Kedua mata Siska membelalak mendengar ucapan gadis kecil yang kini sedang memeluknya dengan hati gembira itu.
"Jaga kesehatan ya, Mba! Jangan terlalu lelah dulu!" ucap seorang Dokter wanita bernama Clara yang sudah Ilham panggil setelah ia menemukan Siska tergeletak di kamar mandi.
"Ini maksudnya apa, sih?" gumam Siska seraya mengerutkan dahinya heran.
"Bunda, makan yang banyak, ya! Biar adeknya cepet besar," ucap Aqila seraya tersenyum lebar lalu mengambil piring yang ada di atas meja sebelah lampu duduk.
"Iya, Sayang! Dengerin apa yang yang Dokter Clara bilang, ya! Kamu harus jaga kesehatan!" sahut Ilham lalu, tangannya meraih jemari Siska namun, dengan segera ia menepisnya.
"Hah?Apa aku hamil, ya?"
Segala pertanyaan muncul di benak Siska. Namun, apa yang telah putri kecilnya katakan itu sudah cukup menjelaskan bahwa ia memang sedang mengandung.
"Selamat ya, Mba!" ucap Nabila yang sedang berdiri di sebelah Dokter Clara sembari tersenyum manis dengan wajahnya yang terlihat begitu polosnya.
Hanya sekilas saja ia melihat wajah adik madunya itu, sangat tak sanggup untuk berlama-lama melihat seorang wanita lain yang sudah masuk ke dalam istananya dan merenggut segala kebahagiannya.
"Aku ingin minta cerai, tapi kenapa justru aku hamil, Ya Allah? Aku sungguh tak sanggup hamil dalam keadaan seperti ini," ucap Siska di dalam hatinya.
Siska tak habis pikir dengan semua yang terjadi, antara bahagia dan terkejut bercampur menjadi satu. Bukan maksud menolak rezeki yang telah Allah berikan kepadanya namun, dalam situasi telah masuknya wanita lain di dalam kehidupannya ini membuatnya kewalahan jika tetap satu atap dengan Nabila.
"Ya sudah, kalau begitu saya pamit dulu," ucap Dokter Clara seraya menganggukkan kepalanya sekali dengan sangat ramah dan sopan.
"Iya, Dok! Terima kasih banyak," balas Ilham seraya membalas senyum Dokter Clara.
"Nabila... tolong antarkan Dokter Clara, ya!"
"Iya, Mas!" balas Nabila seraya menganggukan kepalanya ringan, ia terlihat sangat tunduk patuh dan hormat kepada suaminya itu.
Siska yang melihatnya merasakan perih di dalam hatinya, ia segera mengalihkan pandangannya untuk meminimalisir rasa sakit hatinya. Tak mampu lagi air matanya mengalir, rasanya sudah sangat kering dan rasa kecewanya kini kian membesar.
"Mari, Dok. Saya antar," ucap Nabila dengan suara yang begitu lembut.
Siska tak tahu apakah wanita cantik itu memang benar-benar baik hati karena memang tutur bahasanya sangat sopan dan ramah atau hanya menutupi segala kebusukannya saja.
"Kalau memang dia wanita baik-baik, tak mungkin ia tega menghancurkan kebahagiaan wanita lain, bukan? Cih... aku sangat muak mendengar dan melihat wajahnya yang terlihat begitu polos," gumam Siska lirih saat melihat Dokter Clara dan Nabila keluar dari kamar utama.
"Bunda.... besok kalau adeknya udah lahir pokoknya harus cowo ya, Bun!" Aqila mengatupkan kedua tangannya di pipi Siska, seolah ia menatap Bundanya itu dengan tatapan yang serius dan harus mengiyakan permintaannya.
"Qila, Sayang. Nggak boleh mengharuskan gitu, dong! Kan, yang ngasih adeknya cowo atau cewe itu Allah SWT. Jadi, Bunda juga nggak bisa nolak mau yang lahir cewe atau cowo, Sayang," sahut Ilham seraya membelai kepala putrinya dengan lembut.
"Tapi.... Aqila pengennya punya adek cowo, Ayah!" rengek Aqila dengan manja.
"Hmmm, memangnya kenapa kok Aqila maunya punya adek cewo?"
"Ya biar nanti mainan Qila ngga dimintain sama adek. Kan, semua mainan Qila warnanya pink jadi, kalau adeknya cowo pasti nggak akan diminta," ucap Aqila dengan polos.
Ilham terkekeh kecil seraya menggelengkan kepalanya ringan mendengar penjelasan putrinya.
Namun, tak sengaja matanya menangkap raut kesedihan yang mendalam dari wajah istri pertamanya itu.
"Kamu nggak bahagia ya dengan calon buah hati kita yang kedua ini?" tanya Ilham lirih dan dengan sangat hati-hati.
Tatap mata Siska sama sekali tak mengarah pada Ilham, pandangannya kosong lurus ke depan.
"Huftttt...." Ilham menghela napasnya lalu mengambil piring yang ada di pangkuan Aqila.
"Sayang, biar Ayah aja sini yang nyuapin, Bunda."
"Biar Qila aja, Ayah. Kalau Qila yang nyuapin pasti Bunda mau. Kan, tadi pas Ayah nyuapin Bunda nggak mau."
"Tapi.... Sayang...."
"Tok.... Tok.... Tok...."
Pintu terketuk lalu terbuka dengan sangat pelan, sosok Nabila terlihat dari ambang pintu. Kedua sorot matanya tertuju pada Ilham dan senyumnya mengembang, wajahnya yang begitu cantik tanpak ada semburat kemerahan di kedua pipinya saat menatap wajah suaminya.
"Mas..." panggil Nabila.
"Iya, ada apa, Nab?"
"Bisa bicara sebentar, Mas?"
"Nanti saja, ya. Saya sedang menemani Bunda Siska sarapan dulu."
"Nggak perlu, Mas. Pergi saja aku tak apa di sini!" sahut Siska lalu menatap putrinya.
"Bunda mau makan disuapin Qila, kan?"
"Iya, Sayang," balas Siska seraya menganggukkan kepalanya ringan dan menarik kedua sudut bibirnya perlahan.
"Beneran nggak apa-apa?" tanya Ilham memastikan.
"Pergi saja, Mas! Aku sudah kehilanganmu sejak wanita itu datang," balas Siska dingin lalu membuka mulutnya dan memakan makanan yang telah putrinya berikan.
Walau rasa mual yang sangat hebat, ia tetap berusaha mengisi perutnya demi calon buah hatinya. Ia tak ingin melukai ataupun membahayakan keselamatan jabang bayi yang ada di dalam perutnya.
Dan Nabila yang mendengar ucapan Siska membuat itu merasa tidak enak dan langsung memutuskan untuk pergi saja.
"Siska.... jangan bicara seperti itu! Kalian ini sama-sama istri saya jadi, tolong saling menghormati! Lagi pula dia wanita yang baik, Sis. Saya jamin dia pasti bisa menjadi adik madumu yang baik," ujar Ilham dengan tatapan serius.
"Mas!" ucap Siska dengan nada tinggi.
"Sampai kapan pun juga, aku nggak pernah rela dimadu, Mas! Mas Ilham melakukan semua ini tanpa sepengetahuan dan persetujuan dariku? Lalu, Mas pikir aku bisa menerimanya begitu saja?" Kedua matanya menatap Ilham dengan sangat tajam, baginya sangat mustahil untuk bersikap baik dan menghormati wanita yang telah merusak kedamaian keluarga kecilnya.
"Hah....!" Ilham mengembuskan napasnya dengan kasar lalu bangkit dari kasur.
"Semua sudah terjadi, Siska. Mau tidak mau kamu harus menerima Nabila," ucap Ilham dengan nada tinggi.
"Egois sekali kamu, Mas? Mas sungguh tidak memikirkan perasaanku, manusia macam apa kamu ini, Mas!" pekik Siska dengan keras, napasnya memburu, matanya kembali mengembun dan menatap Ilham dengan tajam.
"Berani sekali kamu membentak suamimu ini? Mau jadi istri durhaka kamu, ya?" Ilham juga larut dalam amarahnya, ia tak menyangka respon Siska akan seperti ini dan berubah menjadi seorang wanita arogan.
"Andai saja aku tak mengandung, aku sudah pasti akan memilih bercerai saja denganmu, Mas."
Tak dapat Siska pungkiri, kejadian ini sangatlah tiba-tiba. Rasanya baru kemarin suaminya masih menjadi miliknya seorang yang selalu memanjakan dan menjadi obat dari segala rasa lelah di setiap harinya. Namun, kini semua telah berubah begitu saja. Hanya ada rasa marah, sedih dan kecewa yang dapat Siska rasakan.
Cinta yang selama ini sangat ia agungkan, ternyata menjadi sebuah duri tajam yang menyayat hati dan menusuk relung hatinya terlalu dalam.
"Sakit, rasanya sangat sakit di dalam hati ini, Mas. Nggak ada seorang wanita di dunia ini yang rela melihat suaminya bersama wanita lain. Aku sungguh tak sanggup, Mas." Siska kembali meneteskan air matanya sembari memegang dadanya yang terasa sangat sesak hingga ia kesulitan bernafas.
Melihat kedua orang tuanya yang sedang berdebat hebat membuat Aqila hanya bisa menangis dan tak mengerti dengan apa yang telah terjadi.
Ilham mengacak rambutnya frustasi, di sisi lain ia takut terjadi apa-apa kepada calon buah hatinya jika, Siska terus saja larut dalam kesedihan ini. Namun, ia juga marah dengan sikap tidak sopan saat ada Nabila dan telah berani meninggikan suara saat berbicara padanya.
Dengan kebesaran hatinya, Ilham mencoba mengendalikan amarah dan egonya. Ia kembali mendekati istrinya dan mendekapnya sembari mengelus punggung Siska dengan lembut.
Kali ini tak ada penolakan dari Siska, tubuhnya terlalu lemas hingga ia tak mampu menepis tubuh kekar suaminya.
"Maafkan Mas, Sayang! Tapi, Mas mohon! Jangan seperti ini, ya! Tenangkan pikiranmu dan coba lebih perhatian lagi pada keselamatan calon anak kita," bujuk Ilham dengan lembut.
"Tapi, aku nggak kuat, Mas. Aku nggak bisa melihat wajah wanita itu sangat menatap suamiku. Nggak rela, Mas! Nggak rela," ucap Siska lalu menangis tersedu-sedu di dalam pelukan Ilham.
"Sayang.... Mas harus apa? Sudah Mas jelaskan berkali-kali, kan. Ini semua terjadi karena keterpaksaan dan desakan, kamu tetap nomor satu di dalam hati Mas, Siska."
"Agghhhhhh.... aku tidak rela, Mas.. hikss.... hikss...."
"Kenapa, Mas begitu tega melakukan hal ini kepadaku? A-apa Mas t-tau kalau ini rasanya sa-sangat sakit, Mas?" Kedua tangan Siska memeluk Ilham dengan sangat erat, sungguh ia tak rela ada wanita lain yang berani menyentuh suami tercintanya.
Nasi sudah menjadi bubur. Semua yang sudah terjadi tidak akan pernah kembali lagi seperti semula.
"Maaf, Sayang! Maafkan, Mas."
Air mata Ilham juga ikut menetes, selama ini ia memang paling tidak bisa melihat istrinya menangis. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua ini terjadi karena kesalahanya sendiri, tak bisa ia menghindari musibah yang telah menimpanya.
"Mas... tolong! Perbaiki semuanya! Ini masih bisa diperbaik, Mas," ucap Siska lirih seraya menatap Ilham dengan nanar.
"Iya, Sayang. Mas akan berusaha akan menjadi suami yang lebih baik lagi untuk kalian berdua," balas Ilham.
Hati Siska justru kembali pilu mendengar kata terakhir suaminya itu.
"Dua, Mas?" Seketika sorot mata Siska berubah, ia kembali marah dan napasnya memburu.
"Bukan seperti itu yang aku mau, Mas! Bukan!" Siska menggeleng cepat dengan air mata yang masih saja terus mengalir deras.
"Lalu apa, Sayang? Tenang dulu, jangan emosi lagi!" ucap Ilham mencoba menenangkan istrinya itu lalu, mengecup keningnya dengan lembut.
"Ceraikan dia, Mas! Kita kembali hidup bahagia dan aku akan berusaha melupakan kejadian ini."
Kedua mata Ilham membulat sempurna, ia tak dapat mengiyakan permintaan istrinya itu. "Sayang... Mas tetap milikmu dan Mas sangat mencintaimu," ucap Ilham seraya mengusap lembut pucuk kepala Siska. "Hhhhh.... bukan itu jawaban yang aku mau, Mas. Kalau memang Mas tidak mau menceraikan lebih baik untuk saat ini tolong jauhkan saja dia dari pandanganku, Mas! Aku tak sudi jika setiap hari harus melihat wajah wanita yang sudah merebut suamiku." "Siska.... dia tidak merebutku darimu. Aku juga tidak akan meninggalkanmu, aku hanya memintamu untuk menerimanya sebagi adik madumu." "Tidak, Mas! Sudah berkali-kali ku katakan, aku tidak mau dimadu!" Siska berteriak dengan emosi, matanya memanas dan napasnya memburu. "Tapi, ini semua sudah terjadi, Siska. Kamu harus
Karena pintu tidak terkunci dan masih sedikit terbuka membuat Nabila mendengar suara benturan yang terdengar sangat keras hingga membuatnya langsung berlari ke kamar utama untuk melihat apa yang terjadi. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti saat sudah berada di depan pintu. "A-aku masuk tidak, ya? Nanti salah," gumam Nabila, ia ragu untuk masuk namun pada akhirnya ia tetap melangkahkan kakinya. "Ya Allah, Mas Ilham," teriak Nabila histeris ketika melihat darah keluar dari sudut siku Ilham. Kedua mata Siska langsung tertuju pada Nabila yang sedang berdiri diambang pintu dan kini berjalan ke arah dirinya dan Ilham. "Ngapain pake ke sini segala sih? Ikut campur aja," desis Siska seraya melirik sekilas Nabila dengan sinis. Siska mencoba membantu Ilham berdiri dan membawanya untuk duduk di kasur. Ia tak sudi berlama-lama melihat wajah adik madunya itu
Nabila seketika tersentak dengan ucapan Siska, dirinya merasa tidak ada yang salah dengan apa yang baru ia katakan. "Dasar tidak tahu malu!" gumam Siska seraya menatap Nabila dengan tajam. Sudah merebut suaminya dan sekarang juga mencoba untuk mendekati putrinya jelas saja Siska akan marah dan tidak akan membiarkan Nabila bersikap seolah ia juga orangtua dari putri kandungnya itu. "Nabila...." panggil Ilham seraya menggeleng ringan. Untuk saat ini Ilham lebih memilih agar putrinya jangan mengetahui dulu jika ia punya ibu baru, Ilham takut putrinya itu belum bisa mengerti dan justru akan membenci dirinya karena telah menyakiti hati Bundanya. "Ma... ma?" "Kok Mama, Yah? Nama Tante itu Mama, ya?" tanya Aqila pada Ayahnya. Ia memang masih sangat kecil untuk memahami hal-hal baru seperti ini. "Untung saja kamu belum paham, Nak. M
Bibir Siska bergetar, kedua matanya memanas menyaksikan suaminya sedang bermesraan dengan istri mudanya itu. Apalagi, mereka melakukannya di kamar utama. Kamar yang sudah satu tahun ini menjadi saksi cinta Siska bersama dengan sang suami.Ia menekan dadanya kuat-kuat, perih dan sangat nyeri. Tak mampu ia membendung air matanya hingga kini pun mengalir deras membasahi kedua pipinya.Dengan segera Siska menarik tangan putrinya untuk segera pergi.mengambil kunci mobil yang ada di sarkas dan langsung mengajak putrinya untuk masuk."Loh, Bund. Katanya Bunda mau makan? Kok malah masuk mobil? Mau beli makan di lual ya, Bund?" tanya Aqila bingung.Siska berkali-kali mencoba untuk menyeka air matanya namun, tak bisa dipungkiri bahwa kejadian itu sungguh menyayat hatinya dan kini pun ia hanya bisa menangis tersedu-sedu di hadapan putri kecilnya."Bunda kenapa? Kok nan
Terdengar suara mobil yang baru keluar dari bagasi.Ilham mengeryit heran seraya melepaskan kedua tangannya yang berada di pipi Nabila."Kenapa, Mas?" tanya Nabila, ia merasa sedikit kesal karena Ilham dengan tiba-tiba langsung menjauhkan wajahnya dan melepaskan tangannya.Kedua bola mata Ilham bergerak ke sana ke mari, ia langsung bangkit dari kasur tanpa menjawab pertanyaan dari istri mudanya itu."Mas..." panggil Nabila yang juga ikut bangkit dan mengikuti langkah Ilham yang berjalan menuju ruang keluarga."Ada apa, Mas? Kenapa dari tadi Nabila tanya Mas Ilham nggak jawab apa-apa," keluh Nabila lalu menghembuskan napasnya lesu."Maaf, Nab! Bukan maksud Mas nggak mau jawab tapi... Mas lagi bingung, seperti Siska keluar. Kunci mobilnya yang ada di atas sarkas juga tak ada, mau kemana dia? Kenapa tidak memberitahuku dulu?" balas Ilham dan segera mengambil kun
Ilham dengan cepat langsung melajukan kendaraannya menuju rumah mertuanya. Walau ia tak begitu yakin bahwa istrinya itu ada di sana namun, ia tetap menuju ke rumah mertuanya itu terlebih dahulu untuk memastikan.Karena, Siska memang tak mempunyai siapa pun kecuali kedua orangtuanya itu."Ya Allah, sayang.... kok nggak pamitan dulu sama, Mas?" gumam Ilham lalu mengembuskan napasnya lesu."Apa.... tadi Siska melihatku dan Nabila, ya?""Arhggg... bodoh sekali aku ini," sesal Ilham lalu, menambah kecepatan kendaraanya.Ia mengendari sebuah motor Vario berwarna putih yang sudah ia punyai sebelum menikah dengan Siska. Karena, memang hanya ada satu mobil yang ia miliki dan kini telah dibawa oleh Siska yang Ilham sendiri pun tak tahu kemana istrinya itu pergi."Mas harap kamu hanya pergi ke rumah bapak, Sayang! Mas nggak akan bisa hidup tanpa kamu dan putri manis kit
Mana mungkin Siska bisa ihklas begitu saja dengan keadaan yang telah menimpanya? Ia bisa saja mengikhlaskan suaminya itu tapi ia tidak akan pernah mau untuk dimadu, lebih baik ia bercerai saja dengan Ilham dari pada harus menderita sepanjang hari melihat suami dan adik madunya itu bersamaan di depan kedua mata kepalanya. Memang ada yang mampu menahan rasa cemburu?Mustahil jika ada wanita yang tak cemburu melihat suaminya bersama dengan wanita lain. Kecuali, memang tak mempunyai rasa sedikit pun kepada suaminya itu."Siska.... ayo lah! Mas mohon... turun ya, Sayang! Nggak enak sama bapak," bujuk Ilham dengan suara lemah lembutnya."Sudah lah, Mas! Cukup! Aku tak tahan dan aku tidak akan pernah bisa satu atap dengan gundikm
Bapak menggeleng tak percaya dengan apa yang baru Ilham katakan, ia tersenyum getir lalu membuang pandangannya."Memangnya apa kesalahan Siska sampai kamu tega memadunya?" tanya Bapak yang masih mencoba mengontrol emosinya."Siska nggak salah apa-apa, Pak. Ini semua terjadi karena musibah," balas Ilham lirih dan masih bersimpuh di kaki Bapak dengan segala rasa sesalnya."BOHONG!" sahut Siska yang langsung menatap Ilham dengan penuh amarah dan gejolak api di dada yang sedari tadi masih membara akibat melihat suaminya itu mencumbu adik madunya.Seluruh orang kini memandang Siska, wanita malang yang bernasib tak beruntung ini kini sedang mencoba menyeka air matanya. Dadanya bergerak naik turun dengan cepat sembari sesekali menahan sesenggukan."Dia..." Tunjuk Siska pada Ilham dengan kedua mata yang sudah membesar akibat sembab itu masih saja terus mengeluarkan cairan bening yang ter