"Coba tebak, apa perbedaan kamu dengan pohon?" tanya Romi sambil memeluk Yulia erat setelah mereka bercinta. Yulia tertawa sambil mencubit kedua pipi sang suami. "Hm, pasti mau merayu lagi. Ya kan?" "Ahahaha. Sudah kebaca ya? Kalau begitu, jawab dong pertanyaan aku!""Kalau aku bisa jawab, aku dapat apa?""Hm, apa ya? Dapat cium deh."Yulia tertawa. "Ih, ogah!""Ayo sekarang jawab saja. Pasti kamu enggak tahu kan jawabannya?"Yulia menggeleng. "Emang nggak tahu sih.""Hm, kalau pohon itu ada yang namanya mahoni. Terus ...,""Terus kalau aku apa?" tanya Yulia memotong perkataan Romi. "Duh, dengerin dulu kalau suami ngomong.""Oke. Jadi apa bedanya?""Kalau pohon, ada yang namanya Mahoni. Kalau kamu my honey."Romi tertawa. Yulia pun tergelak. "Kamu bisa saja. Dari dulu memang juara merayu.""Iya lah. Namanya juga skill dari lahir. Bawaan bayi kalau hobiku ngerayu Yang."Yulia tersenyum dan mencubit pinggang Romi. Membuat suaminya kegelian. Lelaki itu lalu mengeratkan pelukan dan m
"Maaf Mbak, bisa bicara sebentar?" tanya Yulia to the point setelah berhadapan dengan gadis itu.Gadis itu mengalihkan pandangan nya dari ponselnya ke wajah Yulia. "A-ada apa?"Yulia melihat ke sekeliling nya. Banyak orang yang berlalu lalang tapi tidak ada yang mempedulikan mereka. Sementara itu Romi mengawasi dari kejauhan dengan rasa penasaran. "Maaf, bisa minta tolong melepaskan kacamata nya Mbak?" tanya Yulia seraya menatap gadis itu. "Kenapa saya harus melepas kaca mata saya?" tanya gadis itu. "Karena sepertinya Mbak adalah teman sekolah yang saya kenal.""Enggak kok. Saya enggak kenal Mbak sama sekali."Yulia menyedekapkan kedua tangannya di depan dada. "Ada apa ini Yang?" tanya Romi yang ternyata sudah berdiri di belakang Yulia. Yulia mengarah kan telapak tangannya ke arah telinga Romi dan berbisik, "Tadi perempuan ini sejak dari pesawat memperhatikan kita dan barusan aku melihatnya sedang mengarahkan ponselnya pada kita. Aku jadi curiga, dia memotret kita. Jadi aku hany
SURAT DARI PASIEN RUMAH SAKIT JIWASeason 2.58 Kemana Dimas"Dimas? Bukankah Dimas seharusnya masih di penjara? Kenapa Dimas bisa ada di sini?" tanya Romi seraya berlari keluar dari restoran menuju ke arah mobil itu.Tapi baru saja Romi keluar dari pintu depan restonya, pria yang ada di dalam mobil Fortuner warna hitam itu segera melajukan mobilnya dan dalam sekejap hilang dari pandangan Romi. "Hah, siapa dia ya? Apa cuma perasaanku saja yang mengira bahwa dia itu Dimas?" tanya Romi menghela nafas seraya mengawasi mobil yang baru saja keluar gerbang kafenya. Romi terdiam sejenak, lalu dengan mengedikkan bahu nya, dia bergumam pada diri sendiri. "Ah, sudahlah. Biar saja. Enggak mungkin juga tadi Dimas. Kalaupun itu Dimas, ya biar saja," tukas Romi pada dirinya sendiri sambil masuk kembali ke dalam kafe dan restonya. "Baiklah. Sekarang saya umumkan siapa yang diterima di kafe dan resto saya. Ada tiga orang yang diterima di kafe resto saya. Yang pertama, sebagai pramusaji, cleaning s
SURAT DARI PASIEN RUMAH SAKIT JIWASeason 2.59 Saling Jujur"Oh, pemilik rumah ini bukan pak Dimas. Tapi pak Andi, dan Bos saya sekarang sedang tidak ada di rumah. Sedang ke luar kota," sahut satpam itu membuat Yulia dan Romi menghela nafas."Pak Andi? Siapa dia? Kamu kenal nggak Yang?" tanya Yulia pada Romi. Suaminya langsung menggelengkan kepalanya. "Aku enggak kenal.""Tapi Pak, dulu saya tinggal di rumah ini. Saya saudara tiri Pak Dimas, tidak mungkin Pak Dimas menjual rumah ini," tukas Romi berusaha meyakinkan satpam rumah itu. "Wah, saya tidak tahu ya kalau untuk urusan hal itu. Tapi yang jelas, rumah ini sekarang adalah milik Pak Andi, bos saya. Kalau kalian mau ketemu Bos saya, kalian bisa kembali lain kali," tukas satpam itu mulai ketus. "Apa kami tidak boleh meminta nomor telepon pak Andi?" tanya Yulia sesopan mungkin. "Maaf tidak bisa. Saya bisa dimarahi kalau menyebarkan nomor ponsel bos saya," tukas satpam itu. "Baiklah. Terimakasih."Romi segera menggamit lengan Yul
Yulia dan Romi serentak menoleh ke asal suara. Tampak wajah paman Yulia dalam mode garang di belakang mereka."Om Andri?!" "Ya saya. Kamu baru datang dari Jawa?" tanya Om Andri. Yulia mengangguk dengan canggung. Sementara itu Romi terlihat mengawasi bangunan kelas satu, ruangan bekas dia dirawat dulu."Kemarin lusa ibumu telepon Om dan mengabarkan kamu akan menetap di Lampung," tukas Om Andri sambil melirik ke arah Romi. "Ya Om. Mohon maaf kalau baru kemari.""Iya. Tidak apa-apa. Melihat kamu ke rumah sakit ini dan bukan menuju ke rumah Om, berarti ada yang ingin kamu sampaikan terkait dengan pasien atau semacamnya. Apa itu benar?"Yulia memandang ke arah Romi dan mengangguk. "Benar, Om. Baguslah. Karena ada yang ingin Om bicarakan juga," tidak Om Andri serius. "Kalau begitu, ayo ikut Om ke ruangan Om."Om Andri berjalan terlebih dulu, Yulia dan Romi mengikuti dari belakang. Yulia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan pamannya itu. Tampak beberapa perabotan telah berga
Yulia memandangi wajah Romi dengan cemas. "Bagaimana dengan mobil kamu? Kan kena muntahan aku, Yang?"Romi mendelik mendengar perkataan Yulia. "Apaan sih kamu Yang? Masalah mobil itu masalah sepele. Sekarang begini saja, kita pulang dulu. Aku ganti mobil dan mobil ini ku cucikan ke doorsmeer dan kamu ganti baju. Lalu kita ke dokter sekarang.""Tapi kerjaan kamu gimana?" tanya Yulia cemas. "Apalagi kan sekarang ada gadis yang mencurigakan baru masuk ke dalam Gardenia?" lanjut Yulia lagi."Ssst, kamu tidak usah bingung tentang hal itu. Aku owner Gardenia, aku bisa keluar masuk resto semauku. Lalu untuk urusan Silvia, biar kusuruh Dion mengawasinya. Lagipula, di dapur, di ruang depan dan ruangan ku ada CCTVnya yang langsung tersambung ke ruang satpam dan ke ponsel ku. Dan yang terpenting, untuk saat ini tidak ada bahaya yang mengancam keselamatan kita secara langsung dari orang lain kan? Kamu nurut aja Yang! Aku nggak mau kamu sampai sakit.Yulia terdiam dan hanya bisa mengangguk. "Kam
"Silvia, sekarang aku tinggal menghadapimu saja. Awas saja jika kamu ternyata ada hubungannya dengan Riana!" gumam Romi seraya masuk ke dalam mobil lalu melajukannya.Romi berhenti di depan restoran sejenak. Lalu dengan perlahan membuka pintu mobil dan masuk melalui gerbang depan yang terbuat dari rumpun mawar berbentuk pagar. Mengawasi para customer yang sedang menikmati makanan mereka lalu menuju ke bagian dapur.Romi melirik sekilas beberapa koki dan asisten koki yang sedang memasak di area dapur restoran. Tampak Silvia sedang sibuk meletakkan makanan ke mangkok dan piring di hadapannya.Romi mendesah sekilas. Merasa tidak enak jika dia harus mengeluarkan Silvia hanya berdasarkan prasangka saja. Tapi dia juga merasa was-was, jika ternyata Silvia ada hubungannya dengannya Rania. Apalagi dia melihat sosok yang mirip Dimas ada di tempat parkir restoran nya kemarin lusa. Romi semakin bergidik ngeri jika membayangkan bahwa Silvia akan meracuni seluruh pelanggan nya. Lelaki itu masi
"Mawar? Kenapa dia menelepon malam-malam seperti ini?"Yulia melirik sekilas ke arah Romi yang sedang tertidur lelap lalu beranjak perlahan meninggalkan Romi menuju ruang tengah. Ingin Menerima telepon dari Mawar tanpa membangunkan sang suami. "Halo.""Halo, Yulia," terdengar suara jawaban Mawar yang lirih beserta isakan tangisnya. "Hei, ada apa? Kenapa kamu, Mawar?" tanya Yulia cemas. Khawatir kalau Roy melakukan hal yang buruk pada Mawar. Atau khawatir sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi pada keluarga kecil mereka. "Aku ... keluar darah," sahut Mawar lirih. "Astaghfirullah, kok bisa?! Lalu sekarang kamu di rumah sakit mana?""Aku habis jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di rumah. Aku sendirian.""Lah kok bisa sendirian. Dimana Roy?" tanya Yulia bingung. "Tadi sore berangkat ke Pap*a, Yul. Ada konflik lagi di daerah sana.""Oh Tuhan. Lalu kenapa kamu enggak telepon tetangga kamu sesama Persit?""Aku ... sungkan, Yul."Yulia berpikir sejenak. "Lalu, kamu mau aku bagaimana!?"
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya