah hampir setahun sejak berpisah tinggal dari dirinya, namun inilah kali pertama aku bisa pergi mengunjungi dia.

Walaupun Alex bilang aku ini sok sibuk, tapi sungguh aku memang benar-benar sibuk. Bersama diriku ini, aku membawa tas punggung kecil berisi satu setel pakaian dan sebuah ponsel yang rencananya akan aku berikan untuk Alex. Ponsel milik sahabatku itu rusak, dan aku berencana memberikan ponselku ini padanya.

Ponsel ini adalah milikku yang dulu pernah rusak akibat dikeroyok oleh Daud dan Robin, orang suruhan Pak Sadeli itu. Tidak kusangka, ponselku ini ternyata masih bisa diperbaiki, dan orang yang berjasa dalam proses perbaikannya adalah Charles, yaitu si setter atau juru umpan di tim voli STMIK.

Rupa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 119: Orang Misterius di Dalam Bus

    Bab 119:Orang Misterius di Dalam Bus Sungguh aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk tidak jauh di sisi kiriku, dan ternyata sedari tadi ia terus memperhatikan aku!Gerak-gerik orang itu seperti sedang menaksir tinggi badanku, atau menakar strata sosialku dari setelan kaus dan celana jins yang aku pakai, atau mungkin juga dari sepatu sport mahal yang aku dapat dari pemberian Ibu Joyce yang lalu.Aku terus saja tidak menyadari keberadaan orang itu, dan tidak memiliki firasat yang macam-macam. Beberapa menit berikutnya, bus metro berhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang, termasuk satu orang yang tadi duduk persis di sebelahku.Mendapati bangku di sebelahku yang kosong, seseorang yang mis

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 120: Bertandang

    Bab 120: Bertandang Akhirnya, aku sampai juga di jalan Taman Karya. Turun dari bus metro aku kemudian meneruskan perjalananku dengan memesan ojek online. Seorang driver ojek dengan nama Hekal Pratama mem-pick-up aku dari persimpangan, dan membawaku tepat ke sebuah gang yang lumayan lebar, di mana rumah kontrakan Alex dan sekaligus Tante Resmi sang pemilik kontrakan berada. “Terima kasih ya, Bang,” kataku pada sang driver ojek, sembari melungsurkan uang untuk pembayaran. Aku putuskan untuk meneruskan perjalananku sedikit lagi dengan berjalan kaki saja. Hitung-hitung sekalian nostalgia, pikirku. “Eh, Mas, ini kembaliannya!” tahan si driver ojek di belakangku. “Ambil saja, Bang,” sahutku. “Hah? Serius ini?” tanya driver, sampai merasa perlu untuk menahan tanganku. “Iya, tidak apa-apa, ambil saja.” “Waduh, banyak ini lho! Terima kasih banyak ya, Mas?” Aku tersenyum, dan mengangguk. Hanya lima ribu perak uang kem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 121: Kebohongan Yang Berantai

    Bab 121:Kebohongan Yang Berantai Obrolan khas anak muda antara aku dan Resti tentu saja menjadi sedikit terhalang. Apalagi kemudian, Tante Resmi menanyakan sesuatu yang membuatku segera terpaku.“Ngomong-ngomong, orang tua kamu di mana, Joko? Ayah, Ibu, masih ada?”Aku terkesiap. Mendadak sekujur tubuhku menegang di atas sofa yang aku duduki ini. Sementara telingaku sendiri terasa bergerak naik karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Tante Resmi. Aku menyamarkan sikap gugupku dengan tetap menundukkan kepala dan sedikit mengulas senyum.Seumpama peluru yang melintas di depan keningku, secepat itulah bayangan yang teramat pahit dari kehidupanku melintas di dalam benakku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian tragis yang aku alami pasca mendapat fitnah dari Bu Suratih. Akibat fitnah itu ibuku sendi

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 122: Antara Haram, Harum dan Harim

    Bab 122:Antara Haram, Harum dan Harim “Bagaimana malam Minggu kamu?” tanyaku pada Alex.“Seru, Boy! Seru sekali,” jawabnya sambil mengambil duduk, lalu menarik sebatang rokok dan menyulutnya.Alex belum memasukkan motornya ke dalam, masih membiarkannya terparkir di teras, supaya ruang tamu rumahnya yang sempit ini tidak bertambah sempit. Aku lalu bangkit dari posisi berbaringku di karpet dan mengecilkan volume televisi.“Apanya yang seru?” tanyaku lagi penasaran.“Ya, malam mingguannyalah, apa lagi?”“Iya, maksudku, serunya itu bagaimana?”“Aku.., aku..,&rd

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 123: Bang Udin

    Bab 123:Bang Udin “Hahaha..! Mas Jokoo.., Mas Joko! Seandainya kamu ada di sini dan melihat langsung kejadian di kafe dekat stadion ini, kamu pasti tertawa, Mas. Aku saja yang melihat itu lewat remang-remang lampu sampai tak sanggup menahan geli! Untung saja aku bisa menahan suara tawaku, dan Mas Tentara pun langsung membelesakkan kepalaku ke dalam lingkar dadanya, untuk antisipasi kalau ada suara tawa yang sampai keluar dari mulutku. Khawatir juga kami kalau ada yang malu atau tersinggung.”“Jadi ceritanya, tadi tuh aku diajak oleh Mas Tentara untuk hang out. Kami jalan-jalan menikmati malam akhir pekan di kota Bandar Baru ini. Seperti biasa Mas Tentara menjemput aku dengan motor gedenya. Bosan wira-wiri sambil ngobrol di jalan raya, Mas Tentara lalu mengajak aku nongkrong di sebuah kafe yang letaknya di dekat stadion.”

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 124: Foto di Atas Meja

    Bab 124:Foto di Atas Meja Minggu pagi, masih di rumah Alex. Aku dan sahabat karibku ini berbincang-bincang kembali, melanjutkan obrolan semalam yang terpotong akibat keburu disabotase oleh suara dengkurnya. Ia tertidur di sampingku, di depan televisi, dan aku masih menonton sepakbola liga Eropa sebelum kemudian para pemain bola di televisi itu pamit undur diri, meninggalkan aku yang juga tertidur di samping Alex.Pagi ini, daun jendela sudah aku buka semua. Daun pintu juga, setengah saja, supaya udara pagi bisa masuk dan menyegarkan isi rumah Alex ini.“Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kamu merantau di Bandar Baru ini, Ko?” tanya Alex yang belum cuci muka tapi sudah menyulut rokok. Aku rasa, kebiasaan merokoknya itu semakin hari semakin deras saja. 

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 125: Plan C

    Bab 125:Plan C Foto di atas meja Resti itu telah membuatku benar-benar tersanjung. Itu adalah foto diriku dalam kostum voli, yang meskipun hanya dominan menampakkan wajahku namun aku tahu foto itu diambil ketika aku menjalani laga pertama melawan tim Yonif di Walikota Cup beberapa waktu yang lalu.Aku ingat sekali, karena timing shoot dari foto itu bersamaan dengan foto selfie yang kami lakukan berdua di Gelanggang Remaja, di mana salinan foto selfie itu juga ada di dalam ponselku.Jujur aku katakan, hatiku berbunga-bunga mendapati fotoku ada di atas meja belajar Resti itu. Meskipun, di dalam waktu yang bersamaan masih ada Ningsih, yang bayangannya masih saja melambai-lambai di ufuk mataku dan seakan meminta untuk aku kejar.&

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 126: Aku atau Aku

    Bab 126: Aku atau Aku “Gawat, Ko! Gawat!” “Gawat?? Apanya yang gawat??” “Kamu ditunggu Menuk,” jawab Gofur. “Ditunggu Menuk? Di mana?” “Di atas.” “Di atas? Maksud kamu di rooftop?” “Iya.” “Nah, terus, apanya yang gawat?” tanyaku lagi. “Masalahnya, Yana juga menunggu kamu di atas.” “Di rooftop juga?” “Iya.” “Nah, terus?” “Mereka berdua meminta aku, untuk menyuruh kamu menemui mereka berdua.” “Sekarang?” “Iya, sekarang.” Aku tercenung sebentar, membuang pandangan ke samping dan mencari dasar logis dari keberadaan Menuk dan Yana di rooftop dimana keduanya sedang menunggu aku sekarang. “Kira-kira, ada urusan apa ya, Fur?” tanyaku. “Apa lagi kalau bukan urusan status?” sahut Gofur. “Status?” Aku sampai menarik wajah. “Iya, status.” “Aku saja tidak punya akun media sosial b

Bab terbaru

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 231: Sang Penari

    Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 230: Tamu Tak Diundang

    Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 229: Anak Menantu di Dalam Foto

    Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 228: Nama Asli Sahabat

    Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 227: Ampuni Aku, Ibu

    Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 226: Burung Bangau

    Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 225: Kabar dari Tetangga

    Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 224: Perbincangan di Jalan Tol

    Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.

  • Susahnya Jadi Mas Joko   Bab 223: Tiket ke Surga

    Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.

DMCA.com Protection Status