Share

Bab 2. Tidak Ihklas

           Ini sangat menyesakkan dada Siska, apa tidak ada laki-laki lain sehingga beliau memilih suami Siska untuk menikahi putrinya? Segala pertanyaan berkecambuk dalam benak Siska.

          "Tapi, kenapa harus kamu yang menikahi anaknya, Mas?"

          "Mas bingung, Siska. Kyai itu yang meminta Mas untuk menikahi anaknya waktu itu juga karena ia tahu keadaanya sedang sangat kritis," jawab Ilham.

          "Memangnya Kyai itu kenal sama Mas Ilham, sehingga beliau percaya untuk menikahkan anaknya sama Mas?"

          "Mas sempat beberapa kali berkunjung ke pondok itu bersama dengan teman-teman lama Mas, untuk sekedar menghadiri kajian atau terkadang mengisi sebuah kelas. Dan pernah sekali Mas berkunjung ke rumah beliau," jelas Ilham dengan sangat lembut, ia takut istrinya semakin merasa sakit hati dengan apa yang telah ia katakan.

          Memang ini bukan lah kemauan atas dirinya sendiri, ia sama sekali tak berniat memberi adik madu untuk istrinya yang telah menemaninya dari nol sampai suskes seperti sekarang ini.

          Semua ini terjadi karena keterpaksaan dan karena ia adalah laki-laki yang bertanggung jawab, ia rela untuk menikahi anak perempuan dari Kyai yang telah ia tabrak demi untuk menebus rasa bersalahnya.

          Walaupun, hal itu akan menyakiti hati istri tercintanya dan menjadi boomerang untuk keluarga kecil yang telah ia dan Siska bina selama empat tahun lebih.

         "Kenapa Mas tidak bertanya dulu padaku? Bukan kah Mas juga tahu, kalau Mas Ilham hendak menikah lagi itu harus ada persetujuan dari istri pertama?" tanya Siska dengan nada yang semakin lirih dan bibirnya bergetar.

         "Sayang, Mas benar-benar minta maaf sama kamu. Mas tetap mencintai dan menyayangimu," ucap Ilham berusaha menenangkan Siska yang sedang larut dalam kesedihannya.

         "Ngga! Mas Bohong!" Siska memalingkan wajahnya.

          Bagaimana bisa wajah seteduh dan setenang itu bisa menciptakan rasa sakit yang begitu hebat? Ia masih tak mempercayai akan hal yang telah terjadi padanya.

         "Aku tidak Ihklas, Mas! Benar-benar tidak ihklas, jika harus berbagi suami yang sangat aku cintai dengan wanita lain."

         "Mas tidak akan menyentuhnya jika kamu tidak meridhoi-nya, Sayang."

          "Jangan seperti itu, Mas! Mas tidak boleh berperilaku tidak adil kepada istri-istrimu, atau nanti di hari akhir Mas akan berjalan dengan badan yang miring sebelah," ujar Siska dengan berat hati, walaupun ia tidak ihklas tapi ia tidak membiarkan suaminya untuk salah jalan.

          Nabila berjalan ke arah Siska dan berniat menolongnya.

          "Jangan..... jangan sentuh aku! Kalian licik dan sangat jahat kepadaku."

          Nabila mundur beberapa langkah dari hadapan Siska.

          "Kamu, wanita yang terlahir dari keluarga terhormat dan agamis, kenapa tega-teganya merusak kebahagiaan wanita lain? Kenapa? Katakan!" Siska kalap dalam tangisnya.

         "Maaf, Mba."

          "Maaf katamu?" ujar Siska dan bangkit dengan membelalakan kedua matanya, ia bersiap-siap untuk mencakar Nabila, tapi dengan sigap Ilham langsung memeluk Siska dengan kuat.

          "Lepas, Mas! Lepasin aku!" Siska berusaha memberontak namun usahanya gagal karena tubuh kekar Ilham telah mengukung dirinya.

         "Tenang, Siska! Istighfar!" ucap Ilham seraya menepuk-nepuk pundak Siska.

         "Mas jahat... jahat." Siska terus memukul dada Ilham dengan sekuat tenaga.

         "Aku mau cerai! Sekarang juga!" Aqila yang mendengar keributan dari luar kamarnya pun terbangun, lalu menangis dan memanggil-manggil bundanya.

         "Bunda... Bunda." tangis Aqila.

         Lama-lama penglihatan Siska buram, tubuhnya lemas lalu semuanya menggelap.

         Siska jatuh pingsan di pelukan Ilham, sontak Ilham tersentak memandang wajah pucat Siska. Ia sangat khawatir kepada Siska, tapi ini semua sudah terjadi. Mau tidak mau, Siska harus belajar ikhlas untuk menerima kenyataan bahwa Ilham telah menikah lagi.

         "Siska, Sis." Ilham mencoba membangunkan Siska sembari menepuk ringan pipi wanita yang sangat ia cintai itu.

         "Kamu masuk saja dulu ke kamar, itu kamar kamu," ucap Ilham kepada Nabila seraya mengangkat dagunya ke arah kamar tamu yang berada di dekat pintu ruang tamu.

         "Iya, Mas." Nabila mengganggukan kepalanya, lalu segera melangkah pergi.

         "Sayang, maafin Mas Ilham, ya," ucap Ilham lirih lalu mengangkat tubuh Siska dan merebahkannya ke atas kasur.

          Ia melihat putri kecilnya yang menangis memanggil-manggil Bundanya.

         "Ayah." Aqila memanggil Ayahnya dengan sangat lembut, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu. Putrinya itu sangat merindukan Ayahnya, begitu juga sebaliknya.

         "Hai, Sayang!" Ilham merentangkan kedua tangannya, memeluk tubuh mungil putri kecilnya dan menghujaninya dengan ciuman.

         "Ayah kemana aja si, kok ngga pulang-pulang? Kan Qila kangen sama Ayah," ucap Aqila dengan sangat manja dan lugu.

        Segala kepenatan yang telah menimpa Ilham sekita lenyap setelah bertemu dengan putrinya, ia dapat melupakan sejenak segala beban berat yang sedang dipikulnya.

        "Maafin Ayah ya Qila, Ayah ada urusan jadi baru bisa pulang sekarang," ucap Ilham dengan lembut sambil mengusap kepala Aqila.

        "Yang penting sekarang Ayah udah ada di sini, kan?" Ilham tersenyum dengan sangat lebar dan Aqila pun ikut tersenyum, lalu memeluk Ayahnya dengan sangat erat.

        "Maaf Ayah telah membuat Bunda terluka, Sayang," batin Ilham dan tak sadar buliran air menetes dari mata kanannya. Dan dengan segera ia pun mengusapnya sebelum Aqila melihatnya.

          Pelan-pelan mata Siska terbuka, ia mendengar putrinya, Aqila memanggil sembari menepuk kecil pipinya.

          Siska menyadari bahwa kini ia sedang terbaring lemah tak berdaya di kasurnya. Ketika ia ingin bangkit, kepalanya berdenyut semakin kuat dan terasa sangat sakit.

          Ia mencoba mengingat peristiwa yang telah terjadi hingga ia bisa terbaring lemah seperti ini. Ah iya, suaminya telah menikah lagi dengan anak seorang kyai yang tak sengaja tertabrak oleh mobil Avanza milik suaminya itu.

         Membuat tubuh Siska nyaris tak bertulang, air matanya kembali menetes, ia kecewa, perasaannya terluka dan rasa cintanya terkoyakkan.

         "Bagaimana bisa Mas Ilham melakukan ini padaku? Apa salahku? Dosa apa yang telah aku lakukan hingga ia begitu tega menyakiti hatiku? Padahal selama ini aku selalu menjaga kehormatanku sebagai istrinya, merawat dan menjaga anak, setia menunggunya di rumah selama ia bekerja, patuh pada perintah dan larangannya. Tapi, apa balasan yang telah ia berikan padaku?" batin Siska, ia sangat kecewa berat kepada Ilham.

         "Ya Allah, berikahlah hamba kesabaran dan lapangkan hati hamba untuk menerima segala ketetapanmu," bisik Siska sendiri sambil memeluk tubuh mungil Aqila.

         Ilham mengetuk pintu kamar, lalu membukanya dengan perlahan. Ia melihat anak dan istrinya sedang berpelukan, diiringi dengan tangisan dari Siska.

          "Minum dulu, Siska!" ucap Ilham yang kini telah duduk di sebelah Siska sembari membawakan segelas air.

          Sekarang Siska sudah tak sanggup lagi menatap wajah orang yang selama ini menjadi sumber kebahagiaannya, namun dalam sekejap berubah manjadi luka yang sangat menyakitkan.

         Seorang yang dulu selalu ia rindukan, tatapannya, pelukan hangatnya, senyuman di bibirnya dan tatap matanya yang menjadi penentram jiwanya. Kini musnah semuanya, rasa cinta dan segalanya.

         "Buat apa Mas ke sini? Urus saja istri barumu!" ucap Siska dengan nada ketus sambil mengusap pipinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status