Ini sangat menyesakkan dada Siska, apa tidak ada laki-laki lain sehingga beliau memilih suami Siska untuk menikahi putrinya? Segala pertanyaan berkecambuk dalam benak Siska.
"Tapi, kenapa harus kamu yang menikahi anaknya, Mas?"
"Mas bingung, Siska. Kyai itu yang meminta Mas untuk menikahi anaknya waktu itu juga karena ia tahu keadaanya sedang sangat kritis," jawab Ilham.
"Memangnya Kyai itu kenal sama Mas Ilham, sehingga beliau percaya untuk menikahkan anaknya sama Mas?"
"Mas sempat beberapa kali berkunjung ke pondok itu bersama dengan teman-teman lama Mas, untuk sekedar menghadiri kajian atau terkadang mengisi sebuah kelas. Dan pernah sekali Mas berkunjung ke rumah beliau," jelas Ilham dengan sangat lembut, ia takut istrinya semakin merasa sakit hati dengan apa yang telah ia katakan.
Memang ini bukan lah kemauan atas dirinya sendiri, ia sama sekali tak berniat memberi adik madu untuk istrinya yang telah menemaninya dari nol sampai suskes seperti sekarang ini.
Semua ini terjadi karena keterpaksaan dan karena ia adalah laki-laki yang bertanggung jawab, ia rela untuk menikahi anak perempuan dari Kyai yang telah ia tabrak demi untuk menebus rasa bersalahnya.
Walaupun, hal itu akan menyakiti hati istri tercintanya dan menjadi boomerang untuk keluarga kecil yang telah ia dan Siska bina selama empat tahun lebih.
"Kenapa Mas tidak bertanya dulu padaku? Bukan kah Mas juga tahu, kalau Mas Ilham hendak menikah lagi itu harus ada persetujuan dari istri pertama?" tanya Siska dengan nada yang semakin lirih dan bibirnya bergetar.
"Sayang, Mas benar-benar minta maaf sama kamu. Mas tetap mencintai dan menyayangimu," ucap Ilham berusaha menenangkan Siska yang sedang larut dalam kesedihannya.
"Ngga! Mas Bohong!" Siska memalingkan wajahnya.
Bagaimana bisa wajah seteduh dan setenang itu bisa menciptakan rasa sakit yang begitu hebat? Ia masih tak mempercayai akan hal yang telah terjadi padanya.
"Aku tidak Ihklas, Mas! Benar-benar tidak ihklas, jika harus berbagi suami yang sangat aku cintai dengan wanita lain."
"Mas tidak akan menyentuhnya jika kamu tidak meridhoi-nya, Sayang."
"Jangan seperti itu, Mas! Mas tidak boleh berperilaku tidak adil kepada istri-istrimu, atau nanti di hari akhir Mas akan berjalan dengan badan yang miring sebelah," ujar Siska dengan berat hati, walaupun ia tidak ihklas tapi ia tidak membiarkan suaminya untuk salah jalan.
Nabila berjalan ke arah Siska dan berniat menolongnya.
"Jangan..... jangan sentuh aku! Kalian licik dan sangat jahat kepadaku."
Nabila mundur beberapa langkah dari hadapan Siska.
"Kamu, wanita yang terlahir dari keluarga terhormat dan agamis, kenapa tega-teganya merusak kebahagiaan wanita lain? Kenapa? Katakan!" Siska kalap dalam tangisnya.
"Maaf, Mba."
"Maaf katamu?" ujar Siska dan bangkit dengan membelalakan kedua matanya, ia bersiap-siap untuk mencakar Nabila, tapi dengan sigap Ilham langsung memeluk Siska dengan kuat.
"Lepas, Mas! Lepasin aku!" Siska berusaha memberontak namun usahanya gagal karena tubuh kekar Ilham telah mengukung dirinya.
"Tenang, Siska! Istighfar!" ucap Ilham seraya menepuk-nepuk pundak Siska.
"Mas jahat... jahat." Siska terus memukul dada Ilham dengan sekuat tenaga.
"Aku mau cerai! Sekarang juga!" Aqila yang mendengar keributan dari luar kamarnya pun terbangun, lalu menangis dan memanggil-manggil bundanya.
"Bunda... Bunda." tangis Aqila.
Lama-lama penglihatan Siska buram, tubuhnya lemas lalu semuanya menggelap.
Siska jatuh pingsan di pelukan Ilham, sontak Ilham tersentak memandang wajah pucat Siska. Ia sangat khawatir kepada Siska, tapi ini semua sudah terjadi. Mau tidak mau, Siska harus belajar ikhlas untuk menerima kenyataan bahwa Ilham telah menikah lagi.
"Siska, Sis." Ilham mencoba membangunkan Siska sembari menepuk ringan pipi wanita yang sangat ia cintai itu.
"Kamu masuk saja dulu ke kamar, itu kamar kamu," ucap Ilham kepada Nabila seraya mengangkat dagunya ke arah kamar tamu yang berada di dekat pintu ruang tamu.
"Iya, Mas." Nabila mengganggukan kepalanya, lalu segera melangkah pergi.
"Sayang, maafin Mas Ilham, ya," ucap Ilham lirih lalu mengangkat tubuh Siska dan merebahkannya ke atas kasur.
Ia melihat putri kecilnya yang menangis memanggil-manggil Bundanya.
"Ayah." Aqila memanggil Ayahnya dengan sangat lembut, sudah empat hari ini mereka tidak bertemu. Putrinya itu sangat merindukan Ayahnya, begitu juga sebaliknya.
"Hai, Sayang!" Ilham merentangkan kedua tangannya, memeluk tubuh mungil putri kecilnya dan menghujaninya dengan ciuman.
"Ayah kemana aja si, kok ngga pulang-pulang? Kan Qila kangen sama Ayah," ucap Aqila dengan sangat manja dan lugu.
Segala kepenatan yang telah menimpa Ilham sekita lenyap setelah bertemu dengan putrinya, ia dapat melupakan sejenak segala beban berat yang sedang dipikulnya.
"Maafin Ayah ya Qila, Ayah ada urusan jadi baru bisa pulang sekarang," ucap Ilham dengan lembut sambil mengusap kepala Aqila.
"Yang penting sekarang Ayah udah ada di sini, kan?" Ilham tersenyum dengan sangat lebar dan Aqila pun ikut tersenyum, lalu memeluk Ayahnya dengan sangat erat.
"Maaf Ayah telah membuat Bunda terluka, Sayang," batin Ilham dan tak sadar buliran air menetes dari mata kanannya. Dan dengan segera ia pun mengusapnya sebelum Aqila melihatnya.
Pelan-pelan mata Siska terbuka, ia mendengar putrinya, Aqila memanggil sembari menepuk kecil pipinya.
Siska menyadari bahwa kini ia sedang terbaring lemah tak berdaya di kasurnya. Ketika ia ingin bangkit, kepalanya berdenyut semakin kuat dan terasa sangat sakit.
Ia mencoba mengingat peristiwa yang telah terjadi hingga ia bisa terbaring lemah seperti ini. Ah iya, suaminya telah menikah lagi dengan anak seorang kyai yang tak sengaja tertabrak oleh mobil Avanza milik suaminya itu.
Membuat tubuh Siska nyaris tak bertulang, air matanya kembali menetes, ia kecewa, perasaannya terluka dan rasa cintanya terkoyakkan.
"Bagaimana bisa Mas Ilham melakukan ini padaku? Apa salahku? Dosa apa yang telah aku lakukan hingga ia begitu tega menyakiti hatiku? Padahal selama ini aku selalu menjaga kehormatanku sebagai istrinya, merawat dan menjaga anak, setia menunggunya di rumah selama ia bekerja, patuh pada perintah dan larangannya. Tapi, apa balasan yang telah ia berikan padaku?" batin Siska, ia sangat kecewa berat kepada Ilham.
"Ya Allah, berikahlah hamba kesabaran dan lapangkan hati hamba untuk menerima segala ketetapanmu," bisik Siska sendiri sambil memeluk tubuh mungil Aqila.
Ilham mengetuk pintu kamar, lalu membukanya dengan perlahan. Ia melihat anak dan istrinya sedang berpelukan, diiringi dengan tangisan dari Siska.
"Minum dulu, Siska!" ucap Ilham yang kini telah duduk di sebelah Siska sembari membawakan segelas air.
Sekarang Siska sudah tak sanggup lagi menatap wajah orang yang selama ini menjadi sumber kebahagiaannya, namun dalam sekejap berubah manjadi luka yang sangat menyakitkan.
Seorang yang dulu selalu ia rindukan, tatapannya, pelukan hangatnya, senyuman di bibirnya dan tatap matanya yang menjadi penentram jiwanya. Kini musnah semuanya, rasa cinta dan segalanya.
"Buat apa Mas ke sini? Urus saja istri barumu!" ucap Siska dengan nada ketus sambil mengusap pipinya.
Ilham menghela napas dan menatap Siska dengan lembut, ia sangat paham dengan kekecewaan yang kini sedang Siska alami. Ia hanya berusaha bersikap baik kepada istrinya itu agar perlahan Siska mau menerima kenyataan ini. "Siska! Ini kan sudah malam, minum dulu airnya terus tidur, ya! Kasian Qila," ujar Ilham menatap istri dan anaknya dengan penuh kasih sayang dan sangat berhati-hati. Kalimatnya dulu seolah penyejuk jiwa Siska, kini hanya duri-duri yang tersisa menusuk tiap kali Siska mengengar suara lembut yang keluar dari mulut Ilham. Siska tak menjawab sedikit pun atau menerima segelas air yang telah Ilham bawakan, bahkan Siska enggan menatap wajah suaminya itu. "Ini airnya," ucap Ilham seraya meletakan segelas air itu di atas meja. Kemudian, ia mengambil tempat duduk di sisi kasur Siska. Istri pertama Ilham itu hanya terdiam dan tatap matanya kosong sembari meneteskan air mata, Ilham merasa sangat iba melihat kondisi istr
Siska terdiam dengan tatapan kosong, saat ini perasaanya hampa dan satu-satunya yang tersisa hanyalah rasa sesak di dalam dadanya, ia sudah putus asa dengan nasib keluarga kecilnya. Ia kehilangan harapan dan semangat hidup, kehilangan suami yang sangat ia cintai dan kehilangan sumber kebahagiaan. Ini sungguh cobaan yang sangat berat bagi Siska, ia merasa tidak mampu menjalani semua kepahitan ini. "Ma-maafkan aku ya, Sayang," ucap Ilham sambil memeluk Siska, namun dengan segera Siska melepaskan pelukan suaminya itu. "Tinggalkan aku dulu, Mas! Aku ngga bisa sekarang, aku masih shock. Aku belum bisa menerima kenyataan pahit ini, Mas." "Ya sudah kamu istirahat dulu ya!" ucapnya lirih, lalu mengecup kening istirnya itu. "Bunda kenapa, Yah? Sakit ya?" tanya Aqila dengan polos kepada Ayahnya. "Iya sayang, Bunda lagi sakit. Kamu jagain Bunda ya! Ayo kamu lanjut lagi bobonya!" Ilham merebahkan tubuh mungil putrinya di samping S
Siska turun dari kasurnya lalu menjatuhkan diri di lutut Ilham lagi seperti tadi malam lalu, memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya. "Siska apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri!" Ilham segera mengangkat bahu Siska untuk bangun tapi istrinya itu enggan dan tetap memilih untuk berlutut di hadapannya. "Aku ngga sanggup di madu, Mas, ngga sanggup. Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Aku ngga kuat jika harus satu atap dengan maduku itu. Ng-ngga kuat, Mas." Siska meratap pilu, menangis tersedu-sedu dan memohon agar ia segera di jauhkan dari wanita yang telah membuat keluarganya yang dulu bahagia dan penuh dengan kehangatan dari suaminya kini berubah menjadi neraka hanya dalam satu malam saja. "Ngga! Sampe kapan pun Mas ngga akan ceraikan kamu." "Egois sekali kamu, Mas!" "Dengar ya, Mas!" kata Siska dengan air mata yang lagi-lagi mengucur dengan sendirinya, "selama dia di sini, aku ngga akan bahagia sed
Kedua mata Siska membelalak mendengar ucapan gadis kecil yang kini sedang memeluknya dengan hati gembira itu."Jaga kesehatan ya, Mba! Jangan terlalu lelah dulu!" ucap seorang Dokter wanita bernama Clara yang sudah Ilham panggil setelah ia menemukan Siska tergeletak di kamar mandi."Ini maksudnya apa, sih?" gumam Siska seraya mengerutkan dahinya heran."Bunda, makan yang banyak, ya! Biar adeknya cepet besar," ucap Aqila seraya tersenyum lebar lalu mengambil piring yang ada di atas meja sebelah lampu duduk."Iya, Sayang! Dengerin apa yang yang Dokter Clara bilang, ya! Kamu harus jaga kesehatan!" sahut Ilham lalu, tangannya meraih jemari Siska namun, dengan segera ia menepisnya."Hah?Apa aku hamil, ya?"Segala pertanyaan muncul di benak Siska. Namun, apa yang telah putri kecilnya katakan itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia memang sedang mengandung."Selamat ya, Mba!" ucap Nabila yang sedang berdiri di sebelah Dokter Clara sembari tersenyum manis dengan wajahnya yang terlihat begitu pol
Kedua mata Ilham membulat sempurna, ia tak dapat mengiyakan permintaan istrinya itu. "Sayang... Mas tetap milikmu dan Mas sangat mencintaimu," ucap Ilham seraya mengusap lembut pucuk kepala Siska. "Hhhhh.... bukan itu jawaban yang aku mau, Mas. Kalau memang Mas tidak mau menceraikan lebih baik untuk saat ini tolong jauhkan saja dia dari pandanganku, Mas! Aku tak sudi jika setiap hari harus melihat wajah wanita yang sudah merebut suamiku." "Siska.... dia tidak merebutku darimu. Aku juga tidak akan meninggalkanmu, aku hanya memintamu untuk menerimanya sebagi adik madumu." "Tidak, Mas! Sudah berkali-kali ku katakan, aku tidak mau dimadu!" Siska berteriak dengan emosi, matanya memanas dan napasnya memburu. "Tapi, ini semua sudah terjadi, Siska. Kamu harus
Karena pintu tidak terkunci dan masih sedikit terbuka membuat Nabila mendengar suara benturan yang terdengar sangat keras hingga membuatnya langsung berlari ke kamar utama untuk melihat apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat sudah berada di depan pintu. "A-aku masuk tidak, ya? Nanti salah," gumam Nabila, ia ragu untuk masuk namun pada akhirnya ia tetap melangkahkan kakinya. "Ya Allah, Mas Ilham," teriak Nabila histeris ketika melihat darah keluar dari sudut siku Ilham. Kedua mata Siska langsung tertuju pada Nabila yang sedang berdiri diambang pintu dan kini berjalan ke arah dirinya dan Ilham. "Ngapain pake ke sini segala sih? Ikut campur aja," desis Siska seraya melirik sekilas Nabila dengan sinis. Siska mencoba membantu Ilham berdiri dan membawanya untuk duduk di kasur. Ia tak sudi berlama-lama melihat wajah adik madunya itu
Nabila seketika tersentak dengan ucapan Siska, dirinya merasa tidak ada yang salah dengan apa yang baru ia katakan. "Dasar tidak tahu malu!" gumam Siska seraya menatap Nabila dengan tajam. Sudah merebut suaminya dan sekarang juga mencoba untuk mendekati putrinya jelas saja Siska akan marah dan tidak akan membiarkan Nabila bersikap seolah ia juga orangtua dari putri kandungnya itu. "Nabila...." panggil Ilham seraya menggeleng ringan. Untuk saat ini Ilham lebih memilih agar putrinya jangan mengetahui dulu jika ia punya ibu baru, Ilham takut putrinya itu belum bisa mengerti dan justru akan membenci dirinya karena telah menyakiti hati Bundanya. "Ma... ma?" "Kok Mama, Yah? Nama Tante itu Mama, ya?" tanya Aqila pada Ayahnya. Ia memang masih sangat kecil untuk memahami hal-hal baru seperti ini. "Untung saja kamu belum paham, Nak. M
Bibir Siska bergetar, kedua matanya memanas menyaksikan suaminya sedang bermesraan dengan istri mudanya itu. Apalagi, mereka melakukannya di kamar utama. Kamar yang sudah satu tahun ini menjadi saksi cinta Siska bersama dengan sang suami.Ia menekan dadanya kuat-kuat, perih dan sangat nyeri. Tak mampu ia membendung air matanya hingga kini pun mengalir deras membasahi kedua pipinya.Dengan segera Siska menarik tangan putrinya untuk segera pergi.mengambil kunci mobil yang ada di sarkas dan langsung mengajak putrinya untuk masuk."Loh, Bund. Katanya Bunda mau makan? Kok malah masuk mobil? Mau beli makan di lual ya, Bund?" tanya Aqila bingung.Siska berkali-kali mencoba untuk menyeka air matanya namun, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian itu sungguh menyayat hatinya dan kini pun ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan putri kecilnya."Bunda kenapa? Kok nan