Siska turun dari kasurnya lalu menjatuhkan diri di lutut Ilham lagi seperti tadi malam lalu, memeluknya dengan erat dan menangis sejadi-jadinya.
"Siska apa yang kamu lakukan? Ayo berdiri!" Ilham segera mengangkat bahu Siska untuk bangun tapi istrinya itu enggan dan tetap memilih untuk berlutut di hadapannya.
"Aku ngga sanggup di madu, Mas, ngga sanggup. Lebih baik ceraikan saja aku, Mas! Aku ngga kuat jika harus satu atap dengan maduku itu. Ng-ngga kuat, Mas."
Siska meratap pilu, menangis tersedu-sedu dan memohon agar ia segera di jauhkan dari wanita yang telah membuat keluarganya yang dulu bahagia dan penuh dengan kehangatan dari suaminya kini berubah menjadi neraka hanya dalam satu malam saja.
"Ngga! Sampe kapan pun Mas ngga akan ceraikan kamu."
"Egois sekali kamu, Mas!"
"Dengar ya, Mas!" kata Siska dengan air mata yang lagi-lagi mengucur dengan sendirinya, "selama dia di sini, aku ngga akan bahagia sedikit pun, aku ngga bisa tenang, Mas."
"Tapi, Sayang." Ilham meraih tangan Siska dan menggenggamnya erat, "dia adalah istriku yang posisinya dalam agama sama seperti denganmu, Mas harus bagaimana?"
"Minimal pindahkan dia dari rumah ini! Karena sejujurnya aku ngga akan kuat bertahan Mas, jadi ceraikan saja aku! Biarlah aku yang mengalah dan Mas bisa hidup bahagia pindah dari rumah ini dan membangun hidup baru," terang Siska.
"Tapi kan, ini rumah Mas juga," jawabnya manja dan merayu Siska.
"Ini rumah yang kita bangun dengan mimpi dan harapan agar kita berbahagia hingga hari tua. Andai Mas mengatakan rumah ini akan dibagi untuk tiga orang dan satu ranjang, aku tidak akan setuju dari awal, Mas," desis Siska dengan suara yang nyaris tenggelam karena terlalu lelah bersedih.
"Dengar sayang! Kalau terus-terusan begini kamu bisa sakit dan drop, kumohon!" Ilham menatap Siska serius.
"Kalau kamu memang peduli dengan kesehatanku, tentu kamu tidak akan pernah membawa wanita itu ke rumah kita ini. Kamu ngga akan menghianatiku, Mas!"
"Hey, Sayang aku tidak pernah menghianatimu, aku begitu mencintaimu, kau tau posisiku amat sulit, ayahnya ingin putrinya menikah saat itu juga karena keadaanya sudah diujung maut dan aku lah penyebabnya, jadi aku merasa bersalah dan harus bertanggung jawab dengan cara menikahi putrinya saat itu juga. Aku tak bermaksut menghianatimu, karena sungguh.... aku sangat mencintaimu," bujuk Ilham sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Siska.
"Tidak mungkin bisa berkumpul dua cinta dalam satu hati, Mas."
"Karena sesungguhnya aku lebih mencintaimu," bisik Ilham.
"Jangan bohong!" Siska berusaha mendorong wajahnya.
"Demi Allah, Siska," kata Ilham.
Pintu diketuk dan wanita itu muncul dari balik daun pintu menggunakan gamis berwarna merah muda dengan jilbab lebar menjulur ke depan menutup dada. Wajahnya terlihat segar dan anggun sekali, ketika manik matanya bersitatap dengan Ilham ada rona halus yang tergurat di pipinya, ia menunduk dengan penuh rasa cinta dan hormat pada suaminya yang tentu saja juga suami Siska itu.
Jujur saja hati Siska perih, ia tak sanggup, Siska membenci wanita itu. Walaupun tidak pernah bertindak zhalim, tapi tetap saja Siska sangat membencinya keberadaannya.
"Ada apa, Nabila?" tanya Ilham.
"Sarapannya udah siap, Mas." Nada suaranya begitu lembut.
"Baik, kamu makan saja duluan, aku akan menemani Bunda Aqila," jawab Ilham.
"Tidak apa, saya akan menunggu, Mas," jawabnya juga tak menyerah.
"Tidak usah menunggu, makan saja lebih dulu," jawab Ilham dan wanita itu pun berlalu.
"Aku ngga bisa, Mas, aku ngga bisa." tangisnya kembali pecah seraya menggelengkan kepalanya.
"Bunda, Aqila lapar," kata putri kecil mereka sambil menarik lengan Siska.
"Aqila makan sama Ayah, ya."
"Bunda kenapa nangis terus?"
"Ngga apa, Sayang. Makan sama Ayah, ya."
Ilham meraih Aqila lalu menggendongnya dan diajak sarapan, sedangkan Siska, ia sendiri tertinggal sedih di dalam rumah sendiri. Ia merasa semua kebahagiannya seketika menjadi kelam, harinya suram dan hidupnya menjadi menderita.
Sungguh tak sanggup ia menghadapi semua ini.
Siska belum bisa menerima kenyataan pahit ini, ia mengintrupsi keputusan Tuhan untuk menghadirkan wanita lain di rumah ini. Sejatinya cinta suci tak memiliki tempat bagi orang ketiga, namun semuanya terjadi tanpa ia sadari. Ia merasa begitu bodoh dan polos tidak menyadari muslihat suaminya yang diam-diam menikah lagi.
"Ya Allah, hamba tidak mau. Hamba tidak sanggup, Ya Allah. Walau Engkau bersabda bahwa sabar itu indah, sungguh hamba tak sanggup menjalani keindahan yang menyakitkan ini."
Tubuhnya terasa gemetar dan dingin, ia kembali merasakan denyutan yang cukup kencang di kepalanya sampai telinganya pun ikut berdenging.
"Arghhh, sakit sekali kepalaku." Siska memejamkan kedua matanya sambil meminjat pelan di bagian keningnya.
"Mungkin karena dari kemarin perutku belum terisi oleh apa pun, makanya aku jadi pusing gini."
Ia mengambil piring berisikan nasi putih, capcay dan ikan laut goreg yang telah dibawakan oleh suaminya tadi.
"Aku harus makan, ini demi putriku. Jika aku sakit dan sampai kehilangan nyawaku karena terlalu tak mampu menghadapi semua ini pasti wanita itu akan merasa sangat bahagia dan merasa telah menang." Siska tersenyum getir mengingat wajah cantik dan lugu dari wanita yang membuat hidupnya menjadi pahit.
Baru saja ia hendak membuka mulutnya tiba-tiba ia sudah merasa sangat mual dan segera lari ke kamar mandi, perutnya terasa seperti diaduk-aduk, iya terus merasa mual dan berkali-kali muntah, tapi yang ia keluarkan hanya air saja karena memang perutnya dari kemarin tidak terisi apa-apa.
"Astaghfirullah, sampe masuk angin gini." Siska memijak lehernya sambil melihat ke arah cermin, begitu pucat wajahnya di pagi ini.
"Apa aku sudah tidak menarik lagi di mata Mas Ilham? Mungkin saja dia hanya beralasan tentang kecelakaan yang ia ceritakan itu untuk menutupi kebohongannya bahwa memang ia ingin menikah lagi karena aku sudah tidak menarik dan secantik dulu lagi," ucap Siska seraya terus memperhatikan dirinya dari pantulan cermin yang ada di dalam kamar mandinya.
Siska duduk kembali ke kasurnya dan ia melanjutkan acara makannya. Baru saja sendok ia dekatkan ke arah mulutnya ia sudah kembali merasa mual yang begitu hebat.
Dengan langkah cepat ia masuk lagi ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, namun ya tetap saja hanya air yang keluar dari mulutnya.
Ia terus muntah-muntah sampai merasa lemas.
"Ya Allah, gimana ini? Kalau ngga makan pasti keadaanku akan lebih memburuk, tapi baru mencium baunya saja kenapa langsung mual begini?"
Tubuhnya semakin bergetar lebih dari sebelumnya, matanya berkunang-kunang, ia merasa tubuhnya sangat lemas dan tak ada tenaga.
"Astaghfirullah, aku kenapa Ya Allah?" ucap Siska dengan suara yang sangat lirih dan mata sayup, sekelilingnya mulai terlihat buram.
'Brukkk."
Tubunya tersungkur di lantai kamar mandi, jelas saja tidak ada orang yang mengetahuinya.
***
Sayup-sayup kedua mata Siska terbuka perlahan, ia melihat Ilham yang sedang mengendong putrinya sedang tersenyum lebar menatap dirinya yang baru saja sadar dan berada kasurnya.
Aqila segera turun dari gendongan Ayahnya dan memeluk Siska dengan erat.
"Yeee... Aqila bakalan jadi Kakak."
"Makasih ya, Bunda."
Kedua mata Siska membelalak mendengar ucapan gadis kecil yang kini sedang memeluknya dengan hati gembira itu."Jaga kesehatan ya, Mba! Jangan terlalu lelah dulu!" ucap seorang Dokter wanita bernama Clara yang sudah Ilham panggil setelah ia menemukan Siska tergeletak di kamar mandi."Ini maksudnya apa, sih?" gumam Siska seraya mengerutkan dahinya heran."Bunda, makan yang banyak, ya! Biar adeknya cepet besar," ucap Aqila seraya tersenyum lebar lalu mengambil piring yang ada di atas meja sebelah lampu duduk."Iya, Sayang! Dengerin apa yang yang Dokter Clara bilang, ya! Kamu harus jaga kesehatan!" sahut Ilham lalu, tangannya meraih jemari Siska namun, dengan segera ia menepisnya."Hah?Apa aku hamil, ya?"Segala pertanyaan muncul di benak Siska. Namun, apa yang telah putri kecilnya katakan itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia memang sedang mengandung."Selamat ya, Mba!" ucap Nabila yang sedang berdiri di sebelah Dokter Clara sembari tersenyum manis dengan wajahnya yang terlihat begitu polo
Kedua mata Ilham membulat sempurna, ia tak dapat mengiyakan permintaan istrinya itu."Sayang, Mas tetap milikmu dan Mas sangat mencintaimu," ucap Ilham seraya mengusap lembut pucuk kepala Siska. "Hhh, bukan itu jawaban yang aku mau, Mas. Kalau memang Mas tidak mau menceraikan lebih baik untuk saat ini tolong jauhkan saja dia dari pandanganku, Mas! Aku tak sudi jika setiap hari harus melihat wajah wanita yang sudah merebut suamiku.""Siska, dia tidak merebutku darimu. Aku juga tidak akan meninggalkanmu, aku hanya memintamu untuk menerimanya sebagi adik madumu.""Tidak, Mas! Sudah berkali-kali ku katakan, aku tidak mau dimadu!" Siska berteriak dengan emosi, matanya memanas dan napasnya memburu."Tapi, ini semua sudah terjadi, Siska. Kamu harus menerimanya, titik! Jangan membangkang!""Tapi aku tidak mau berbagi rumah ini dengannya! Silahkan Mas bawa dia keluar dari rumah ini!""Ta-tapi, ini kan juga rumah Mas, Sayang.""Beli lah rumah baru untuk istri barumu itu! Dan tin
Karena pintu tidak terkunci dan masih sedikit terbuka membuat Nabila mendengar suara benturan yang terdengar sangat keras hingga membuatnya langsung berlari ke kamar utama untuk melihat apa yang terjadi.Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat sudah berada di depan pintu."A-aku masuk tidak, ya? Nanti salah," gumam Nabila, ia ragu untuk masuk namun pada akhirnya ia tetap melangkahkan kakinya."Ya Allah, Mas Ilham," teriak Nabila histeris ketika melihat darah keluar dari sudut siku Ilham.Kedua mata Siska langsung tertuju pada Nabila yang sedang berdiri diambang pintu dan kini berjalan ke arah dirinya dan Ilham."Ngapain pake ke sini segala sih? Ikut campur aja," desis Siska seraya melirik sekilas Nabila dengan sinis.Siska mencoba membantu Ilham berdiri dan membawanya untuk duduk di kasur. Ia tak sudi berlama-lama melihat wajah adik madunya itu dan lebih memilih untuk melihat putri kecilnya yang sedari tadi menangis karena ketahuan melihat kedua orangtuanya berkelahi."Kenapa, Mas?"
Nabila seketika tersentak dengan ucapan Siska, dirinya merasa tidak ada yang salah dengan apa yang baru ia katakan."Dasar tidak tahu malu!" gumam Siska seraya menatap Nabila dengan tajam.Sudah merebut suaminya dan sekarang juga mencoba untuk mendekati putrinya jelas saja Siska akan marah dan tidak akan membiarkan Nabila bersikap seolah ia juga orangtua dari putri kandungnya itu."Nabila," panggil Ilham seraya menggeleng ringan.Untuk saat ini Ilham lebih memilih agar putrinya jangan mengetahui dulu jika ia punya ibu baru, Ilham takut putrinya itu belum bisa mengerti dan justru akan membenci dirinya karena telah menyakiti hati Bundanya."Ma-ma?""Kok Mama, Yah? Nama Tante itu Mama, ya?" tanya Aqila pada Ayahnya. Ia memang masih sangat kecil untuk memahami hal-hal baru seperti ini."Untung saja kamu belum paham, Nak. Maafkan Ayah ya, Sayang," batin Ilham seraya menatap putrinya dengan haru."Jaga sikapmu ya, Nabila! Dan jangan mencoba untuk mendekati anakku! Aku tak akan pernah membiar
Bibir Siska bergetar, kedua matanya memanas menyaksikan suaminya sedang bermesraan dengan istri mudanya itu. Apalagi, mereka melakukannya di kamar utama. Kamar yang sudah satu tahun ini menjadi saksi cinta Siska bersama dengan sang suami.Ia menekan dadanya kuat-kuat, perih dan sangat nyeri. Tak mampu ia membendung air matanya hingga kini pun mengalir deras membasahi kedua pipinya.Dengan segera Siska menarik tangan putrinya untuk segera pergi.mengambil kunci mobil yang ada di sarkas dan langsung mengajak putrinya untuk masuk."Loh, Bund. Katanya Bunda mau makan? Kok malah masuk mobil? Mau beli makan di lual ya, Bund?" tanya Aqila bingung.Siska berkali-kali mencoba untuk menyeka air matanya namun, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian itu sungguh menyayat hatinya dan kini pun ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan putri kecilnya."Bunda kenapa? Kok nan
Terdengar suara mobil yang baru keluar dari bagasi.Ilham mengeryit heran seraya melepaskan kedua tangannya yang berada di pipi Nabila."Kenapa, Mas?" tanya Nabila, ia merasa sedikit kesal karena Ilham dengan tiba-tiba langsung menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya.Kedua bola mata Ilham bergerak ke sana ke mari, ia langsung bangkit dari kasur tanpa menjawab pertanyaan dari istri mudanya itu."Mas..." panggil Nabila yang juga ikut bangkit dan mengikuti langkah Ilham yang berjalan menuju ruang keluarga."Ada apa, Mas? Kenapa dari tadi Nabila tanya Mas Ilham nggak jawab apa-apa," keluh Nabila lalu menghembuskan napasnya lesu."Maaf, Nab! Bukan maksud Mas nggak mau jawab tapi... Mas lagi bingung, seperti Siska keluar. Kunci mobilnya yang ada di atas sarkas juga tak ada, mau kemana dia? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" balas Ilham dan segera mengambil kun
Ilham dengan cepat langsung melajukan kendaraannya menuju rumah mertuanya. Walau ia tak begitu yakin bahwa istrinya itu ada di sana namun, ia tetap menuju ke rumah mertuanya itu terlebih dahulu untuk memastikan.Karena, Siska memang tak mempunyai siapa pun kecuali kedua orangtuanya itu."Ya Allah, sayang.... kok nggak pamitan dulu sama, Mas?" gumam Ilham lalu mengembuskan napasnya lesu."Apa.... tadi Siska melihatku dan Nabila, ya?""Arhggg... bodoh sekali aku ini," sesal Ilham lalu, menambah kecepatan kendaraanya.Ia mengendari sebuah motor Vario berwarna putih yang sudah ia punyai sebelum menikah dengan Siska. Karena, memang hanya ada satu mobil yang ia miliki dan kini telah dibawa oleh Siska yang Ilham sendiri pun tak tahu kemana istrinya itu pergi."Mas harap kamu hanya pergi ke rumah bapak, Sayang! Mas nggak akan bisa hidup tanpa kamu dan putri manis kit
Mana mungkin Siska bisa ihklas begitu saja dengan keadaan yang telah menimpanya? Ia bisa saja mengikhlaskan suaminya itu tapi ia tidak akan pernah mau untuk dimadu, lebih baik ia bercerai saja dengan Ilham dari pada harus menderita sepanjang hari melihat suami dan adik madunya itu bersamaan di depan kedua mata kepalanya. Memang ada yang mampu menahan rasa cemburu?Mustahil jika ada wanita yang tak cemburu melihat suaminya bersama dengan wanita lain. Kecuali, memang tak mempunyai rasa sedikit pun kepada suaminya itu."Siska.... ayo lah! Mas mohon... turun ya, Sayang! Nggak enak sama bapak," bujuk Ilham dengan suara lemah lembutnya."Sudah lah, Mas! Cukup! Aku tak tahan dan aku tidak akan pernah bisa satu atap dengan gundikm
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk