Siska sendiri berusaha untuk tidak menghiraukan Rosalinda yang sangat memperlihatkan dengan jelas bahwa Ibu dari sang pemilik perusahaan itu tak menyukai dirinya. Tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu yang jelas Siska hanya akan berusaha fokus untuk bekerja saja, tanpa ada niatan yang lain. Biarlah seseorang membencinya, asalkan tidak sampai membuat dirinya dalam bahaya.
Siska tetap melanjutkan kegiatannya siang ini dengan menghabiskan makan siangnya. Ia bergabung pada 3 karyawan perempuan dan 2 laki-laki.
“Denger-denger perempuan tadi yang sama Bu Rosalinda itu jebolan univ di Amerika loh, keren banget kan, ya,” seru Hana lalu meminum segelas es tehnya.
&
“Bunda...” panggil Qila seraya mendongak menatap wajah Siska. Gadis kecil itu kini tengah memakai mukena berwarna merah maroon sembari memegang iqro di tangan kanannya. Ia baru saja belajar membaca bersama dengan sang Bunda. Siska sendiri melihat sang putri nampak sedang gelisah, entah apa yang sedang gadis kecil itu pikirkan, “ada apa, Sayang?” tanyanya sembari mengusap lembut kedua pipi Aqila. Bukannya menjawab justru Aqila menundukkan pandangannya seraya menghela napas kecil. “Hey, Sayang. Ada apa?” Siska mengangkat tubuh kecil Aqila ke dalam pangkuannya. Mengangkat dagu putri kecilnya itu agar kembali menatap dirinya. “Qila sangat bosan, Bunda. Setiap hari Qila hanya bersama nenek dan kakek. Kalau enggak di rumah, ya ke toko. Qila mau pergi jalan-jalan kaya waktu sama ayah dulu. Qila bosen banget di rumah ini, Qila pengen tinggal di rumah kita lagi, Bunda...” rengek Aqila dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Beberapa minggu sudah terlewati. Siska semakin sibuk dengan pekerjaannya dan Aqila sudah kembali membaik. Namun, sayangnya sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi mantan suaminya selalu tidak bisa. Hingga pagi siang ini saat mengantarkan dokumen ke ruangan Haris, ia mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya. Walau memang selama ini obrolan mereka hanya seputar pekerjaan saja, karena Siska selalu berusaha menjauh dari Ilham. Bahkan wanita itu sering sekali membuat alasan agar tak berlama-lama berada di ruangan atasannya itu. Ajakan makan siang pun selalu ia tolak dan beberapa minggu ini juga Siska sering kali melihat Haris tengah keluar bersama dengan Syakira. Membuat Siska sendiri menjadi lebih tenang, karena dengan begitu Rosalinda pasti tidak akan lagi berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya. Tok... Tok... Tok... “Assalamualaikum, Pak,” seru Siska dari luar. “Waalaikum salam, iya silahkan masuk.”
Perlahan Siska kembali mengangkat kepalanya, melihat sosok Haris yang kini tengah berdiri di hadapannya. Tubuh laki-laki itu yang begitu tinggi membuat Siska harus sedikit mendongakkan kepalanya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. “Saya belum ada pikiran sejauh itu, Pak,” balas Siska sembari tersenyum tipis. Haris melipat kedua bibirnya ke dalam, lalu ia menyunggingkan senyum terbaiknya seraya berkata, “iya, Siska. Saya paham, semoga masa lalumu nggak membuatmu jadi trauma sama laki-laki, ya. Nggak semua laki-laki itu sama.” Siska mengangguk pelan dan tetap dengan senyum di bibirnya. Kadang ia juga teringat dengan perkataan Rosalinda sewaktu pertama kali mereka bertemu, tentang Haris yang telah jatuh hati kepadanya. Kalau Siska perhatikan Haris ini memang sangat jauh lebih tampan dari mantan suaminya. Bahkan sikapnya yang ramah, tegas dan bijaksana membuat banyak wanita langsung jatuh hati kepada lelaki
Akan tetapi, untungnya Siska dengan cepat langsung mengindar dan segera menekan tombol lift. Ia tak mengira bahwa Syakira akan bertindak sebrutal ini kepadanya, dan begitu pintu lift terbuka ternyata sudah ada beberapa karyawan yang tengah berdiri di depan sana. Menyaksikan Syakira yang sedang terduduk ke lantai dalam keadaan sepatu high heels nya yang hanya satu. Sedangkan Siska langsung saja keluar dari dalam lift itu diikuti dengan tatapan tajam dari Syakira. “Tolong...” ringis Syakira seraya memegangi kedua sikunya. Beberapa karyawan yang semula hanya diam mematung menyaksikan keadaan Syakira langsung segera membantunya berdiri dan membawanya keluar dari dalam lift. “Bu Syakira.... ada apa, Bu? Kenapa Ibu bisa terjatuh.” Syakira tidak langsung menjawab pertanyaan dari bawahannya itu, ia kini justru sedang menyeka kedua sudut matanya seraya menatap sendu ke arah Siska, “mungkin saya ini memang masih awam bekerja,
“APA-APAAN KAMU INI!” teriak Haris dengan lantang, namun bukannya takut atau apa karyawan itu justru menatap Haris dengan nyalang. “Dia pantas dapetin itu, Pak. Kalau Bu Syakira nggak bisa buat ngebales sikap kurang ajar dia, biar saya aja yang ngewakilinnya.” Karyawan itu hendak melepaskan cengkraman tangan Haris dari lengannya dan bermaksud untuk kembali melanjutkan aksinya. Namun, kini Syakira sudah berdiri di hadapannya seraya menggeleng pelan. “Jangan! Kamu nggak perlu balas perbuatan dia ke saya. Kamu nggak perlu menjadikan diri kamu sama sepertinya,” ujar Syakira pelan, lalu tersenyum tipis. “Tapi, perempuan itu akan semakin sok di kantor ini kalau nggak ada yang ngelawan dia, Bu. Nggak papa kalau sekiranya Pak Haris bakalan mecat saya gara-gara ini. Saya ikhlas, asal saya bisa ngasi pelajaran ke sekretaris nggak tahu diri itu,” balasnya dengan lantang dan napasnya kini sudah semakin memburu. Menatap Siska
Hari ini Siska diperbolehkan untuk pulang lebih awal, bahkan saat ini ia tengah berada di rumah sakit bersama dengan Haris. Laki-laki itu sangat khawatir dengan Siska, apalagi saat melihat luka lebam pada kening wanita itu. Setelah menyelesaikan rapat di jam 2 siang tadi, Haris langsung bergegas mengantarkan Siska. Walau wanita itu sudah menolaknya, tetapi Haris tetap bersikeras. Keadaan Siska pun juga tidak memungkinkan jika harus pulang sendiri. Kepalanya masih terasa sangat pusing. “Bagaimana keadaannya, Dok?” seru Haris, namun pandangannya masih tertuju pada Siska yag tengah terbaring di atas kasur beroda. Wanita itu tengah memejamkan matanya, sembari sesekali berseringai karena rasa nyeri yang berdenyut pada keningnya. Dokter perempuan itu tampak menghela napas panjang, ia mengikuti arah pandanganHaris dan menatap Siska dengan iba, “benturannya sangat keras, Pak. Tetapi, sebenarnya yang membuat rasa pusing itu bertahan
Sepulang dari kantor Syakira mampir terlebih dahulu ke rumah Rosalinda. Sebenarnya wanita itu juga sangat kesal karena Haris sama sekali tak memperdulikkannya dan justru lebih memilih untuk menunggu Siska di rumah sakit. “Gara-gara Nindi gue jadi harus kehilangan waktu sama Haris,” gumam Syakira seraya memainkan ponselnya. Ia tengah duduk di kursi halaman belakang dekat kolam renang sembari menunggu Rosalinda datang. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan bugar itu tengah mengambilkan minuman untuk Syakira. Salah satu wanita yang kini tengah Rosalinda usahakan agar Haris mau menerimanya sebagai seorang istri. Baginya Syakira itu sudah sangat komplit dan sefrekuensi dengan dirinya. Segala pembicaraan mereka selalu nyambung dan sama-sama memiliki hobi traveling. Jelas saja hal itu membuat Rosalinda sangat menyetujuinya. Apalagi orangtua Syakira juga seorang kalangan yang sama dengan dirinya. Tidak ada alasan
Waktu menunjukan pukul 19:35 dan Siska tengah menyenderkan tubuhnya sembari menatap layar ponselnya. Ia melihat beberapa video putri kecilnya yang tengah mengaji, rekaman itu dikirim oleh Ika beberapa menit yang lalu. “Sholehah ya, nak,” gumam Siska lirih sembari tersenyum simpul, kemudian tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka dan seketika itu juga ia pun refleks menolehkan kepalanya. Siska menautkan kedua alisnya saat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar masuk ke dalam ruang rawat inapnya. Lelaki itu memakai jas berwarna navy dan tengah tersenyum dengan sangat ramah ke arahnya. Ia membawa dua buah paper bag berukuran sedang dan kini berjalan semakin mendekat ke arah Siska. Wanita itu masih saja terpaku melihat seseorang di hadapannya ini, rasanya ia pernah melihatnya. Namun, tidak tahu kapan dan di mana tempatnya. Siska sama sekali tidak bisa mengingatnya, tapi memang wajahnya sangat tidak asing untuknya. “As