Kedua mata Siska membelalak mendengar ucapan gadis kecil yang kini sedang memeluknya dengan hati gembira itu.
"Jaga kesehatan ya, Mba! Jangan terlalu lelah dulu!" ucap seorang Dokter wanita bernama Clara yang sudah Ilham panggil setelah ia menemukan Siska tergeletak di kamar mandi.
"Ini maksudnya apa, sih?" gumam Siska seraya mengerutkan dahinya heran.
"Bunda, makan yang banyak, ya! Biar adeknya cepet besar," ucap Aqila seraya tersenyum lebar lalu mengambil piring yang ada di atas meja sebelah lampu duduk.
"Iya, Sayang! Dengerin apa yang yang Dokter Clara bilang, ya! Kamu harus jaga kesehatan!" sahut Ilham lalu, tangannya meraih jemari Siska namun, dengan segera ia menepisnya.
"Hah?Apa aku hamil, ya?"
Segala pertanyaan muncul di benak Siska. Namun, apa yang telah putri kecilnya katakan itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia memang sedang mengandung.
"Selamat ya, Mba!" ucap Nabila yang sedang berdiri di sebelah Dokter Clara sembari tersenyum manis dengan wajahnya yang terlihat begitu polosnya.
Hanya sekilas saja ia melihat wajah adik madunya itu, sangat tak sanggup untuk berlama-lama melihat seorang wanita lain yang sudah masuk ke dalam istananya dan merenggut segala kebahagiannya.
"Aku ingin minta cerai, tapi kenapa justru aku hamil, Ya Allah? Aku sungguh tak sanggup hamil dalam keadaan seperti ini," ucap Siska di dalam hatinya.
Siska tak habis pikir dengan semua yang terjadi, antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Bukan maksud menolak rezeki yang telah Allah berikan kepadanya namun, dalam situasi telah masuknya wanita lain di dalam kehidupannya ini membuatnya kewalahan jika tetap satu atap dengan Nabila.
"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Dokter Clara seraya menganggukkan kepalanya sekali dengan sangat ramah dan sopan.
"Iya, Dok! Terima kasih banyak," balas Ilham seraya membalas senyum Dokter Clara.
"Nabila, tolong antarkan Dokter Clara, ya!"
"Iya, Mas!" balas Nabila seraya menganggukan kepalanya ringan, ia terlihat sangat tunduk patuh dan hormat kepada suaminya itu.
Siska yang melihatnya merasakan perih di dalam hatinya, ia segera mengalihkan pandangannya untuk meminimalisir rasa sakit hatinya. Tak mampu lagi air matanya mengalir, rasanya sudah sangat kering dan rasa kecewanya kini kian membesar.
"Mari, Dok. Saya antar," ucap Nabila dengan suara yang begitu lembut.
Siska tak tahu apakah wanita cantik itu memang benar-benar baik hati karena memang tutur bahasanya sangat sopan dan ramah atau hanya menutupi segala kebusukannya saja.
"Kalau memang dia wanita baik-baik, tak mungkin ia tega menghancurkan kebahagiaan wanita lain, bukan? Cih, aku sangat muak mendengar dan melihat wajahnya yang terlihat begitu polos," gumam Siska lirih saat melihat Dokter Clara dan Nabila keluar dari kamar utama.
"Bunda... besok kalau adeknya udah lahir pokoknya harus cowo ya, Bun!" Aqila mengatupkan kedua tangannya di pipi Siska, seolah ia menatap Bundanya itu dengan tatapan yang serius dan harus mengiyakan permintaannya.
"Qila, Sayang. Nggak boleh mengharuskan gitu, dong! Kan, yang ngasih adeknya cowo atau cewe itu Allah SWT. Jadi, Bunda juga nggak bisa nolak mau yang lahir cewe atau cowo, Sayang," sahut Ilham seraya membelai kepala putrinya dengan lembut.
"Tapi Aqila pengennya punya adek cowo, Ayah!" rengek Aqila dengan manja.
"Hm, memangnya kenapa kok Aqila maunya punya adek cowo?"
"Ya biar nanti mainan Qila ngga dimintain sama adek. Kan, semua mainan Qila warnanya pink jadi, kalau adeknya cowo pasti nggak akan diminta," ucap Aqila dengan polos.
Ilham terkekeh kecil seraya menggelengkan kepalanya ringan mendengar penjelasan putrinya.
Namun, tak sengaja matanya menangkap raut kesedihan yang mendalam dari wajah istri pertamanya itu.
"Kamu nggak bahagia ya dengan calon buah hati kita yang kedua ini?" tanya Ilham lirih dan dengan sangat hati-hati.
Tatap mata Siska sama sekali tak mengarah pada Ilham, pandangannya kosong lurus ke depan.
"Huft!" Ilham menghela napasnya lalu mengambil piring yang ada di pangkuan Aqila.
"Sayang, biar Ayah aja sini yang nyuapin Bunda."
"Biar Qila aja, Ayah. Kalau Qila yang nyuapin pasti Bunda mau. Kan, tadi pas Ayah nyuapin Bunda nggak mau."
"Tapi, Sayang."
"Tok... Tok... Tok..."
Pintu terketuk lalu terbuka dengan sangat pelan, sosok Nabila terlihat dari ambang pintu. Kedua sorot matanya tertuju pada Ilham dan senyumnya mengembang, wajahnya yang begitu cantik tanpak ada semburat kemerahan di kedua pipinya saat menatap wajah suaminya.
"Mas," panggil Nabila.
"Iya, ada apa, Nab?"
"Bisa bicara sebentar, Mas?"
"Nanti saja, ya. Saya sedang menemani Bunda Siska sarapan dulu."
"Nggak perlu, Mas. Pergi saja aku tak apa di sini!" sahut Siska lalu menatap putrinya.
"Bunda mau makan disuapin Qila, kan?"
"Iya, Sayang," balas Siska seraya menganggukkan kepalanya ringan dan menarik kedua sudut bibirnya perlahan.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Ilham memastikan.
"Pergi saja, Mas! Aku sudah kehilanganmu sejak wanita itu datang," balas Siska dingin lalu membuka mulutnya dan memakan makanan yang telah putrinya berikan.
Walau rasa mual yang sangat hebat, ia tetap berusaha mengisi perutnya demi calon buah hatinya. Ia tak ingin melukai ataupun membahayakan keselamatan jabang bayi yang ada di dalam perutnya.
Dan Nabila yang mendengar ucapan Siska membuat itu merasa tidak enak dan langsung memutuskan untuk pergi saja.
"Siska, jangan bicara seperti itu! Kalian ini sama-sama istri saya jadi, tolong saling menghormati! Lagi pula dia wanita yang baik, Sis. Saya jamin dia pasti bisa menjadi adik madumu yang baik," ujar Ilham dengan tatapan serius.
"Mas!" ucap Siska dengan nada tinggi.
"Sampai kapan pun juga, aku nggak pernah rela dimadu, Mas! Mas Ilham melakukan semua ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan dariku? Lalu, Mas pikir aku bisa menerimanya begitu saja?" Kedua matanya menatap Ilham dengan sangat tajam, baginya sangat mustahil untuk bersikap baik dan menghormati wanita yang telah merusak kedamaian keluarga kecilnya.
"Hah!" Ilham mengembuskan napasnya dengan kasar lalu bangkit dari kasur.
"Semua sudah terjadi, Siska. Mau tidak mau kamu harus menerima Nabila," ucap Ilham dengan nada tinggi.
"Egois sekali kamu, Mas? Mas sungguh tidak memikirkan perasaanku, manusia macam apa kamu ini, Mas!" pekik Siska dengan keras, napasnya memburu, matanya kembali mengembun dan menatap Ilham dengan tajam.
"Berani sekali kamu membentak suamimu ini? Mau jadi istri durhaka kamu, ya?" Ilham juga larut dalam amarahnya, ia tak menyangka respon Siska akan seperti ini dan berubah menjadi seorang wanita arogan.
"Andai saja aku tak mengandung, aku sudah pasti akan memilih bercerai saja denganmu, Mas."
Tak dapat Siska pungkiri, kejadian ini sangatlah tiba-tiba. Rasanya baru kemarin suaminya masih menjadi miliknya seorang yang selalu memanjakan dan menjadi obat dari segala rasa lelah di setiap harinya. Namun, kini semua telah berubah begitu saja. Hanya ada rasa marah, sedih dan kecewa yang dapat Siska rasakan.
Cinta yang selama ini sangat ia agungkan, ternyata menjadi sebuah duri tajam yang menyayat hati dan menusuk relung hatinya terlalu dalam.
"Sakit, rasanya sangat sakit di dalam hati ini, Mas. Nggak ada seorang wanita di dunia ini yang rela melihat suaminya bersama wanita lain. Aku sungguh tak sanggup, Mas." Siska kembali meneteskan air matanya sembari memegang dadanya yang terasa sangat sesak hingga ia kesulitan bernafas.
Melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat hebat membuat Aqila hanya bisa menangis dan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
Ilham mengacak rambutnya frustasi, di sisi lain ia takut terjadi apa-apa kepada calon buah hatinya jika, Siska terus saja larut dalam kesedihan ini. Namun, ia juga marah dengan sikap tidak sopan saat ada Nabila dan telah berani meninggikan suara saat berbicara padanya.
Dengan kebesaran hatinya, Ilham mencoba mengendalikan amarah dan egonya. Ia kembali mendekati istrinya dan mendekapnya sembari mengelus punggung Siska dengan lembut.
Kali ini tak ada penolakan dari Siska, tubuhnya terlalu lemas hingga ia tak mampu menepis tubuh kekar suaminya.
"Maafkan Mas, Sayang! Tapi, Mas mohon! Jangan seperti ini, ya! Tenangkan pikiranmu dan coba lebih perhatian lagi pada keselamatan calon anak kita," bujuk Ilham dengan lembut.
"Tapi, aku nggak kuat, Mas. Aku nggak bisa melihat wajah wanita itu sangat menatap suamiku. Nggak rela, Mas! Nggak rela," ucap Siska lalu menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Ilham.
"Sayang, Mas harus apa? Sudah Mas jelaskan berkali-kali, kan. Ini semua terjadi karena keterpaksaan dan desakan, kamu tetap nomor satu di dalam hati Mas, Siska."
"Agh! Aku tidak rela, Mas!"
"Kenapa, Mas begitu tega melakukan hal ini kepadaku? A-apa Mas t-tau kalau ini rasanya sa-sangat sakit, Mas?" Kedua tangan Siska memeluk Ilham dengan sangat erat, sungguh ia tak rela ada wanita lain yang berani menyentuh suami tercintanya.
Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan pernah kembali lagi seperti semula.
"Maaf, Sayang! Maafkan, Mas."
Air mata Ilham juga ikut menetes, selama ini ia memang paling tidak bisa melihat istrinya menangis. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua ini terjadi karena kesalahanya sendiri, tak bisa ia menghindari musibah yang telah menimpanya.
"Mas, tolong! Perbaiki semuanya! Ini masih bisa diperbaik, Mas," ucap Siska lirih seraya menatap Ilham dengan nanar.
"Iya, Sayang. Mas akan berusaha akan menjadi suami yang lebih baik lagi untuk kalian berdua," balas Ilham.
Hati Siska justru kembali pilu mendengar kata terakhir suaminya itu.
"Dua, Mas?" Seketika sorot mata Siska berubah, ia kembali marah dan napasnya memburu.
"Bukan seperti itu yang aku mau, Mas! Bukan!" Siska menggeleng cepat dengan air mata yang masih saja terus mengalir deras.
"Lalu apa, Sayang? Tenang dulu, jangan emosi lagi!" ucap Ilham mencoba menenangkan istrinya itu lalu, mengecup keningnya dengan lembut.
"Ceraikan dia, Mas! Kita kembali hidup bahagia dan aku akan berusaha melupakan kejadian ini."
Kedua mata Ilham membulat sempurna, ia tak dapat mengiyakan permintaan istrinya itu."Sayang, Mas tetap milikmu dan Mas sangat mencintaimu," ucap Ilham seraya mengusap lembut pucuk kepala Siska. "Hhh, bukan itu jawaban yang aku mau, Mas. Kalau memang Mas tidak mau menceraikan lebih baik untuk saat ini tolong jauhkan saja dia dari pandanganku, Mas! Aku tak sudi jika setiap hari harus melihat wajah wanita yang sudah merebut suamiku.""Siska, dia tidak merebutku darimu. Aku juga tidak akan meninggalkanmu, aku hanya memintamu untuk menerimanya sebagi adik madumu.""Tidak, Mas! Sudah berkali-kali ku katakan, aku tidak mau dimadu!" Siska berteriak dengan emosi, matanya memanas dan napasnya memburu."Tapi, ini semua sudah terjadi, Siska. Kamu harus menerimanya, titik! Jangan membangkang!""Tapi aku tidak mau berbagi rumah ini dengannya! Silahkan Mas bawa dia keluar dari rumah ini!""Ta-tapi, ini kan juga rumah Mas, Sayang.""Beli lah rumah baru untuk istri barumu itu! Dan tin
Karena pintu tidak terkunci dan masih sedikit terbuka membuat Nabila mendengar suara benturan yang terdengar sangat keras hingga membuatnya langsung berlari ke kamar utama untuk melihat apa yang terjadi.Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat sudah berada di depan pintu."A-aku masuk tidak, ya? Nanti salah," gumam Nabila, ia ragu untuk masuk namun pada akhirnya ia tetap melangkahkan kakinya."Ya Allah, Mas Ilham," teriak Nabila histeris ketika melihat darah keluar dari sudut siku Ilham.Kedua mata Siska langsung tertuju pada Nabila yang sedang berdiri diambang pintu dan kini berjalan ke arah dirinya dan Ilham."Ngapain pake ke sini segala sih? Ikut campur aja," desis Siska seraya melirik sekilas Nabila dengan sinis.Siska mencoba membantu Ilham berdiri dan membawanya untuk duduk di kasur. Ia tak sudi berlama-lama melihat wajah adik madunya itu dan lebih memilih untuk melihat putri kecilnya yang sedari tadi menangis karena ketahuan melihat kedua orangtuanya berkelahi."Kenapa, Mas?"
Nabila seketika tersentak dengan ucapan Siska, dirinya merasa tidak ada yang salah dengan apa yang baru ia katakan."Dasar tidak tahu malu!" gumam Siska seraya menatap Nabila dengan tajam.Sudah merebut suaminya dan sekarang juga mencoba untuk mendekati putrinya jelas saja Siska akan marah dan tidak akan membiarkan Nabila bersikap seolah ia juga orangtua dari putri kandungnya itu."Nabila," panggil Ilham seraya menggeleng ringan.Untuk saat ini Ilham lebih memilih agar putrinya jangan mengetahui dulu jika ia punya ibu baru, Ilham takut putrinya itu belum bisa mengerti dan justru akan membenci dirinya karena telah menyakiti hati Bundanya."Ma-ma?""Kok Mama, Yah? Nama Tante itu Mama, ya?" tanya Aqila pada Ayahnya. Ia memang masih sangat kecil untuk memahami hal-hal baru seperti ini."Untung saja kamu belum paham, Nak. Maafkan Ayah ya, Sayang," batin Ilham seraya menatap putrinya dengan haru."Jaga sikapmu ya, Nabila! Dan jangan mencoba untuk mendekati anakku! Aku tak akan pernah membiar
Bibir Siska bergetar, kedua matanya memanas menyaksikan suaminya sedang bermesraan dengan istri mudanya itu. Apalagi, mereka melakukannya di kamar utama. Kamar yang sudah satu tahun ini menjadi saksi cinta Siska bersama dengan sang suami.Ia menekan dadanya kuat-kuat, perih dan sangat nyeri. Tak mampu ia membendung air matanya hingga kini pun mengalir deras membasahi kedua pipinya.Dengan segera Siska menarik tangan putrinya untuk segera pergi.mengambil kunci mobil yang ada di sarkas dan langsung mengajak putrinya untuk masuk."Loh, Bund. Katanya Bunda mau makan? Kok malah masuk mobil? Mau beli makan di lual ya, Bund?" tanya Aqila bingung.Siska berkali-kali mencoba untuk menyeka air matanya namun, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian itu sungguh menyayat hatinya dan kini pun ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan putri kecilnya."Bunda kenapa? Kok nan
Terdengar suara mobil yang baru keluar dari bagasi.Ilham mengeryit heran seraya melepaskan kedua tangannya yang berada di pipi Nabila."Kenapa, Mas?" tanya Nabila, ia merasa sedikit kesal karena Ilham dengan tiba-tiba langsung menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya.Kedua bola mata Ilham bergerak ke sana ke mari, ia langsung bangkit dari kasur tanpa menjawab pertanyaan dari istri mudanya itu."Mas..." panggil Nabila yang juga ikut bangkit dan mengikuti langkah Ilham yang berjalan menuju ruang keluarga."Ada apa, Mas? Kenapa dari tadi Nabila tanya Mas Ilham nggak jawab apa-apa," keluh Nabila lalu menghembuskan napasnya lesu."Maaf, Nab! Bukan maksud Mas nggak mau jawab tapi... Mas lagi bingung, seperti Siska keluar. Kunci mobilnya yang ada di atas sarkas juga tak ada, mau kemana dia? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" balas Ilham dan segera mengambil kun
Ilham dengan cepat langsung melajukan kendaraannya menuju rumah mertuanya. Walau ia tak begitu yakin bahwa istrinya itu ada di sana namun, ia tetap menuju ke rumah mertuanya itu terlebih dahulu untuk memastikan.Karena, Siska memang tak mempunyai siapa pun kecuali kedua orangtuanya itu."Ya Allah, sayang.... kok nggak pamitan dulu sama, Mas?" gumam Ilham lalu mengembuskan napasnya lesu."Apa.... tadi Siska melihatku dan Nabila, ya?""Arhggg... bodoh sekali aku ini," sesal Ilham lalu, menambah kecepatan kendaraanya.Ia mengendari sebuah motor Vario berwarna putih yang sudah ia punyai sebelum menikah dengan Siska. Karena, memang hanya ada satu mobil yang ia miliki dan kini telah dibawa oleh Siska yang Ilham sendiri pun tak tahu kemana istrinya itu pergi."Mas harap kamu hanya pergi ke rumah bapak, Sayang! Mas nggak akan bisa hidup tanpa kamu dan putri manis kit
Mana mungkin Siska bisa ihklas begitu saja dengan keadaan yang telah menimpanya? Ia bisa saja mengikhlaskan suaminya itu tapi ia tidak akan pernah mau untuk dimadu, lebih baik ia bercerai saja dengan Ilham dari pada harus menderita sepanjang hari melihat suami dan adik madunya itu bersamaan di depan kedua mata kepalanya. Memang ada yang mampu menahan rasa cemburu?Mustahil jika ada wanita yang tak cemburu melihat suaminya bersama dengan wanita lain. Kecuali, memang tak mempunyai rasa sedikit pun kepada suaminya itu."Siska.... ayo lah! Mas mohon... turun ya, Sayang! Nggak enak sama bapak," bujuk Ilham dengan suara lemah lembutnya."Sudah lah, Mas! Cukup! Aku tak tahan dan aku tidak akan pernah bisa satu atap dengan gundikm
Bapak menggeleng tak percaya dengan apa yang baru Ilham katakan, ia tersenyum getir lalu membuang pandangannya."Memangnya apa kesalahan Siska sampai kamu tega memadunya?" tanya Bapak yang masih mencoba mengontrol emosinya."Siska nggak salah apa-apa, Pak. Ini semua terjadi karena musibah," balas Ilham lirih dan masih bersimpuh di kaki Bapak dengan segala rasa sesalnya."BOHONG!" sahut Siska yang langsung menatap Ilham dengan penuh amarah dan gejolak api di dada yang sedari tadi masih membara akibat melihat suaminya itu mencumbu adik madunya.Seluruh orang kini memandang Siska, wanita malang yang bernasib tak beruntung ini kini sedang mencoba menyeka air matanya. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat sembari sesekali menahan sesenggukan."Dia..." Tunjuk Siska pada Ilham dengan kedua mata yang sudah membesar akibat sembab itu masih saja terus mengeluarkan cairan bening yang ter
Satu bulan sudah Ilham kembali ke Indonesia. Hampir setiap hari lelaki itu selalu mengunjungi putri kecilnya dan tak jarang pula mengajaknya pergi keluar. Sebenarnya ia juga sangat ingin kembali membangun kedekatan dan memperbaiki hubungannya dengan Siska. Namun, sayang sekali. Hal tersebut sama sekali tak mampu untuk Ilham wujudkan dan hanya menjadi sebuah angan belakang. Hampir setiap kali Ilham datang Siska tak pernah berada di rumah. Kalau pun sedang di rumah ia hanya akan menemui Ilham sebentar untuk memberikan minuman dan sebuah makanan ringan. Lalu, kemudian melanjutkan aktivitasnya sendiri. Sama halnya dengan sore hari ini. Siska dan Ibu tengah sibuk di dapur untuk menyiapkan makan malam. Sedangkan Bapak dan Aqila tengah duduk bersantai di teras rumah sembari menikmati secangkir kopi dan brownis basah buatan Siska. “Ayah...” panggil Aqila lirih seraya mendongakkan kepalanya. Menatap wajah sang Ayah yang kini tengah memangku tubu
Sebelum menjawabnya Siska terlebih dahulu menatap Ibunya, dan Ibunya tersebut menganggukkan kepala sebagai tanda bahwa beliau menyetujuinya. Seketika itu juga Ilham langsung tersenyum dengan lebarnya, walau Siska sendiri belum memberikan jawaban. “Ya sudah, ayo kita pulang,” seru Ibu, beliau membalikan tubuh untuk mengambil tas yang masih berada di atas kursi taman. “Ibu sama Siska naik apa?” tanya Ilham lirih. “Taksi,” jawab Siska, ia hendak mengambil alih tubuh Aqila dari gendongan Ilham. Namun, ternyata putri kecilnya itu justru semakin erat memeluk leher Ayahnya. “Nggak, Bunda!” Aqila menggeleng pelan, “Qila mau sama Ayah aja,” lanjutnya. Ilham begitu senang dengan sikap manja putri manisnya ini. Bahkan posisi wajah mereka kini tengah berhadap-hadapan, hanya berjarak lima senti saja. Padahal sebelum pertemuan ini gadis kecilnya itu juga tak selengket ini kepadanya. Justru Aqila sediki
Mendengar namanya dipanggil lelaki itu pun menoleh ke kanan dengan wajah datarnya. Namun, beberapa detik kemudian ia kembali mengalihkan pandangannya kepada Aqila dan juga Siska. Senyumnya terukir dengan sangat lembutnya, bahkan saat ini kedua matanya mulai berbinar bersamaan dengan bibir yang bergetar pelan. “Qila Sayang,” ucapnya begitu lirih sembari mengusap pucuk kepala Aqila yang masih nampak kebingunan. Sedangkan Siska, kini wanita itu justru tampak terkesiap dengan apa yang kini tengah berada di hadapanya. Seolah tak percaya dan begitu ragu, benarkah yang saat ini sedang berdiri tepat di depannya ini adalah Ilham? Sang mantan suami yang sudah berbulan-bulan lamanya tak pernah terlihat. “Ini beneran kamu, Mas?” ucap Nabila lagi, kedua matanya tampak terbelalak. Seolah begitu kagum dengan sosok lelaki yang juga berada di hadapannya ini. Namun, lagi-lagi tetap tak mendapatkan respon. Lelaki itu justru teta
Hari-hari berjalan dengan damai. Akhirnya setelah bertubi-tubi masalah selalu hadir 5 bulan Siska benar-benar bisa merasakan sebuah ketenangan. Ia tengah sibuk bekerja, mengembangkan tokonya dan melakukan promosi sebanyak-banyaknya. Perlengkapan di tokonya juga sudah semakin banyak lagi, serta bapak dan ibunya tidak perlu capek-capek untuk melayani para pembeli. Karena, Siska sudah mempekerjakan 3 orang di tokonya itu. Mungkin Ibu dan Bapak hanya sesekali saja ke sana untuk memantau. “Alhamdulillah ya, Nduk. Perlahan tokonya semakin ramai dan keuangan sudah kembali membaik. Maaf kalau Ibu sama Bapak cuma bisa nyusahin kamu aja, Nduk.” Ibu mengusap lembut punggung tangan Siska. Kini mereka tengah duduk di kursi taman. Memperhatikan Aqila yang tengah bermain-main dengan teman sebayanya di hari minggu ini. Siska menatap Ibu dengan lekat, “Ibu ini ngomong apa, sih? Nggak ada yang namanya nyusahin, Bu. Apa yang udah Siska lakuin sekarang ju
Tidak hanya Lestari, bahkan fatya pun juga cukup geram mendengarnya. Pasalnya mereka benar-benar menganggap perkataan Haris baru saja menerangkan bahwa lelaki itu menggunakan Siska sebagai umpan untuk menyeleksi para karyawannya. “Bener-bener ya kamu ini, Haris. Mana bisa kamu memperalat Siska kaya gitu, kamu nggak kasian sama dia? Hah?! Emang paling bener dia nggak perlu kerja di perusahaanmu lagi, ya. Di luar sana masih banyak kok yang bakalan nerima karyawan kompeten sepertinya. Nggak usah bertahan di perusahan toxicmu itu,” sentak Fatya yang sudah mulai tak bisa lagi menahan amarahnya. Sedari ia sudah berusaha untuk tenang dan sabar, tapi mendengar hal itu jelas saja emosinya langsung meledak. Dengan cepat Haris pun langsung menggelengkan kepalanya dan segera menjelaskan kesalapahaman itu, “tunggu-tunggu! Ini nggak seperti yang kalian pikirkan. Sumpah... saya nggak ada maksud untuk menjadikan Siska umpan. Saya suka sama dia makanya sa
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk