Share

Bab 6. Berbadan Dua

Kedua mata Siska membelalak mendengar ucapan gadis kecil yang kini sedang memeluknya dengan hati gembira itu.

"Jaga kesehatan ya, Mba! Jangan terlalu lelah dulu!" ucap seorang Dokter wanita bernama Clara yang sudah Ilham panggil setelah ia menemukan Siska tergeletak di kamar mandi.

"Ini maksudnya apa, sih?" gumam Siska seraya mengerutkan dahinya heran.

"Bunda, makan yang banyak, ya! Biar adeknya cepet besar," ucap Aqila seraya tersenyum lebar lalu mengambil piring yang ada di atas meja sebelah lampu duduk.

"Iya, Sayang! Dengerin apa yang yang Dokter Clara bilang, ya! Kamu harus jaga kesehatan!" sahut Ilham lalu, tangannya meraih jemari Siska namun, dengan segera ia menepisnya.

"Hah?Apa aku hamil, ya?"

Segala pertanyaan muncul di benak Siska. Namun, apa yang telah putri kecilnya katakan itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia memang sedang mengandung.

"Selamat ya, Mba!" ucap Nabila yang sedang berdiri di sebelah Dokter Clara sembari tersenyum manis dengan wajahnya yang terlihat begitu polosnya.

Hanya sekilas saja ia melihat wajah adik madunya itu, sangat tak sanggup untuk berlama-lama melihat seorang wanita lain yang sudah masuk ke dalam istananya dan merenggut segala kebahagiannya.

"Aku ingin minta cerai, tapi kenapa justru aku hamil, Ya Allah? Aku sungguh tak sanggup hamil dalam keadaan seperti ini," ucap Siska di dalam hatinya.

Siska tak habis pikir dengan semua yang terjadi, antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Bukan maksud menolak rezeki yang telah Allah berikan kepadanya namun, dalam situasi telah masuknya wanita lain di dalam kehidupannya ini membuatnya kewalahan jika tetap satu atap dengan Nabila.

"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Dokter Clara seraya menganggukkan kepalanya sekali dengan sangat ramah dan sopan.

"Iya, Dok! Terima kasih banyak," balas Ilham seraya membalas senyum Dokter Clara.

"Nabila... tolong antarkan Dokter Clara, ya!"

"Iya, Mas!" balas Nabila seraya menganggukan kepalanya ringan, ia terlihat sangat tunduk patuh dan hormat kepada suaminya itu.

Siska yang melihatnya merasakan perih di dalam hatinya, ia segera mengalihkan pandangannya untuk meminimalisir rasa sakit hatinya. Tak mampu lagi air matanya mengalir, rasanya sudah sangat kering dan rasa kecewanya kini kian membesar.

"Mari, Dok. Saya antar," ucap Nabila dengan suara yang begitu lembut.

Siska tak tahu apakah wanita cantik itu memang benar-benar baik hati karena memang tutur bahasanya sangat sopan dan ramah atau hanya menutupi segala kebusukannya saja.

"Kalau memang dia wanita baik-baik, tak mungkin ia tega menghancurkan kebahagiaan wanita lain, bukan? Cih... aku sangat muak mendengar dan melihat wajahnya yang terlihat begitu polos," gumam Siska lirih saat melihat Dokter Clara dan Nabila keluar dari kamar utama.

"Bunda.... besok kalau adeknya udah lahir pokoknya harus cowo ya, Bun!" Aqila mengatupkan kedua tangannya di pipi Siska, seolah ia menatap Bundanya itu dengan tatapan yang serius dan harus mengiyakan permintaannya.

"Qila, Sayang. Nggak boleh mengharuskan gitu, dong! Kan, yang ngasih adeknya cowo atau cewe itu Allah SWT. Jadi, Bunda juga nggak bisa nolak mau yang lahir cewe atau cowo, Sayang," sahut Ilham seraya membelai kepala putrinya dengan lembut.

"Tapi.... Aqila pengennya punya adek cowo, Ayah!" rengek Aqila dengan manja.

"Hmmm, memangnya kenapa kok Aqila maunya punya adek cewo?"

"Ya biar nanti mainan Qila ngga dimintain sama adek. Kan, semua mainan Qila warnanya pink jadi, kalau adeknya cowo pasti nggak akan diminta," ucap Aqila dengan polos.

Ilham terkekeh kecil seraya menggelengkan kepalanya ringan mendengar penjelasan putrinya.

Namun, tak sengaja matanya menangkap raut kesedihan yang mendalam dari wajah istri pertamanya itu.

"Kamu nggak bahagia ya dengan calon buah hati kita yang kedua ini?" tanya Ilham lirih dan dengan sangat hati-hati.

Tatap mata Siska sama sekali tak mengarah pada Ilham, pandangannya kosong lurus ke depan.

"Huftttt...." Ilham menghela napasnya lalu mengambil piring yang ada di pangkuan Aqila.

"Sayang, biar Ayah aja sini yang nyuapin, Bunda."

"Biar Qila aja, Ayah. Kalau Qila yang nyuapin pasti Bunda mau. Kan, tadi pas Ayah nyuapin Bunda nggak mau."

"Tapi.... Sayang...."

"Tok.... Tok.... Tok...."

Pintu terketuk lalu terbuka dengan sangat pelan, sosok Nabila terlihat dari ambang pintu. Kedua sorot matanya tertuju pada Ilham dan senyumnya mengembang, wajahnya yang begitu cantik tanpak ada semburat kemerahan di kedua pipinya saat menatap wajah suaminya.

"Mas..." panggil Nabila.

"Iya, ada apa, Nab?"

"Bisa bicara sebentar, Mas?"

"Nanti saja, ya. Saya sedang menemani Bunda Siska sarapan dulu."

"Nggak perlu, Mas. Pergi saja aku tak apa di sini!" sahut Siska lalu menatap putrinya.

"Bunda mau makan disuapin Qila, kan?"

"Iya, Sayang," balas Siska seraya menganggukkan kepalanya ringan dan menarik kedua sudut bibirnya perlahan.

"Beneran nggak apa-apa?" tanya Ilham memastikan.

"Pergi saja, Mas! Aku sudah kehilanganmu sejak wanita itu datang," balas Siska dingin lalu membuka mulutnya dan memakan makanan yang telah putrinya berikan.

Walau rasa mual yang sangat hebat, ia tetap berusaha mengisi perutnya demi calon buah hatinya. Ia tak ingin melukai ataupun membahayakan keselamatan jabang bayi yang ada di dalam perutnya.

Dan Nabila yang mendengar ucapan Siska membuat itu merasa tidak enak dan langsung memutuskan untuk pergi saja.

"Siska.... jangan bicara seperti itu! Kalian ini sama-sama istri saya jadi, tolong saling menghormati! Lagi pula dia wanita yang baik, Sis. Saya jamin dia pasti bisa menjadi adik madumu yang baik," ujar Ilham dengan tatapan serius.

"Mas!" ucap Siska dengan nada tinggi.

"Sampai kapan pun juga, aku nggak pernah rela dimadu, Mas! Mas Ilham melakukan semua ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan dariku? Lalu, Mas pikir aku bisa menerimanya begitu saja?" Kedua matanya menatap Ilham dengan sangat tajam, baginya sangat mustahil untuk bersikap baik dan menghormati wanita yang telah merusak kedamaian keluarga kecilnya.

"Hah....!" Ilham mengembuskan napasnya dengan kasar lalu bangkit dari kasur.

"Semua sudah terjadi, Siska. Mau tidak mau kamu harus menerima Nabila," ucap Ilham dengan nada tinggi.

"Egois sekali kamu, Mas? Mas sungguh tidak memikirkan perasaanku, manusia macam apa kamu ini, Mas!" pekik Siska dengan keras, napasnya memburu, matanya kembali mengembun dan menatap Ilham dengan tajam.

"Berani sekali kamu membentak suamimu ini? Mau jadi istri durhaka kamu, ya?" Ilham juga larut dalam amarahnya, ia tak menyangka respon Siska akan seperti ini dan berubah menjadi seorang wanita arogan.

"Andai saja aku tak mengandung, aku sudah pasti akan memilih bercerai saja denganmu, Mas."

Tak dapat Siska pungkiri, kejadian ini sangatlah tiba-tiba. Rasanya baru kemarin suaminya masih menjadi miliknya seorang yang selalu memanjakan dan menjadi obat dari segala rasa lelah di setiap harinya. Namun, kini semua telah berubah begitu saja. Hanya ada rasa marah, sedih dan kecewa yang dapat Siska rasakan.

Cinta yang selama ini sangat ia agungkan, ternyata menjadi sebuah duri tajam yang menyayat hati dan menusuk relung hatinya terlalu dalam.

"Sakit, rasanya sangat sakit di dalam hati ini, Mas. Nggak ada seorang wanita di dunia ini yang rela melihat suaminya bersama wanita lain. Aku sungguh tak sanggup, Mas." Siska kembali meneteskan air matanya sembari memegang dadanya yang terasa sangat sesak hingga ia kesulitan bernafas.

Melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat hebat membuat Aqila hanya bisa menangis dan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.

Ilham mengacak rambutnya frustasi, di sisi lain ia takut terjadi apa-apa kepada calon buah hatinya jika, Siska terus saja larut dalam kesedihan ini. Namun, ia juga marah dengan sikap tidak sopan saat ada Nabila dan telah berani meninggikan suara saat berbicara padanya.

Dengan kebesaran hatinya, Ilham mencoba mengendalikan amarah dan egonya. Ia kembali mendekati istrinya dan mendekapnya sembari mengelus punggung Siska dengan lembut.

Kali ini tak ada penolakan dari Siska, tubuhnya terlalu lemas hingga ia tak mampu menepis tubuh kekar suaminya.

"Maafkan Mas, Sayang! Tapi, Mas mohon! Jangan seperti ini, ya! Tenangkan pikiranmu dan coba lebih perhatian lagi pada keselamatan calon anak kita," bujuk Ilham dengan lembut.

"Tapi, aku nggak kuat, Mas. Aku nggak bisa melihat wajah wanita itu sangat menatap suamiku. Nggak rela, Mas! Nggak rela," ucap Siska lalu menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Ilham.

"Sayang.... Mas harus apa? Sudah Mas jelaskan berkali-kali, kan. Ini semua terjadi karena keterpaksaan dan desakan, kamu tetap nomor satu di dalam hati Mas, Siska."

"Agghhhhhh.... aku tidak rela, Mas.. hikss.... hikss...."

"Kenapa, Mas begitu tega melakukan hal ini kepadaku? A-apa Mas t-tau kalau ini rasanya sa-sangat sakit, Mas?" Kedua tangan Siska memeluk Ilham dengan sangat erat, sungguh ia tak rela ada wanita lain yang berani menyentuh suami tercintanya.

Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan pernah kembali lagi seperti semula.

"Maaf, Sayang! Maafkan, Mas."

Air mata Ilham juga ikut menetes, selama ini ia memang paling tidak bisa melihat istrinya menangis. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua ini terjadi karena kesalahanya sendiri, tak bisa ia menghindari musibah yang telah menimpanya.

"Mas... tolong! Perbaiki semuanya! Ini masih bisa diperbaik, Mas," ucap Siska lirih seraya menatap Ilham dengan nanar.

"Iya, Sayang. Mas akan berusaha akan menjadi suami yang lebih baik lagi untuk kalian berdua," balas Ilham.

Hati Siska justru kembali pilu mendengar kata terakhir suaminya itu.

"Dua, Mas?" Seketika sorot mata Siska berubah, ia kembali marah dan napasnya memburu.

"Bukan seperti itu yang aku mau, Mas! Bukan!" Siska menggeleng cepat dengan air mata yang masih saja terus mengalir deras.

"Lalu apa, Sayang? Tenang dulu, jangan emosi lagi!" ucap Ilham mencoba menenangkan istrinya itu lalu, mengecup keningnya dengan lembut.

"Ceraikan dia, Mas! Kita kembali hidup bahagia dan aku akan berusaha melupakan kejadian ini."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status