Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
"Sus, aku hitung ya, 1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum aku ngitungnya Sus?"Aku tersenyum. "Nggak ada angka 2 nya, Rom!" Aku menukas dengan cepat.Romi nyengir sambil menggaruk kepalanya."Sama kayak Suster dong. Bagiku suster itu tidak ada duanya!" serunya penuh percaya diri.Aku hanya bisa tersenyum. 'Wah, dasar kenthir! Untung ganteng. Eh, kebalik. Kasihan sekali wajah ganteng tapi berakhir di sini.' Aku menghela nafas panjang dan tersenyum. Lama-lama di rumah sakit ini, bisa ketularan geser semeter. Huft."Sus, mau kemana?" tanya pasien itu lagi saat aku mulai berdiri dan meninggalkan Romi untuk kembali ke ruang perawat. "Aku mau balik ke ruang perawat, Rom. Sekarang sudah waktunya pulang."Wajah Romi mendadak mendung. "Jangan tinggalkan saya, Sus!""Kenapa? Kan besok dapat bertemu lagi denganku. Lagipula ada perawat lain yang akan menjagamu dan teman-teman kamu yang lainnya di sini kan?"Romi terdiam sehingga aku hanya tersenyum dan menggeleng kan kepalaku lalu melanjutkan
Aku berjalan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah sebuah puisi dan kalimat minta tolong.Saat kulihat semua pekat di langit yang seharusnya membiru.Aku sempat mengira duniaku takkan pernah berwarna lagi sampai aku melihat senyumanmu yang bagai mentari pagi.Cerah matamu yang menjanjikan kedamaian.Membuatku yakin bahwa kebahagiaan ku akan datang.Tolong temani aku lusa saat kunjungan keluargaku.Ada yang tidak beres dengan rumah sakit ini dan keluargaku.Dan kalau sudah membaca surat ini, silakan robek keci-kecil dan masukkan ke dalam kloset, atau bakar saja sampai jadi abu. Yang pasti, jangan biarkan seorang pun tahu tentang surat ini. Jangan tanya kenapa aku meminta pertolongan padamu, karena pelan tapi pasti, kamu akan segera tahu.Aku mengerutkan dahi. Tak kupungkuri sejuta tanya muncul di hati setelah membaca surat ini.Sejak awal datang kemari, aku sudah merasa ada
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"Aku menoleh ke belakang. "Dokter Andri?" "Yulia, bisa ikut saya sebentar?" Sekali lagi suara bass dari direktur rumah sakit jiwa yang sekaligus merupakan pamanku terdengar kembali."Tentu Dokter."Aku berdiri dan mengibaskan debu dari rok spanku lalu menoleh ke arah Romi yang asyik 'bicara' dengan bunga di hadapannya.Aku menghela nafas lalu segera mengikuti Om Andri yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah ruang direktur. Dalam benakku terbayang perkataan Dimas untuk menjauhi Romi. Tapi aku tak mengerti apa alasan Dimas melarangku mendekat ke arah Romi. Apa Dimas mengetahui sesuatu tentang Romi? Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan hanya Dimas saja yang tahu. Atau jangan-jangan Dimas mengenal Romi? Tapi apa hubungan antara keduanya? Aduh, semakin dipikirkan semakin membuat pusing.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri samp
"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang."Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."Romi memandangiku lalu menggerung perlahan."Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya."Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tungg
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,