Bab 113: Nilai B
Beberapa hari kemudian, aku sudah semakin membaik. Kakiku yang sakit akibat dipukul balok kayu oleh Robin dan Daud sudah benar-benar pulih. Aku sudah bisa mengayuh sepedaku kencang-kencang lagi, sudah bisa berlari, melompat, dan kembali bermain voli bersama rekan-rekan STMIK.
Jika pun masih ada yang tersisa, mungkin hanya sedikit lebam membiru yang berada persis di kelopak mataku bagian bawah. Benar juga kata Ibu Joyce, darah beku akibat luka lebam ini bisa sangat lama sembuhnya. Tak menutup kemungkinan bahkan tidak bisa hilang.
Akan tetapi syukurlah, kombinasi obat sinse antara yang kuminum dan yang kuoleskan pada luka memarku sepertinya membawa dampak yang positif. Proses regenerasi sel-sel mati di dalam tubuhku berjalan dengan begitu cepat. &n
Bab 114:Bersama Orang Yang Kucinta Detik demi detik yang berlalu dengan amat perlahan ini membuatku merasa melewati siang dan malam dalam waktu yang bersamaan. Aku menelan ludah. Bagai memandang fatamorgana tapi ini begitu nyata. Bagai mengalami mimpi tapi..,Aku menatap wajah Ibu Joyce yang bercahaya. Aku menatap matanya yang bening serupa kaca. Aku juga menatap rambutnya yang lurus sedikit bergelombang, hidungnya yang bangir dan pipinya yang sedikit tembam. Tidak luput pula aku menatap bibirnya yang merah muda menyala dan tampak basah, menampilkan senyum khas yang seperti sedang mengulum permen pedas.Kata-kata Ibu Joyce yang terakhir itu benar-benar membuat aku terperangah dan terpana. Di dalam ruang waktu yang seakan-akan berhenti dan diam ini, aku terus saja menatap Ibu Joy
Bab 115:Bayangan di Rinai Hujan Aku mengayuh sepedaku dengan suasana hati yang tak keruan, morat-marit, dan entah bagaimana bentuknya jika diterjemahkan ke dalam bentuk bidang dimensi tiga. Pikiranku terbang serabutan entah ke mana, serupa asap dupa yang melayang meninggalkan bokornya. Ke angkasa, mungkin, atau terbawa angin yang berlalu dari mobil-mobil yang melintas di sebelahku.Hujan gerimis turun dengan tiba-tiba, namun aku tetap melanjutkan kayuhan sepedaku yang rasanya begitu berat malam ini. Aku seperti kuda dengan gerobak pedati, seakan sedang menarik beban dengan bobot ribuan kati.Sekelebat cahaya kilat membelah langit kota Bandar Baru yang gelap, disusul kemudian dengan suara gemuruh dari guntur yang bersambung-sambungan tanpa jeda dan tanpa irama. Aku terus saja men
Bab 116: Cinta Yang Tak Terbeli Hujan hanya menyisakan rintik ketika Joyce Angelique memarkirkan mobil sekenanya saja di halaman. Ia lalu keluar dari mobil dengan sangat tergesa-gesa. Langkah kakinya memasuki rumah dihadang oleh Joko, alias si Manis kucing betina kesayangannya. Namun Joyce tidak menggubris. Ia terus saja masuk ke dalam, melewati kedua orang tuanya yang sedang duduk menonton televisi di ruang keluarga, juga tanpa kata sapaan. “Joyce..” panggil sang ibu. Joyce bahkan setengah berlari ketika menaiki anak tangga menuju ke lantai atas rumahnya. Sampai di dalam kamar, Joyce mengunci pintu dan segera saja menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, membenamkan wajahnya ke dalam bantal, dan menangis sejadi-jadinya. Suara ketukan di pintu dan juga panggilan dari ibunya yang menyusul tak lama setelah itu pun tak digubris oleh bidadari bersayap kupu-kupu yang sayapnya telah patah ini. Joyce hanya menoleh sebentar, tetapi hanya untuk menjangkau tas jinji
Bab 117:Surat Pemecatan Wanita berusia tiga puluhan yang biasa dipanggil Ibu Dewi ini merasakan sedikit keheranan kala melihat Joyce Angelique, atasan sekaligus bosnya yang tidak seperti biasa. Wajahnya tampak kuyu dan matanya memerah seperti habis bergadang semalaman.Lain dari pada itu, sikap yang ia tampilkan juga sedikit ganjil hari ini. Tidak ada senyuman dan juga sapaan hangat yang selalu ia tebar pada seluruh bawahannya kala memasuki kantor. Sembari menunggu Joyce menandatangani berkas yang baru ia sodorkan tadi, Ibu Dewi terus saja mencoba mencuri pandang pada wajah sang atasan yang tengah menunduk itu. “Ibu Dewi,” panggil Joyce tiba-tiba.“Ya, Bu?”“Tolong buatkan surat pemecatan untuk Joko.”Ibu Dewi terperangah. Dahinya berkerut dan matanya sedikit menyipit. Ia tetap berdiri di depan meja Joyce, menunggu berkas yang masih juga belum d
Bab 118: Comel Beberapa bulan kemudian..Aku duduk di dalam sebuah bus metro berwarna biru, yang akan membawaku ke arah barat kota Bandar Baru. Aku akan pergi untuk mengunjungi Alex, dan telah berencana untuk menginap di rumah kontrakannya. Keterlaluan aku memang, sudah hampir setahun sejak berpisah tinggal dari dirinya, namun inilah kali pertama aku bisa pergi mengunjungi dia. Walaupun Alex bilang aku ini sok sibuk, tapi sungguh aku memang benar-benar sibuk. Bersama diriku ini, aku membawa tas punggung kecil berisi satu setel pakaian dan sebuah ponsel yang rencananya akan aku berikan untuk Alex. Ponsel milik sahabatku itu rusak, dan aku berencana memberikan ponselku ini padanya.Ponsel ini adalah milikku yang dulu pernah rusak akibat dikeroyok oleh Daud dan Robin, orang suruhan Pak Sadeli itu. Tidak kusangka, ponselku ini ternyata masih bisa diperbaiki, dan orang yang berjasa dalam proses perbaikannya adalah Charles, yaitu si setter atau juru umpan di tim voli STMIK.Rupa
Bab 119:Orang Misterius di Dalam Bus Sungguh aku tidak menyadari bahwa ada seseorang yang duduk tidak jauh di sisi kiriku, dan ternyata sedari tadi ia terus memperhatikan aku!Gerak-gerik orang itu seperti sedang menaksir tinggi badanku, atau menakar strata sosialku dari setelan kaus dan celana jins yang aku pakai, atau mungkin juga dari sepatu sport mahal yang aku dapat dari pemberian Ibu Joyce yang lalu.Aku terus saja tidak menyadari keberadaan orang itu, dan tidak memiliki firasat yang macam-macam. Beberapa menit berikutnya, bus metro berhenti di sebuah halte untuk menurunkan penumpang, termasuk satu orang yang tadi duduk persis di sebelahku.Mendapati bangku di sebelahku yang kosong, seseorang yang mis
Bab 120: Bertandang Akhirnya, aku sampai juga di jalan Taman Karya. Turun dari bus metro aku kemudian meneruskan perjalananku dengan memesan ojek online. Seorang driver ojek dengan nama Hekal Pratama mem-pick-up aku dari persimpangan, dan membawaku tepat ke sebuah gang yang lumayan lebar, di mana rumah kontrakan Alex dan sekaligus Tante Resmi sang pemilik kontrakan berada. “Terima kasih ya, Bang,” kataku pada sang driver ojek, sembari melungsurkan uang untuk pembayaran. Aku putuskan untuk meneruskan perjalananku sedikit lagi dengan berjalan kaki saja. Hitung-hitung sekalian nostalgia, pikirku. “Eh, Mas, ini kembaliannya!” tahan si driver ojek di belakangku. “Ambil saja, Bang,” sahutku. “Hah? Serius ini?” tanya driver, sampai merasa perlu untuk menahan tanganku. “Iya, tidak apa-apa, ambil saja.” “Waduh, banyak ini lho! Terima kasih banyak ya, Mas?” Aku tersenyum, dan mengangguk. Hanya lima ribu perak uang kem
Bab 121:Kebohongan Yang Berantai Obrolan khas anak muda antara aku dan Resti tentu saja menjadi sedikit terhalang. Apalagi kemudian, Tante Resmi menanyakan sesuatu yang membuatku segera terpaku.“Ngomong-ngomong, orang tua kamu di mana, Joko? Ayah, Ibu, masih ada?”Aku terkesiap. Mendadak sekujur tubuhku menegang di atas sofa yang aku duduki ini. Sementara telingaku sendiri terasa bergerak naik karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Tante Resmi. Aku menyamarkan sikap gugupku dengan tetap menundukkan kepala dan sedikit mengulas senyum.Seumpama peluru yang melintas di depan keningku, secepat itulah bayangan yang teramat pahit dari kehidupanku melintas di dalam benakku. Sampai kapan pun aku tidak akan melupakan kejadian tragis yang aku alami pasca mendapat fitnah dari Bu Suratih. Akibat fitnah itu ibuku sendi
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.