Bab 114: Bersama Orang Yang Kucinta
Detik demi detik yang berlalu dengan amat perlahan ini membuatku merasa melewati siang dan malam dalam waktu yang bersamaan. Aku menelan ludah. Bagai memandang fatamorgana tapi ini begitu nyata. Bagai mengalami mimpi tapi..,
Aku menatap wajah Ibu Joyce yang bercahaya. Aku menatap matanya yang bening serupa kaca. Aku juga menatap rambutnya yang lurus sedikit bergelombang, hidungnya yang bangir dan pipinya yang sedikit tembam. Tidak luput pula aku menatap bibirnya yang merah muda menyala dan tampak basah, menampilkan senyum khas yang seperti sedang mengulum permen pedas.
Kata-kata Ibu Joyce yang terakhir itu benar-benar membuat aku terperangah dan terpana. Di dalam ruang waktu yang seakan-akan berhenti dan diam ini, aku terus saja menatap Ibu Joy
Bab 115:Bayangan di Rinai Hujan Aku mengayuh sepedaku dengan suasana hati yang tak keruan, morat-marit, dan entah bagaimana bentuknya jika diterjemahkan ke dalam bentuk bidang dimensi tiga. Pikiranku terbang serabutan entah ke mana, serupa asap dupa yang melayang meninggalkan bokornya. Ke angkasa, mungkin, atau terbawa angin yang berlalu dari mobil-mobil yang melintas di sebelahku.Hujan gerimis turun dengan tiba-tiba, namun aku tetap melanjutkan kayuhan sepedaku yang rasanya begitu berat malam ini. Aku seperti kuda dengan gerobak pedati, seakan sedang menarik beban dengan bobot ribuan kati.Sekelebat cahaya kilat membelah langit kota Bandar Baru yang gelap, disusul kemudian dengan suara gemuruh dari guntur yang bersambung-sambungan tanpa jeda dan tanpa irama. Aku terus saja men
Bab 116: Cinta Yang Tak Terbeli Hujan hanya menyisakan rintik ketika Joyce Angelique memarkirkan mobil sekenanya saja di halaman. Ia lalu keluar dari mobil dengan sangat tergesa-gesa. Langkah kakinya memasuki rumah dihadang oleh Joko, alias si Manis kucing betina kesayangannya. Namun Joyce tidak menggubris. Ia terus saja masuk ke dalam, melewati kedua orang tuanya yang sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga, juga tanpa kata sapaan. “Joyce..” panggil sang ibu. Joyce bahkan setengah berlari ketika menaiki anak tangga menuju ke lantai atas rumahnya. Sampai di dalam kamar, Joyce mengunci pintu dan segera saja menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, membenamkan wajahnya ke dalam bantal, dan menangis sejadi-jadinya. Suara ketukan di pintu dan juga panggilan dari ibunya yang menyusul tak lama setelah itu pun tak digubris oleh bidadari bersayap kupu-kupu yang sayapnya telah patah ini. Joyce hanya menoleh sebentar, tetapi hanya untuk menjangkau tas jinji
Bab 117:Surat Pemecatan Wanita berusia tiga puluhan yang biasa dipanggil Ibu Dewi ini merasakan sedikit keheranan kala melihat Joyce Angelique, atasan sekaligus bosnya yang tidak seperti biasa. Wajahnya tampak kuyu dan matanya memerah seperti habis bergadang semalaman.Lain dari pada itu, sikap yang ia tampilkan juga sedikit ganjil hari ini. Tidak ada senyuman dan juga sapaan hangat yang selalu ia tebar pada seluruh bawahannya kala memasuki kantor. Sembari menunggu Joyce menandatangani berkas yang baru ia sodorkan tadi, Ibu Dewi terus saja mencoba mencuri pandang pada wajah sang atasan yang tengah menunduk itu. “Ibu Dewi,” panggil Joyce tiba-tiba.“Ya, Bu?”“Tolong buatkan surat pemecatan untuk Joko.”Ibu Dewi terperangah. Dahinya berkerut dan matanya sedikit menyipit. Ia tetap berdiri di depan meja Joyce, menunggu berkas yang masih juga belum d
Bab 118: Comel Beberapa bulan kemudian..Aku duduk di dalam sebuah bus metro berwarna biru, yang akan membawaku ke arah barat kota Bandar Baru. Aku akan pergi untuk mengunjungi Alex, dan telah berencana untuk menginap di rumah kontrakannya. Keterlaluan aku memang, sudah hampir setahun sejak berpisah tinggal dari dirinya, namun inilah kali pertama aku bisa pergi mengunjungi dia. Walaupun Alex bilang aku ini sok sibuk, tapi sungguh aku memang benar-benar sibuk. Bersama diriku ini, aku membawa tas punggung kecil berisi satu setel pakaian dan sebuah ponsel yang rencananya akan aku berikan untuk Alex. Ponsel milik sahabatku itu rusak, dan aku berencana memberikan ponselku ini padanya.Ponsel ini adalah milikku yang dulu pernah rusak akibat dikeroyok oleh Daud dan Robin, orang suruhan Pak Sadeli itu. Tidak kusangka, ponselku ini ternyata masih bisa diperbaiki, dan orang yang berjasa dalam proses perbaikannya adalah Charles, yaitu si setter atau juru umpan di tim voli STMIK.Rupa
Bab 119:Orang Misterius di Dalam Bus Sungguh aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk tidak jauh di sisi kiriku, dan ternyata sedari tadi ia terus memperhatikan aku!Gerak-gerik orang itu seperti sedang menaksir tinggi badanku, atau menakar strata sosialku dari setelan kaus dan celana jins yang aku pakai, atau mungkin juga dari sepatu sport mahal yang aku dapat dari pemberian Ibu Joyce yang lalu.Aku terus saja tidak menyadari keberadaan orang itu, dan tidak memiliki firasat yang macam-macam. Beberapa menit berikutnya, bus metro berhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang, termasuk satu orang yang tadi duduk persis di sebelahku.Mendapati bangku di sebelahku yang kosong, seseorang yang mis
Bab 120: Bertandang Akhirnya, aku sampai juga di jalan Taman Karya. Turun dari bus metro aku kemudian meneruskan perjalananku dengan memesan ojek online. Seorang driver ojek dengan nama Hekal Pratama mem-pick-up aku dari persimpangan, dan membawaku tepat ke sebuah gang yang lumayan lebar, di mana rumah kontrakan Alex dan sekaligus Tante Resmi sang pemilik kontrakan berada. “Terima kasih ya, Bang,” kataku pada sang driver ojek, sembari melungsurkan uang untuk pembayaran. Aku putuskan untuk meneruskan perjalananku sedikit lagi dengan berjalan kaki saja. Hitung-hitung sekalian nostalgia, pikirku. “Eh, Mas, ini kembaliannya!” tahan si driver ojek di belakangku. “Ambil saja, Bang,” sahutku. “Hah? Serius ini?” tanya driver, sampai merasa perlu untuk menahan tanganku. “Iya, tidak apa-apa, ambil saja.” “Waduh, banyak ini lho! Terima kasih banyak ya, Mas?” Aku tersenyum, dan mengangguk. Hanya lima ribu perak uang kem
Bab 121:Kebohongan Yang Berantai Obrolan khas anak muda antara aku dan Resti tentu saja menjadi sedikit terhalang. Apalagi kemudian, Tante Resmi menanyakan sesuatu yang membuatku segera terpaku.“Ngomong-ngomong, orang tua kamu di mana, Joko? Ayah, Ibu, masih ada?”Aku terkesiap. Mendadak sekujur tubuhku menegang di atas sofa yang aku duduki ini. Sementara telingaku sendiri terasa bergerak naik karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Tante Resmi. Aku menyamarkan sikap gugupku dengan tetap menundukkan kepala dan sedikit mengulas senyum.Seumpama peluru yang melintas di depan keningku, secepat itulah bayangan yang teramat pahit dari kehidupanku melintas di dalam benakku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian tragis yang aku alami pasca mendapat fitnah dari Bu Suratih. Akibat fitnah itu ibuku sendi
Bab 122:Antara Haram, Harum dan Harim “Bagaimana malam Minggu kamu?” tanyaku pada Alex.“Seru, Boy! Seru sekali,” jawabnya sambil mengambil duduk, lalu menarik sebatang rokok dan menyulutnya.Alex belum memasukkan motornya ke dalam, masih membiarkannya terparkir di teras, supaya ruang tamu rumahnya yang sempit ini tidak bertambah sempit. Aku lalu bangkit dari posisi berbaringku di karpet dan mengecilkan volume televisi.“Apanya yang seru?” tanyaku lagi penasaran.“Ya, malam mingguannyalah, apa lagi?”“Iya, maksudku, serunya itu bagaimana?”“Aku.., aku..,&rd