Bibir Siska bergetar, kedua matanya memanas menyaksikan suaminya sedang bermesraan dengan istri mudanya itu. Apalagi, mereka melakukannya di kamar utama. Kamar yang sudah satu tahun ini menjadi saksi cinta Siska bersama dengan sang suami.Ia menekan dadanya kuat-kuat, perih dan sangat nyeri. Tak mampu ia membendung air matanya hingga kini pun mengalir deras membasahi kedua pipinya.Dengan segera Siska menarik tangan putrinya untuk segera pergi.mengambil kunci mobil yang ada di sarkas dan langsung mengajak putrinya untuk masuk."Loh, Bund. Katanya Bunda mau makan? Kok malah masuk mobil? Mau beli makan di lual ya, Bund?" tanya Aqila bingung.Siska berkali-kali mencoba untuk menyeka air matanya namun, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian itu sungguh menyayat hatinya dan kini pun ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan putri kecilnya."Bunda kenapa? Kok nan
Terdengar suara mobil yang baru keluar dari bagasi.Ilham mengeryit heran seraya melepaskan kedua tangannya yang berada di pipi Nabila."Kenapa, Mas?" tanya Nabila, ia merasa sedikit kesal karena Ilham dengan tiba-tiba langsung menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya.Kedua bola mata Ilham bergerak ke sana ke mari, ia langsung bangkit dari kasur tanpa menjawab pertanyaan dari istri mudanya itu."Mas..." panggil Nabila yang juga ikut bangkit dan mengikuti langkah Ilham yang berjalan menuju ruang keluarga."Ada apa, Mas? Kenapa dari tadi Nabila tanya Mas Ilham nggak jawab apa-apa," keluh Nabila lalu menghembuskan napasnya lesu."Maaf, Nab! Bukan maksud Mas nggak mau jawab tapi... Mas lagi bingung, seperti Siska keluar. Kunci mobilnya yang ada di atas sarkas juga tak ada, mau kemana dia? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" balas Ilham dan segera mengambil kun
Ilham dengan cepat langsung melajukan kendaraannya menuju rumah mertuanya. Walau ia tak begitu yakin bahwa istrinya itu ada di sana namun, ia tetap menuju ke rumah mertuanya itu terlebih dahulu untuk memastikan.Karena, Siska memang tak mempunyai siapa pun kecuali kedua orangtuanya itu."Ya Allah, sayang.... kok nggak pamitan dulu sama, Mas?" gumam Ilham lalu mengembuskan napasnya lesu."Apa.... tadi Siska melihatku dan Nabila, ya?""Arhggg... bodoh sekali aku ini," sesal Ilham lalu, menambah kecepatan kendaraanya.Ia mengendari sebuah motor Vario berwarna putih yang sudah ia punyai sebelum menikah dengan Siska. Karena, memang hanya ada satu mobil yang ia miliki dan kini telah dibawa oleh Siska yang Ilham sendiri pun tak tahu kemana istrinya itu pergi."Mas harap kamu hanya pergi ke rumah bapak, Sayang! Mas nggak akan bisa hidup tanpa kamu dan putri manis kit
Mana mungkin Siska bisa ihklas begitu saja dengan keadaan yang telah menimpanya? Ia bisa saja mengikhlaskan suaminya itu tapi ia tidak akan pernah mau untuk dimadu, lebih baik ia bercerai saja dengan Ilham dari pada harus menderita sepanjang hari melihat suami dan adik madunya itu bersamaan di depan kedua mata kepalanya. Memang ada yang mampu menahan rasa cemburu?Mustahil jika ada wanita yang tak cemburu melihat suaminya bersama dengan wanita lain. Kecuali, memang tak mempunyai rasa sedikit pun kepada suaminya itu."Siska.... ayo lah! Mas mohon... turun ya, Sayang! Nggak enak sama bapak," bujuk Ilham dengan suara lemah lembutnya."Sudah lah, Mas! Cukup! Aku tak tahan dan aku tidak akan pernah bisa satu atap dengan gundikm
Bapak menggeleng tak percaya dengan apa yang baru Ilham katakan, ia tersenyum getir lalu membuang pandangannya."Memangnya apa kesalahan Siska sampai kamu tega memadunya?" tanya Bapak yang masih mencoba mengontrol emosinya."Siska nggak salah apa-apa, Pak. Ini semua terjadi karena musibah," balas Ilham lirih dan masih bersimpuh di kaki Bapak dengan segala rasa sesalnya."BOHONG!" sahut Siska yang langsung menatap Ilham dengan penuh amarah dan gejolak api di dada yang sedari tadi masih membara akibat melihat suaminya itu mencumbu adik madunya.Seluruh orang kini memandang Siska, wanita malang yang bernasib tak beruntung ini kini sedang mencoba menyeka air matanya. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat sembari sesekali menahan sesenggukan."Dia..." Tunjuk Siska pada Ilham dengan kedua mata yang sudah membesar akibat sembab itu masih saja terus mengeluarkan cairan bening yang ter
Seketika kedua mata Ibu dan Bapak membelalak mendengar kata 'anak' yang keluar dari mulut Siska.Baru tadi pagi Siska mengetahui bahwa ia sedang mengandung hingga harus menunggu calon anaknya itu lahir terlebih dahulu sebelum menggugat cerai suaminya. Dengan itu, ia tidak bisa tinggal di rumahnya sendiri selama adik madunya masih berada di sana.Yang ada Siska justru akan kehilangan bayinya jika selalu tekanan batin hingga tak mengisi perutnya karena sudah merasa kenyang dengan segala masalah yang ada. Dengan segala rasa hati yang harus ia terima ketika melihat suami dan adik madunya bersama tepat di depan matanya.Menyakitkan, bukan? Siapa yang akan tahan melihat suami tercinta bersama dengan wanita lain? Tidak mungkin ada...."Siska sedang mengandung, Pak... Bu...." ucap Ilham dengan tatapannya yang masih tertuju pada Siska."Sejak kapan? Sudah usai berapa minggu? Kenapa tidak
Seketika kedua mata Ibu dan Bapak membelalak mendengar kata 'anak' yang keluar dari mulut Siska.Baru tadi pagi Siska mengetahui bahwa ia sedang mengandung hingga harus menunggu calon anaknya itu lahir terlebih dahulu sebelum menggugat cerai suaminya. Dengan itu, ia tidak bisa tinggal di rumahnya sendiri selama adik madunya masih berada di sana.Yang ada Siska justru akan kehilangan bayinya jika selalu tekanan batin hingga tak mengisi perutnya karena sudah merasa kenyang dengan segala masalah yang ada. Dengan segala rasa hati yang harus ia terima ketika melihat suami dan adik madunya bersama tepat di depan matanya.Menyakitkan, bukan? Siapa yang akan tahan melihat suami tercinta bersama dengan wanita lain? Tidak mungkin ada...."Siska sedang mengandung, Pak... Bu...." ucap Ilham dengan tatapannya yang masih tertuju pada Siska."Sejak kapan? Sudah usai berapa minggu? Kenapa tidak
"Ya Allah, jaga Bapak hamba. Semoga tidak ada hal buruk apa pun yang akan menimpanya," ucap Siska penuh harap sembari meneteskan air matanya. Drrrtttttt... Drrrttttt... "Mas... Ilham?" Siska mengeryitkan dahinya heran. "Baru aja dia keluar gerbang, kok udah nelpon aja?" "Hallo, Mba...." "Loh... kok dia? Oh ponsel Mas Ilham ditinggal di rumah," gumam Siska seray memutar bola matanya malas. "Ada apa?" tanya Siska dingin. "Mas Ilham lagi sama Mba Siska enggak? Tadi si bilangnya mau nyari Mba Siska, aku takut terjadi apa-apa dengan dia, mana ponselnya ditinggal di rumah," ujar Nabila dari seberang ponsel Siska yang terdegar cukup keras karena Siska telah menambah volume suaranya. "Iya, Mas Ilham denganku, tapi tadi...." "Terus sekarang? Sekarang Mas Ilham udah nggak sama Mba Siska? U
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk