SURAT DARI PASIEN RUMAH SAKIT JIWASeason 2.59 Saling Jujur"Oh, pemilik rumah ini bukan pak Dimas. Tapi pak Andi, dan Bos saya sekarang sedang tidak ada di rumah. Sedang ke luar kota," sahut satpam itu membuat Yulia dan Romi menghela nafas."Pak Andi? Siapa dia? Kamu kenal nggak Yang?" tanya Yulia pada Romi. Suaminya langsung menggelengkan kepalanya. "Aku enggak kenal.""Tapi Pak, dulu saya tinggal di rumah ini. Saya saudara tiri Pak Dimas, tidak mungkin Pak Dimas menjual rumah ini," tukas Romi berusaha meyakinkan satpam rumah itu. "Wah, saya tidak tahu ya kalau untuk urusan hal itu. Tapi yang jelas, rumah ini sekarang adalah milik Pak Andi, bos saya. Kalau kalian mau ketemu Bos saya, kalian bisa kembali lain kali," tukas satpam itu mulai ketus. "Apa kami tidak boleh meminta nomor telepon pak Andi?" tanya Yulia sesopan mungkin. "Maaf tidak bisa. Saya bisa dimarahi kalau menyebarkan nomor ponsel bos saya," tukas satpam itu. "Baiklah. Terimakasih."Romi segera menggamit lengan Yul
Yulia dan Romi serentak menoleh ke asal suara. Tampak wajah paman Yulia dalam mode garang di belakang mereka."Om Andri?!" "Ya saya. Kamu baru datang dari Jawa?" tanya Om Andri. Yulia mengangguk dengan canggung. Sementara itu Romi terlihat mengawasi bangunan kelas satu, ruangan bekas dia dirawat dulu."Kemarin lusa ibumu telepon Om dan mengabarkan kamu akan menetap di Lampung," tukas Om Andri sambil melirik ke arah Romi. "Ya Om. Mohon maaf kalau baru kemari.""Iya. Tidak apa-apa. Melihat kamu ke rumah sakit ini dan bukan menuju ke rumah Om, berarti ada yang ingin kamu sampaikan terkait dengan pasien atau semacamnya. Apa itu benar?"Yulia memandang ke arah Romi dan mengangguk. "Benar, Om. Baguslah. Karena ada yang ingin Om bicarakan juga," tidak Om Andri serius. "Kalau begitu, ayo ikut Om ke ruangan Om."Om Andri berjalan terlebih dulu, Yulia dan Romi mengikuti dari belakang. Yulia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan pamannya itu. Tampak beberapa perabotan telah berga
Yulia memandangi wajah Romi dengan cemas. "Bagaimana dengan mobil kamu? Kan kena muntahan aku, Yang?"Romi mendelik mendengar perkataan Yulia. "Apaan sih kamu Yang? Masalah mobil itu masalah sepele. Sekarang begini saja, kita pulang dulu. Aku ganti mobil dan mobil ini ku cucikan ke doorsmeer dan kamu ganti baju. Lalu kita ke dokter sekarang.""Tapi kerjaan kamu gimana?" tanya Yulia cemas. "Apalagi kan sekarang ada gadis yang mencurigakan baru masuk ke dalam Gardenia?" lanjut Yulia lagi."Ssst, kamu tidak usah bingung tentang hal itu. Aku owner Gardenia, aku bisa keluar masuk resto semauku. Lalu untuk urusan Silvia, biar kusuruh Dion mengawasinya. Lagipula, di dapur, di ruang depan dan ruangan ku ada CCTVnya yang langsung tersambung ke ruang satpam dan ke ponsel ku. Dan yang terpenting, untuk saat ini tidak ada bahaya yang mengancam keselamatan kita secara langsung dari orang lain kan? Kamu nurut aja Yang! Aku nggak mau kamu sampai sakit.Yulia terdiam dan hanya bisa mengangguk. "Kam
"Silvia, sekarang aku tinggal menghadapimu saja. Awas saja jika kamu ternyata ada hubungannya dengan Riana!" gumam Romi seraya masuk ke dalam mobil lalu melajukannya.Romi berhenti di depan restoran sejenak. Lalu dengan perlahan membuka pintu mobil dan masuk melalui gerbang depan yang terbuat dari rumpun mawar berbentuk pagar. Mengawasi para customer yang sedang menikmati makanan mereka lalu menuju ke bagian dapur.Romi melirik sekilas beberapa koki dan asisten koki yang sedang memasak di area dapur restoran. Tampak Silvia sedang sibuk meletakkan makanan ke mangkok dan piring di hadapannya.Romi mendesah sekilas. Merasa tidak enak jika dia harus mengeluarkan Silvia hanya berdasarkan prasangka saja. Tapi dia juga merasa was-was, jika ternyata Silvia ada hubungannya dengannya Rania. Apalagi dia melihat sosok yang mirip Dimas ada di tempat parkir restoran nya kemarin lusa. Romi semakin bergidik ngeri jika membayangkan bahwa Silvia akan meracuni seluruh pelanggan nya. Lelaki itu masi
"Mawar? Kenapa dia menelepon malam-malam seperti ini?"Yulia melirik sekilas ke arah Romi yang sedang tertidur lelap lalu beranjak perlahan meninggalkan Romi menuju ruang tengah. Ingin Menerima telepon dari Mawar tanpa membangunkan sang suami. "Halo.""Halo, Yulia," terdengar suara jawaban Mawar yang lirih beserta isakan tangisnya. "Hei, ada apa? Kenapa kamu, Mawar?" tanya Yulia cemas. Khawatir kalau Roy melakukan hal yang buruk pada Mawar. Atau khawatir sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi pada keluarga kecil mereka. "Aku ... keluar darah," sahut Mawar lirih. "Astaghfirullah, kok bisa?! Lalu sekarang kamu di rumah sakit mana?""Aku habis jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di rumah. Aku sendirian.""Lah kok bisa sendirian. Dimana Roy?" tanya Yulia bingung. "Tadi sore berangkat ke Pap*a, Yul. Ada konflik lagi di daerah sana.""Oh Tuhan. Lalu kenapa kamu enggak telepon tetangga kamu sesama Persit?""Aku ... sungkan, Yul."Yulia berpikir sejenak. "Lalu, kamu mau aku bagaimana!?"
