Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Setelah menunaikan ibadah solat isya, Siska mengadahkan kedua tangannya, memohon kepada Allah SWT. Agar selalu menjaga suami tercintanya saat berada dimana saja. Suaminya adalah seroang lelaki berambut hitam lekat dengan perawakannya yang tinggi. Wajah berseri, mata kecoklatan dengan hindung mancung, serta ditambah dengan rahang yang ditumbuhi dengan bulu-bulu halus yang nyaris menyamai pangeran dari negeri Arab. Ia adalah sosok laki-laki yang bertanggung jawab dan penyayang dalam keluarga, serta taat beribadah. Sekalipun ia tak pernah alpa untuk membahagiakan Siska, lahir, dan batin. Bagaimana Siska tak semakin cinta pada suaminya jika semua sikap manis dan perhatiannya membuat hati Siska seakan di tumbuhi bunga-bunga yang disirami air surga? Setiap pagi suaminya itu selalu memberikan senyum manis dan pelukan hangat untuk Siska. Namun, sudah empat hari ini suaminya belum pulang ke rumah karena pergi keluar kota, ada beberapa ur
Ini sangat menyesakkan dada Siska, apa tidak ada laki-laki lain sehingga beliau memilih suami Siska untuk menikahi putrinya? Segala pertanyaan berkecambuk dalam benak Siska. "Tapi, kenapa harus kamu yang menikahi anaknya, Mas?" "Mas bingung, Siska. Kyai itu yang meminta Mas untuk menikahi anaknya waktu itu juga karena ia tahu keadaanya sedang sangat kritis," jawab Ilham. "Memangnya Kyai itu kenal sama Mas Ilham, sehingga beliau percaya untuk menikahkan anaknya sama Mas?" "Mas sempat beberapa kali berkunjung ke pondok itu bersama dengan teman-teman lama Mas, untuk sekedar menghadiri kajian atau terkadang mengisi sebuah kelas. Dan pernah sekali Mas berkunjung ke rumah beliau," jelas Ilham dengan sangat lembut, ia takut istrinya semakin merasa sakit hati dengan apa yang telah ia katakan. Memang ini bukan lah kemauan atas dirinya sendiri, ia sama sekali tak berniat memberi adik madu untuk istrinya yang telah menemaninya dari nol
Ilham menghela napas dan menatap Siska dengan lembut, ia sangat paham dengan kekecewaan yang kini sedang Siska alami. Ia hanya berusaha bersikap baik kepada istrinya itu agar perlahan Siska mau menerima kenyataan ini. "Siska! Ini kan sudah malam, minum dulu airnya terus tidur, ya! Kasian Qila," ujar Ilham menatap istri dan anaknya dengan penuh kasih sayang dan sangat berhati-hati. Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwa Siska, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali Siska mengengar suara lembut yang keluar dari mulut Ilham. Siska tak menjawab sedikit pun atau menerima segelas air yang telah Ilham bawakan, bahkan Siska enggan menatap wajah suaminya itu. "Ini airnya," ucap Ilham seraya meletakan segelas air itu di atas meja. Kemudian, ia mengambil tempat duduk di sisi kasur Siska. Istri pertama Ilham itu hanya terdiam dan tatap matanya kosong sembari meneteskan air mata, Ilham merasa sangat iba melihat kondisi istr
Siska terdiam dengan tatapan kosong, saat ini perasaanya hampa dan satu-satunya yang tersisa hanyalah rasa sesak di dalam dadanya, ia sudah putus asa dengan nasib keluarga kecilnya. Ia kehilangan harapan dan semangat hidup, kehilangan suami yang sangat ia cintai dan kehilangan sumber kebahagiaan. Ini sungguh cobaan yang sangat berat bagi Siska, ia merasa tidak mampu menjalani semua kepahitan ini. "Ma-maafkan aku ya, Sayang," ucap Ilham sambil memeluk Siska, namun dengan segera Siska melepaskan pelukan suaminya itu. "Tinggalkan aku dulu, Mas! Aku ngga bisa sekarang, aku masih shock. Aku belum bisa menerima kenyataan pahit ini, Mas." "Ya sudah kamu istirahat dulu ya!" ucapnya lirih, lalu mengecup kening istirnya itu. "Bunda kenapa, Yah? Sakit ya?" tanya Aqila dengan polos kepada Ayahnya. "Iya sayang, Bunda lagi sakit. Kamu jagain Bunda ya! Ayo kamu lanjut lagi bobonya!" Ilham merebahkan tubuh mungil putrinya di samping S
Siska turun dari kasurnya lalu menjatuhkan diri di lutut Ilham lagi seperti tadi malam lalu, memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. "Siska apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri!" Ilham segera mengangkat bahu Siska untuk bangun tapi istrinya itu enggan dan tetap memilih untuk berlutut di hadapannya. "Aku ngga sanggup di madu, Mas, ngga sanggup. Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Aku ngga kuat jika harus satu atap dengan maduku itu. Ng-ngga kuat, Mas." Siska meratap pilu, menangis tersedu-sedu dan memohon agar ia segera di jauhkan dari wanita yang telah membuat keluarganya yang dulu bahagia dan penuh dengan kehangatan dari suaminya kini berubah menjadi neraka hanya dalam satu malam saja. "Ngga! Sampe kapan pun Mas ngga akan ceraikan kamu." "Egois sekali kamu, Mas!" "Dengar ya, Mas!" kata Siska dengan air mata yang lagi-lagi mengucur dengan sendirinya, "selama dia di sini, aku ngga akan bahagia sed