“APA-APAAN KAMU INI!” teriak Haris dengan lantang, namun bukannya takut atau apa karyawan itu justru menatap Haris dengan nyalang. “Dia pantas dapetin itu, Pak. Kalau Bu Syakira nggak bisa buat ngebales sikap kurang ajar dia, biar saya aja yang ngewakilinnya.” Karyawan itu hendak melepaskan cengkraman tangan Haris dari lengannya dan bermaksud untuk kembali melanjutkan aksinya. Namun, kini Syakira sudah berdiri di hadapannya seraya menggeleng pelan. “Jangan! Kamu nggak perlu balas perbuatan dia ke saya. Kamu nggak perlu menjadikan diri kamu sama sepertinya,” ujar Syakira pelan, lalu tersenyum tipis. “Tapi, perempuan itu akan semakin sok di kantor ini kalau nggak ada yang ngelawan dia, Bu. Nggak papa kalau sekiranya Pak Haris bakalan mecat saya gara-gara ini. Saya ikhlas, asal saya bisa ngasi pelajaran ke sekretaris nggak tahu diri itu,” balasnya dengan lantang dan napasnya kini sudah semakin memburu. Menatap Siska
Hari ini Siska diperbolehkan untuk pulang lebih awal, bahkan saat ini ia tengah berada di rumah sakit bersama dengan Haris. Laki-laki itu sangat khawatir dengan Siska, apalagi saat melihat luka lebam pada kening wanita itu. Setelah menyelesaikan rapat di jam 2 siang tadi, Haris langsung bergegas mengantarkan Siska. Walau wanita itu sudah menolaknya, tetapi Haris tetap bersikeras. Keadaan Siska pun juga tidak memungkinkan jika harus pulang sendiri. Kepalanya masih terasa sangat pusing. “Bagaimana keadaannya, Dok?” seru Haris, namun pandangannya masih tertuju pada Siska yag tengah terbaring di atas kasur beroda. Wanita itu tengah memejamkan matanya, sembari sesekali berseringai karena rasa nyeri yang berdenyut pada keningnya. Dokter perempuan itu tampak menghela napas panjang, ia mengikuti arah pandanganHaris dan menatap Siska dengan iba, “benturannya sangat keras, Pak. Tetapi, sebenarnya yang membuat rasa pusing itu bertahan
Sepulang dari kantor Syakira mampir terlebih dahulu ke rumah Rosalinda. Sebenarnya wanita itu juga sangat kesal karena Haris sama sekali tak memperdulikkannya dan justru lebih memilih untuk menunggu Siska di rumah sakit. “Gara-gara Nindi gue jadi harus kehilangan waktu sama Haris,” gumam Syakira seraya memainkan ponselnya. Ia tengah duduk di kursi halaman belakang dekat kolam renang sembari menunggu Rosalinda datang. Wanita paruh baya yang masih terlihat sangat cantik dan bugar itu tengah mengambilkan minuman untuk Syakira. Salah satu wanita yang kini tengah Rosalinda usahakan agar Haris mau menerimanya sebagai seorang istri. Baginya Syakira itu sudah sangat komplit dan sefrekuensi dengan dirinya. Segala pembicaraan mereka selalu nyambung dan sama-sama memiliki hobi traveling. Jelas saja hal itu membuat Rosalinda sangat menyetujuinya. Apalagi orangtua Syakira juga seorang kalangan yang sama dengan dirinya. Tidak ada alasan
Waktu menunjukan pukul 19:35 dan Siska tengah menyenderkan tubuhnya sembari menatap layar ponselnya. Ia melihat beberapa video putri kecilnya yang tengah mengaji, rekaman itu dikirim oleh Ika beberapa menit yang lalu. “Sholehah ya, nak,” gumam Siska lirih sembari tersenyum simpul, kemudian tiba-tiba ia mendengar suara pintu terbuka dan seketika itu juga ia pun refleks menolehkan kepalanya. Siska menautkan kedua alisnya saat seorang laki-laki bertubuh tinggi besar masuk ke dalam ruang rawat inapnya. Lelaki itu memakai jas berwarna navy dan tengah tersenyum dengan sangat ramah ke arahnya. Ia membawa dua buah paper bag berukuran sedang dan kini berjalan semakin mendekat ke arah Siska. Wanita itu masih saja terpaku melihat seseorang di hadapannya ini, rasanya ia pernah melihatnya. Namun, tidak tahu kapan dan di mana tempatnya. Siska sama sekali tidak bisa mengingatnya, tapi memang wajahnya sangat tidak asing untuknya. “As
Drttt... Drttt... Drttt... Berulang kali ponsel Siska berdering, menandakan ada beberapa pesan WhatsApp yang masuk. Namun, wanita itu sengaja mengabaikannya dan justru memejamkan kedua matanya dalam posisinya yang masih duduk bersender. Ia tak mau memikirkan apapun yang akan membuat kepalanya semakin pusing. Hari ini sudah banyak sekali hal yang membuatnya penat, ingin sekali ia sejenak untuk beristirahat dari segala permasalahannya. Hingga beberapa saat kemudian Ika pun telah datang bersama dengan Fatya dan juga beberapa sahabat Siska yang lain. Wanita itu bahkan tak tahu jika Ika telah memberitahukan keadaannya yang sedang tidak baik-baik ini kepada mereka. “Assalamualikum....” ucap Ika pelan sembari berjalan ke arah Siska, namun kedua matanya justru fokus pada dua paper bag di atas nakas. “Waalaikumsalam,” balas Siska yang sudah kembali membuka kedua matanya setelah mendengar suara pintu yang terbuk
Kalau diingat-ingat lagi, sebenarnya Ika sendiri sangat malu. Apalagi kenyataannya dia tak mempunyai hak untuk memiliki rasa cemburu itu, bahkan sekedar dekat dengan bosnya itu pun tidak. Lalu, kenapa dia harus marah dengan Ika waktu itu? Ahhh... Ika sendiri juga tak paham tentang persoalan rasa seperti ini. Sungguh rumit dan tak bisa dijelaskan. “Iya, Kaa. Aku juga udah jaga jarak banget sama Pak Haris setelah ditegur sama Bu Rosalinda, beliau ngelarang aku buat deketin anaknya. Padahal aku sendiri juga nggak ada fikiran sampai ke sana. Nggak tahu kenapa Bu Rosalinda dan Syakira justru beranggapan yang enggak-enggak tentang aku,” balas Siska, sedih rasanya kalau semakin banyak orang yang tak menyukai dirinya seperti ini. “Namanya juga manusia, Siska. Mereka pasti berasumsi sendiri-sendiri, karena para pembenci nggak akan peduli dengan semua kebaikan yang udah kamu berbuat. Di mata mereka apa yang kamu lakukan itu akan selalu buruh,” sambun
Malam ini di tengah rasa cemas, khawatir, dan bercampur bimbang Haris dengan terpaksa harus mengikuti keinginan Rosalinda untuk makan malam di luar bersama Syakira. Jangan anggap lelaki itu tidak menolaknya, sudah berulang kali Haris tidak mau, tetapi Sang Mama tetap saja memaksannya. Padahal malam ini ia ingin menemani Siska di rumah sakit, sekaligus menyelesaikan percakapan mereka yang ia anggap belum sepenuhnya selesai. Masih banyak hal yang ingin Haris katakan untuk membuat wanita itu mau memberinya kesempatan dan kepercayaan. Namun, sayangnya keadaan sama sekali tak mendukungnya. “Makan, Haris!” seru Rosalinda, sedari tadi wanita itu memperhatikan putranya yang terus sibuk dengan ponselnya tanpa memperdulikan dirinya dan juga Syakira. “Haris nggak lapar, Ma,” balas Haris lirih, lalu menghela napas panjang karena sedari tadi Siska tak mau mengangkat panggilan telepon atau pun membalas pesan-pesannya. Ingin rasanya saat ini juga ia k
“Apa sudah lebih baik?” tanya Dewi, sembari mengusap lembut lengan kanan Siska. Sore ini setelah pulang bekerja, Dewi menyempatkan diri untuk kembali menengok sahabatnya itu. Sedangkan, Fatya dan juga Linda masih ada urusan sehingga mereka akan tiba saat malam nanti. Begitu juga dengan Ika, malam ini ia tidak bisa ikut menemani Siska di rumah sakit karena ada urusan mendadak. Siska tersenyum tipis seraya mengangguk pelan, “udah kok, Dew. Dokter bilang besok juga udah boleh pulang.” “Lalu, apa lagi kata dokternya? Nggak ada yang bahaya kan sama kepala kamu?” tanya Dewi tampak cemas. “Untuk sekarang masih belum diketahui, Dew. Mungkin satu minggu lagi hasilnya akan keluar.” “Masih pusing banget, enggak? Kalau emang masih pusing sebaiknya besok jangan pulang dulu ya, Sya. Urusan orangtua sama anak kamu biar kita yang urus. Tadi, sebelum ke sini juga aku sempetin mampir ke rumah orangtua kamu, kok,” ujar Dewi,