SURAT DARI PASIEN RUMAH SAKIT JIWASeason 2.58 Kemana Dimas"Dimas? Bukankah Dimas seharusnya masih di penjara? Kenapa Dimas bisa ada di sini?" tanya Romi seraya berlari keluar dari restoran menuju ke arah mobil itu.Tapi baru saja Romi keluar dari pintu depan restonya, pria yang ada di dalam mobil Fortuner warna hitam itu segera melajukan mobilnya dan dalam sekejap hilang dari pandangan Romi. "Hah, siapa dia ya? Apa cuma perasaanku saja yang mengira bahwa dia itu Dimas?" tanya Romi menghela nafas seraya mengawasi mobil yang baru saja keluar gerbang kafenya. Romi terdiam sejenak, lalu dengan mengedikkan bahu nya, dia bergumam pada diri sendiri. "Ah, sudahlah. Biar saja. Enggak mungkin juga tadi Dimas. Kalaupun itu Dimas, ya biar saja," tukas Romi pada dirinya sendiri sambil masuk kembali ke dalam kafe dan restonya. "Baiklah. Sekarang saya umumkan siapa yang diterima di kafe dan resto saya. Ada tiga orang yang diterima di kafe resto saya. Yang pertama, sebagai pramusaji, cleaning s
SURAT DARI PASIEN RUMAH SAKIT JIWASeason 2.59 Saling Jujur"Oh, pemilik rumah ini bukan pak Dimas. Tapi pak Andi, dan Bos saya sekarang sedang tidak ada di rumah. Sedang ke luar kota," sahut satpam itu membuat Yulia dan Romi menghela nafas."Pak Andi? Siapa dia? Kamu kenal nggak Yang?" tanya Yulia pada Romi. Suaminya langsung menggelengkan kepalanya. "Aku enggak kenal.""Tapi Pak, dulu saya tinggal di rumah ini. Saya saudara tiri Pak Dimas, tidak mungkin Pak Dimas menjual rumah ini," tukas Romi berusaha meyakinkan satpam rumah itu. "Wah, saya tidak tahu ya kalau untuk urusan hal itu. Tapi yang jelas, rumah ini sekarang adalah milik Pak Andi, bos saya. Kalau kalian mau ketemu Bos saya, kalian bisa kembali lain kali," tukas satpam itu mulai ketus. "Apa kami tidak boleh meminta nomor telepon pak Andi?" tanya Yulia sesopan mungkin. "Maaf tidak bisa. Saya bisa dimarahi kalau menyebarkan nomor ponsel bos saya," tukas satpam itu. "Baiklah. Terimakasih."Romi segera menggamit lengan Yul
Yulia dan Romi serentak menoleh ke asal suara. Tampak wajah paman Yulia dalam mode garang di belakang mereka."Om Andri?!" "Ya saya. Kamu baru datang dari Jawa?" tanya Om Andri. Yulia mengangguk dengan canggung. Sementara itu Romi terlihat mengawasi bangunan kelas satu, ruangan bekas dia dirawat dulu."Kemarin lusa ibumu telepon Om dan mengabarkan kamu akan menetap di Lampung," tukas Om Andri sambil melirik ke arah Romi. "Ya Om. Mohon maaf kalau baru kemari.""Iya. Tidak apa-apa. Melihat kamu ke rumah sakit ini dan bukan menuju ke rumah Om, berarti ada yang ingin kamu sampaikan terkait dengan pasien atau semacamnya. Apa itu benar?"Yulia memandang ke arah Romi dan mengangguk. "Benar, Om. Baguslah. Karena ada yang ingin Om bicarakan juga," tidak Om Andri serius. "Kalau begitu, ayo ikut Om ke ruangan Om."Om Andri berjalan terlebih dulu, Yulia dan Romi mengikuti dari belakang. Yulia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan pamannya itu. Tampak beberapa perabotan telah berga
Yulia memandangi wajah Romi dengan cemas. "Bagaimana dengan mobil kamu? Kan kena muntahan aku, Yang?"Romi mendelik mendengar perkataan Yulia. "Apaan sih kamu Yang? Masalah mobil itu masalah sepele. Sekarang begini saja, kita pulang dulu. Aku ganti mobil dan mobil ini ku cucikan ke doorsmeer dan kamu ganti baju. Lalu kita ke dokter sekarang.""Tapi kerjaan kamu gimana?" tanya Yulia cemas. "Apalagi kan sekarang ada gadis yang mencurigakan baru masuk ke dalam Gardenia?" lanjut Yulia lagi."Ssst, kamu tidak usah bingung tentang hal itu. Aku owner Gardenia, aku bisa keluar masuk resto semauku. Lalu untuk urusan Silvia, biar kusuruh Dion mengawasinya. Lagipula, di dapur, di ruang depan dan ruangan ku ada CCTVnya yang langsung tersambung ke ruang satpam dan ke ponsel ku. Dan yang terpenting, untuk saat ini tidak ada bahaya yang mengancam keselamatan kita secara langsung dari orang lain kan? Kamu nurut aja Yang! Aku nggak mau kamu sampai sakit.Yulia terdiam dan hanya bisa mengangguk. "Kam
"Silvia, sekarang aku tinggal menghadapimu saja. Awas saja jika kamu ternyata ada hubungannya dengan Riana!" gumam Romi seraya masuk ke dalam mobil lalu melajukannya.Romi berhenti di depan restoran sejenak. Lalu dengan perlahan membuka pintu mobil dan masuk melalui gerbang depan yang terbuat dari rumpun mawar berbentuk pagar. Mengawasi para customer yang sedang menikmati makanan mereka lalu menuju ke bagian dapur.Romi melirik sekilas beberapa koki dan asisten koki yang sedang memasak di area dapur restoran. Tampak Silvia sedang sibuk meletakkan makanan ke mangkok dan piring di hadapannya.Romi mendesah sekilas. Merasa tidak enak jika dia harus mengeluarkan Silvia hanya berdasarkan prasangka saja. Tapi dia juga merasa was-was, jika ternyata Silvia ada hubungannya dengannya Rania. Apalagi dia melihat sosok yang mirip Dimas ada di tempat parkir restoran nya kemarin lusa. Romi semakin bergidik ngeri jika membayangkan bahwa Silvia akan meracuni seluruh pelanggan nya. Lelaki itu masi
"Mawar? Kenapa dia menelepon malam-malam seperti ini?"Yulia melirik sekilas ke arah Romi yang sedang tertidur lelap lalu beranjak perlahan meninggalkan Romi menuju ruang tengah. Ingin Menerima telepon dari Mawar tanpa membangunkan sang suami. "Halo.""Halo, Yulia," terdengar suara jawaban Mawar yang lirih beserta isakan tangisnya. "Hei, ada apa? Kenapa kamu, Mawar?" tanya Yulia cemas. Khawatir kalau Roy melakukan hal yang buruk pada Mawar. Atau khawatir sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi pada keluarga kecil mereka. "Aku ... keluar darah," sahut Mawar lirih. "Astaghfirullah, kok bisa?! Lalu sekarang kamu di rumah sakit mana?""Aku habis jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di rumah. Aku sendirian.""Lah kok bisa sendirian. Dimana Roy?" tanya Yulia bingung. "Tadi sore berangkat ke Pap*a, Yul. Ada konflik lagi di daerah sana.""Oh Tuhan. Lalu kenapa kamu enggak telepon tetangga kamu sesama Persit?""Aku ... sungkan, Yul."Yulia berpikir sejenak. "Lalu, kamu mau aku bagaimana!?"
Ahmad terlihat berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Iya benar. Saya telah membeli rumah ini dari pak Dimas. Ada apa? Apa ada masalah yang terkait dengan rumah ini? Saya sudah balik nama lo. Memang rumah ini dijual dengan harga murah. Makanya saya beli. Apa pemilik sebenarnya rumah ini adalah pak Romi?" tanya Ahmad beruntun. Wajahnya tampak gelisah. Khawatir kalau ternyata rumah yang dibelinya lunas dengan harga miring itu adalah rumah yang bermasalah.Romi tersenyum. "Tidak. Tidak seperti itu. Asal Bapak tahu saja, rumah ini memang milik Pak Dimas, saya temannya. Tidak ada masalah kepemilikan apapun dalam rumah ini. Bapak tenang saja. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu terkait dengan Dimas. Bukan tentang rumah ini."Ahmad tampak menarik nafas lega. "Oke. Silakan saja ditanyakan. Tapi saya tidak menjamin akan memberikan jawaban yang benar ya. Karena saya juga tidak mengenal pak Dimas dengan baik. Karena saya juga melihat dari media sosial."Romi mengangguk-anggukkan kepalanya."Bai
Flash back on :Romi lalu menelepon Andi, seorang mantan mafia yang dulu pernah menjadi bodyguardnya saat masih bermasalah dengan Dimas. "Apa kabar, Bro! Aku butuh bantuanmu lagi.""Baiklah. Apa yang bisa kubantu, Bos?""Selidiki perempuan bernama Silvia. Nanti foto dan alamatnya kukirimkan padamu. Kalau Silvia bertemu dengan temannya, kamu ikutin ya. Dan pastikan siapa saja teman-teman nya dengan mengirimkan foto mereka padaku.""Baik. Beres. Seperti biasa.""Bagus, terima kasih, Ndi. Dpnya akan segera kutransfer untuk uang bensin dan uang makan.""Hahaha, baiklah Bos. Terima kasih!"Romi mengakhiri panggilan telepon dan segera mengirimkan foto serta alamat Silvia pada Andi. "Baiklah. Kalau kalian mau berperang lagi denganku, aku ladeni. Dan kupastikan aku lah pemenang nya!" desis Romi lalu menyimpan ponselnya dan bersiap untuk pulang ke rumahnya. ***Andi memandang pistol pendek di tangannya. Pistol yang berisi 6 peluru yang segera dimasukan ke dalam sarung nya. Lelaki itu lalu