Hari ini terasa begitu panjang bagi Siska dengan masalah demi masalah yang menghampiri paginya hampir membuatnya putus asa. Masalah satu selesai, namun masalah baru justru kembali hadir. Bahkan menurutnya jauh lebih mengganggu ketenangan dan kenyamanannya.
“Astagfirullah!” Siska menghela napas berat sembari memejamkan kedua matanya.
Begitu masuk rumah dan melihat putri kecilnya yang langsung berlari ke arah dirinya membuat beban di pundak Siska sedikit mereda. Senyuman Qila mampu membuatnya sejenak melupakan segala kepenatan yang terjadi hari ini.
“Tangan Bunda kenapa?” Aqila meraih kedua tangan Siska dengan wajah yang mur
“Nggak, Ma. Ini Haris nganter Ilham keluar ketemu sama anaknya.” Rosalinda sudah tahu kalau menantu Pak Kyai itu adalah seorang laki-laki yang sudah memiliki istri dan anak. Namun, baru sore tadi juga ia tahu kalau istri pertama Ilham itu adalah Siska dari orang suruhannya. Hal itu membuat Rosalinda mempunyai sebuah ide cemerlang untuk membuat anaknya tidak menjadikan janda itu sebagai menantunya. “Oalah sama Ilham. Ya sudah nanti sebelum kembali ke rumah Pak Kyai ajak Ilham ke rumah, ya. Ada yang mau Mama omongin sama dia.” Haris menyatukan kedua alisnya curiga, “mau ngapain lagi mama ini,” batinnya seraya menghela napas
Jam masih menununjukkan pukul 3 dini hari dan Siska sudah terbangun dari tidurnya. Perlahan ia menyingkirkan tangan putrinya yang sejak semalam memeluknya. Di pandangi wajah cantik nan manis putrinya itu sembari tersenyum. Sesungguhnya ada rasa sedih kala menatap wajah sang putri. Siska tidak lagi mempunyai banyak waktu untuk menemani tumbuh kembang putrinya seperti beberapa tahun belakang ini. Wanita itu harus bekerja demi mencukupi kebutuhan sang putri dan keluarga. Apa saja akan ia lakukan agar keluargnya bisa hidup dengan layak, agar tak bergantung pada orang lain. Tak ia pungkiri, bahwa masa-masa ini terasa sedikit berat untuknya. Ia teringat dengan kehidupannya yang dulu, di mana sebuah keluarga kecil y
Siska sendiri berusaha untuk tidak menghiraukan Rosalinda yang sangat memperlihatkan dengan jelas bahwa Ibu dari sang pemilik perusahaan itu tak menyukai dirinya. Tidak tahu apa yang ada dipikiran wanita itu yang jelas Siska hanya akan berusaha fokus untuk bekerja saja, tanpa ada niatan yang lain. Biarlah seseorang membencinya, asalkan tidak sampai membuat dirinya dalam bahaya. Siska tetap melanjutkan kegiatannya siang ini dengan menghabiskan makan siangnya. Ia bergabung pada 3 karyawan perempuan dan 2 laki-laki. “Denger-denger perempuan tadi yang sama Bu Rosalinda itu jebolan univ di Amerika loh, keren banget kan, ya,” seru Hana lalu meminum segelas es tehnya.&
“Bunda...” panggil Qila seraya mendongak menatap wajah Siska. Gadis kecil itu kini tengah memakai mukena berwarna merah maroon sembari memegang iqro di tangan kanannya. Ia baru saja belajar membaca bersama dengan sang Bunda. Siska sendiri melihat sang putri nampak sedang gelisah, entah apa yang sedang gadis kecil itu pikirkan, “ada apa, Sayang?” tanyanya sembari mengusap lembut kedua pipi Aqila. Bukannya menjawab justru Aqila menundukkan pandangannya seraya menghela napas kecil. “Hey, Sayang. Ada apa?” Siska mengangkat tubuh kecil Aqila ke dalam pangkuannya. Mengangkat dagu putri kecilnya itu agar kembali menatap dirinya. “Qila sangat bosan, Bunda. Setiap hari Qila hanya bersama nenek dan kakek. Kalau enggak di rumah, ya ke toko. Qila mau pergi jalan-jalan kaya waktu sama ayah dulu. Qila bosen banget di rumah ini, Qila pengen tinggal di rumah kita lagi, Bunda...” rengek Aqila dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Beberapa minggu sudah terlewati. Siska semakin sibuk dengan pekerjaannya dan Aqila sudah kembali membaik. Namun, sayangnya sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi mantan suaminya selalu tidak bisa. Hingga pagi siang ini saat mengantarkan dokumen ke ruangan Haris, ia mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya. Walau memang selama ini obrolan mereka hanya seputar pekerjaan saja, karena Siska selalu berusaha menjauh dari Ilham. Bahkan wanita itu sering sekali membuat alasan agar tak berlama-lama berada di ruangan atasannya itu. Ajakan makan siang pun selalu ia tolak dan beberapa minggu ini juga Siska sering kali melihat Haris tengah keluar bersama dengan Syakira. Membuat Siska sendiri menjadi lebih tenang, karena dengan begitu Rosalinda pasti tidak akan lagi berpikir yang tidak-tidak mengenai dirinya. Tok... Tok... Tok... “Assalamualaikum, Pak,” seru Siska dari luar. “Waalaikum salam, iya silahkan masuk.”
Perlahan Siska kembali mengangkat kepalanya, melihat sosok Haris yang kini tengah berdiri di hadapannya. Tubuh laki-laki itu yang begitu tinggi membuat Siska harus sedikit mendongakkan kepalanya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya dengan perlahan. “Saya belum ada pikiran sejauh itu, Pak,” balas Siska sembari tersenyum tipis. Haris melipat kedua bibirnya ke dalam, lalu ia menyunggingkan senyum terbaiknya seraya berkata, “iya, Siska. Saya paham, semoga masa lalumu nggak membuatmu jadi trauma sama laki-laki, ya. Nggak semua laki-laki itu sama.” Siska mengangguk pelan dan tetap dengan senyum di bibirnya. Kadang ia juga teringat dengan perkataan Rosalinda sewaktu pertama kali mereka bertemu, tentang Haris yang telah jatuh hati kepadanya. Kalau Siska perhatikan Haris ini memang sangat jauh lebih tampan dari mantan suaminya. Bahkan sikapnya yang ramah, tegas dan bijaksana membuat banyak wanita langsung jatuh hati kepada lelaki
Akan tetapi, untungnya Siska dengan cepat langsung mengindar dan segera menekan tombol lift. Ia tak mengira bahwa Syakira akan bertindak sebrutal ini kepadanya, dan begitu pintu lift terbuka ternyata sudah ada beberapa karyawan yang tengah berdiri di depan sana. Menyaksikan Syakira yang sedang terduduk ke lantai dalam keadaan sepatu high heels nya yang hanya satu. Sedangkan Siska langsung saja keluar dari dalam lift itu diikuti dengan tatapan tajam dari Syakira. “Tolong...” ringis Syakira seraya memegangi kedua sikunya. Beberapa karyawan yang semula hanya diam mematung menyaksikan keadaan Syakira langsung segera membantunya berdiri dan membawanya keluar dari dalam lift. “Bu Syakira.... ada apa, Bu? Kenapa Ibu bisa terjatuh.” Syakira tidak langsung menjawab pertanyaan dari bawahannya itu, ia kini justru sedang menyeka kedua sudut matanya seraya menatap sendu ke arah Siska, “mungkin saya ini memang masih awam bekerja,
“APA-APAAN KAMU INI!” teriak Haris dengan lantang, namun bukannya takut atau apa karyawan itu justru menatap Haris dengan nyalang. “Dia pantas dapetin itu, Pak. Kalau Bu Syakira nggak bisa buat ngebales sikap kurang ajar dia, biar saya aja yang ngewakilinnya.” Karyawan itu hendak melepaskan cengkraman tangan Haris dari lengannya dan bermaksud untuk kembali melanjutkan aksinya. Namun, kini Syakira sudah berdiri di hadapannya seraya menggeleng pelan. “Jangan! Kamu nggak perlu balas perbuatan dia ke saya. Kamu nggak perlu menjadikan diri kamu sama sepertinya,” ujar Syakira pelan, lalu tersenyum tipis. “Tapi, perempuan itu akan semakin sok di kantor ini kalau nggak ada yang ngelawan dia, Bu. Nggak papa kalau sekiranya Pak Haris bakalan mecat saya gara-gara ini. Saya ikhlas, asal saya bisa ngasi pelajaran ke sekretaris nggak tahu diri itu,” balasnya dengan lantang dan napasnya kini sudah semakin memburu. Menatap Siska