Ahmad terlihat berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Iya benar. Saya telah membeli rumah ini dari pak Dimas. Ada apa? Apa ada masalah yang terkait dengan rumah ini? Saya sudah balik nama lo. Memang rumah ini dijual dengan harga murah. Makanya saya beli. Apa pemilik sebenarnya rumah ini adalah pak Romi?" tanya Ahmad beruntun. Wajahnya tampak gelisah. Khawatir kalau ternyata rumah yang dibelinya lunas dengan harga miring itu adalah rumah yang bermasalah.Romi tersenyum. "Tidak. Tidak seperti itu. Asal Bapak tahu saja, rumah ini memang milik Pak Dimas, saya temannya. Tidak ada masalah kepemilikan apapun dalam rumah ini. Bapak tenang saja. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu terkait dengan Dimas. Bukan tentang rumah ini."Ahmad tampak menarik nafas lega. "Oke. Silakan saja ditanyakan. Tapi saya tidak menjamin akan memberikan jawaban yang benar ya. Karena saya juga tidak mengenal pak Dimas dengan baik. Karena saya juga melihat dari media sosial."Romi mengangguk-anggukkan kepalanya."Bai
Flash back on :Romi lalu menelepon Andi, seorang mantan mafia yang dulu pernah menjadi bodyguardnya saat masih bermasalah dengan Dimas. "Apa kabar, Bro! Aku butuh bantuanmu lagi.""Baiklah. Apa yang bisa kubantu, Bos?""Selidiki perempuan bernama Silvia. Nanti foto dan alamatnya kukirimkan padamu. Kalau Silvia bertemu dengan temannya, kamu ikutin ya. Dan pastikan siapa saja teman-teman nya dengan mengirimkan foto mereka padaku.""Baik. Beres. Seperti biasa.""Bagus, terima kasih, Ndi. Dpnya akan segera kutransfer untuk uang bensin dan uang makan.""Hahaha, baiklah Bos. Terima kasih!"Romi mengakhiri panggilan telepon dan segera mengirimkan foto serta alamat Silvia pada Andi. "Baiklah. Kalau kalian mau berperang lagi denganku, aku ladeni. Dan kupastikan aku lah pemenang nya!" desis Romi lalu menyimpan ponselnya dan bersiap untuk pulang ke rumahnya. ***Andi memandang pistol pendek di tangannya. Pistol yang berisi 6 peluru yang segera dimasukan ke dalam sarung nya. Lelaki itu lalu
Romi baru saja sampai di kantor pribadi nya di dalam Gardenia, saat mendadak ada suara ketukan di pintu. "Bos, ini saya.""Masuk saja, Ndi!"Andi memutar kenop pintu dan langsung tampak lah wajah Romi yang sedang berhadapan dengan berkas di meja. "Apa yang terjadi pada kamu?! Kenapa mendadak panggilan telepon nya terputus?" berondong Romi saat melihat wajah Andi yang baru saja menyembul dari balik pintu. Andi berjalan ke arah Romi dan duduk di hadapan bosnya. "Bos, sepertinya memang ada sesuatu pada Silvia.""Apa maksudmu? Kalau bercerita jangan bertele-tele, Ndi."Andi lalu menceritakan tentang sepak terjangnya memata-matai Silvia. Romi mendelik saat mendengar Andi yang mengatakan tentang rumah besar di samping ladang kosong. "Apa kamu sempat memotret rumah dan penghuninya?"Andi mengangguk. "Tapi tidak begitu jelas. Karena gelap sih. Tapi bukannya tidak ada hasil sama sekali," ujar Andi sambil menyodorkan amplop coklat lebar dari dalam jaket kulit nya pada Romi. Romi menerima