Siska menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa yang ada di ruangan Haris. Kini Ika tengah membantu Siska untuk membersihkan luka itu, sedangkan Haris sendiri sudah pergi ke ruang meeting.
“Nggak nyangka banget kalo semua ini karena ulah Dewi, Kaa. Di balik sikap baiknya ternyata dia nggak suka sama aku,” keluh Siska dengan pandangan kosong.
Ia memang tidak mengharuskan semua orang untuk selalu menyukai dirinya. Namun, dibenci tanpa alasan seperti ini oleh seseorang yang dianggap sebagai teman yang baik rasanya sudah pasti tidak mengenakan.
“Iya, Mba sama. Padahal setahu aku ya selama di
“Mama!” sarkas Haris yang entah sudah sejak kapan berdiri di ambang pintu. Kemudian, dengan cepat ia segera menutup pintu ruangannya agar para karyawannya tidak akan ada yang mendengar percakapan ini. Sudah cukup permasalahan Dewi saja yang membuat suasana kantor menjadi riuh dan kacau. Ia tak ingin jika sampai hal ini kembali membuat Siska dalam masalah dan justru benar-benar memilih untuk meninggalkan pekerjaan ini dari kantornya. “Meetingnya sudah selesai?” Rosalinda pun bangkit dan menghampiri sang putra. “Mama tolong jangan memperkeruh keadaan. Siska mau kembali ke sini aja Haris udah bersyukur, tapi apa yang justru Mama perbuat. Mama
Hari ini terasa begitu panjang bagi Siska dengan masalah demi masalah yang menghampiri paginya hampir membuatnya putus asa. Masalah satu selesai, namun masalah baru justru kembali hadir. Bahkan menurutnya jauh lebih mengganggu ketenangan dan kenyamanannya. “Astagfirullah!” Siska menghela napas berat sembari memejamkan kedua matanya. Begitu masuk rumah dan melihat putri kecilnya yang langsung berlari ke arah dirinya membuat beban di pundak Siska sedikit mereda. Senyuman Qila mampu membuatnya sejenak melupakan segala kepenatan yang terjadi hari ini. “Tangan Bunda kenapa?” Aqila meraih kedua tangan Siska dengan wajah yang mur
“Nggak, Ma. Ini Haris nganter Ilham keluar ketemu sama anaknya.” Rosalinda sudah tahu kalau menantu Pak Kyai itu adalah seorang laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak. Namun, baru sore tadi juga ia tahu kalau istri pertama Ilham itu adalah Siska dari orang suruhannya. Hal itu membuat Rosalinda mempunyai sebuah ide cemerlang untuk membuat anaknya tidak menjadikan janda itu sebagai menantunya. “Oalah sama Ilham. Ya sudah nanti sebelum kembali ke rumah Pak Kyai ajak Ilham ke rumah, ya. Ada yang mau Mama omongin sama dia.” Haris menyatukan kedua alisnya curiga, “mau ngapain lagi mama ini,” batinnya seraya menghela napas
Jam masih menununjukkan pukul 3 dini hari dan Siska sudah terbangun dari tidurnya. Perlahan ia menyingkirkan tangan putrinya yang sejak semalam memeluknya. Di pandangi wajah cantik nan manis putrinya itu sembari tersenyum. Sesungguhnya ada rasa sedih kala menatap wajah sang putri. Siska tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk menemani tumbuh kembang putrinya seperti beberapa tahun belakang ini. Wanita itu harus bekerja demi mencukupi kebutuhan sang putri dan keluarga. Apa saja akan ia lakukan agar keluargnya bisa hidup dengan layak, agar tak bergantung pada orang lain. Tak ia pungkiri, bahwa masa-masa ini terasa sedikit berat untuknya. Ia teringat dengan kehidupannya yang dulu, di mana sebuah keluarga kecil y
Siska sendiri berusaha untuk tidak menghiraukan Rosalinda yang sangat memperlihatkan dengan jelas bahwa Ibu dari sang pemilik perusahaan itu tak menyukai dirinya. Tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu yang jelas Siska hanya akan berusaha fokus untuk bekerja saja, tanpa ada niatan yang lain. Biarlah seseorang membencinya, asalkan tidak sampai membuat dirinya dalam bahaya. Siska tetap melanjutkan kegiatannya siang ini dengan menghabiskan makan siangnya. Ia bergabung pada 3 karyawan perempuan dan 2 laki-laki. “Denger-denger perempuan tadi yang sama Bu Rosalinda itu jebolan univ di Amerika loh, keren banget kan, ya,” seru Hana lalu meminum segelas es tehnya.&
“Bunda...” panggil Qila seraya mendongak menatap wajah Siska. Gadis kecil itu kini tengah memakai mukena berwarna merah maroon sembari memegang iqro di tangan kanannya. Ia baru saja belajar membaca bersama dengan sang Bunda. Siska sendiri melihat sang putri nampak sedang gelisah, entah apa yang sedang gadis kecil itu pikirkan, “ada apa, Sayang?” tanyanya sembari mengusap lembut kedua pipi Aqila. Bukannya menjawab justru Aqila menundukkan pandangannya seraya menghela napas kecil. “Hey, Sayang. Ada apa?” Siska mengangkat tubuh kecil Aqila ke dalam pangkuannya. Mengangkat dagu putri kecilnya itu agar kembali menatap dirinya. “Qila sangat bosan, Bunda. Setiap hari Qila hanya bersama nenek dan kakek. Kalau enggak di rumah, ya ke toko. Qila mau pergi jalan-jalan kaya waktu sama ayah dulu. Qila bosen banget di rumah ini, Qila pengen tinggal di rumah kita lagi, Bunda...” rengek Aqila dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Beberapa minggu sudah terlewati. Siska semakin sibuk dengan pekerjaannya dan Aqila sudah kembali membaik. Namun, sayangnya sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi mantan suaminya selalu tidak bisa. Hingga pagi siang ini saat mengantarkan dokumen ke ruangan Haris, ia mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya. Walau memang selama ini obrolan mereka hanya seputar pekerjaan saja, karena Siska selalu berusaha menjauh dari Ilham. Bahkan wanita itu sering sekali membuat alasan agar tak berlama-lama berada di ruangan atasannya itu. Ajakan makan siang pun selalu ia tolak dan beberapa minggu ini juga Siska sering kali melihat Haris tengah keluar bersama dengan Syakira. Membuat Siska sendiri menjadi lebih tenang, karena dengan begitu Rosalinda pasti tidak akan lagi berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya. Tok... Tok... Tok... “Assalamualaikum, Pak,” seru Siska dari luar. “Waalaikum salam, iya silahkan masuk.”
Perlahan Siska kembali mengangkat kepalanya, melihat sosok Haris yang kini tengah berdiri di hadapannya. Tubuh laki-laki itu yang begitu tinggi membuat Siska harus sedikit mendongakkan kepalanya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. “Saya belum ada pikiran sejauh itu, Pak,” balas Siska sembari tersenyum tipis. Haris melipat kedua bibirnya ke dalam, lalu ia menyunggingkan senyum terbaiknya seraya berkata, “iya, Siska. Saya paham, semoga masa lalumu nggak membuatmu jadi trauma sama laki-laki, ya. Nggak semua laki-laki itu sama.” Siska mengangguk pelan dan tetap dengan senyum di bibirnya. Kadang ia juga teringat dengan perkataan Rosalinda sewaktu pertama kali mereka bertemu, tentang Haris yang telah jatuh hati kepadanya. Kalau Siska perhatikan Haris ini memang sangat jauh lebih tampan dari mantan suaminya. Bahkan sikapnya yang ramah, tegas dan bijaksana membuat banyak wanita langsung jatuh hati kepada lelaki
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk