"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!
"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"
Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh.
"Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.
Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!"
"Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."
Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi.
"Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"
Aku mengangguk.
"Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."
Roy melangkah maju. "Roy, please. Tunggu. Dia itu agresif kalau ditanya soal tanda tangan, sertifikat, atau sesuatu yang berbau seperti itu. Jadi tolong untuk kesehatan jiwanya jangan terburu-buru."
Roy memicingkan mata. "Dia? Si bule itu gangguan jiwa? Gak mungkin! Dia terlihat sangat sehat dan sangat bersih. Dia pasti pura-pura gila entah karena alasan apa."
"Roy, tadinya aku pikir dia gak bermasalah. Namun saat dia mengalami pencetus, dia itu bisa kumat dan mencelakai diri sendiri maupun orang lain. Jadi jangan gegabah menanyakan apapun yang berbau harta pada Romi."
Roy berbalik dan benar-benar menghadapku. "Mbak, kayaknya perhatian banget sama dia. Jangan bilang mbak jatuh cinta sama dia?!"
Aku tertawa. "Kamu jangan bercanda Roy! Aku melindunginya karena tak lebih dari posisiku sebagai perawat spesialis kejiwaan. Bukan karena aku ada perasaan khusus padanya."
Roy tersenyum. "Benarkah Mbak gak ada perasaan apapun padanya?"
"Sure! He is not my type."
Sejenak Roy menghela nafas. Mungkin menghembuskan nafas lega.
"Tapi aku harus menanyakan dimana sertifikatnya sebelum Romi waras dan menjual tanah ini, lalu kemana semua pasien pergi?"
Aku terkejut. 'Ternyata masalah Romi tidak sesederhana yang kupikirkan.'
"Wah seserius itu ya? Tapi tenang saja. Sepertinya Romi tidak akan tega membiarkan pasien di sini telantar, Roy."
"Darimana kamu yakin?" tanya Roy ragu.
"Hatiku yang mengatakannya."
"Pppftt! Jaman sekarang tuh dipikir pakai logika, Mbak. Jangan karena orangnya good looking semua perbuatannya terlihat baik."
Aku memandang Roy. "Tenang saja. Aku juga takkan membiarkan hal itu terjadi. By the way, aku kerja lagi ya," pamitku pada Roy.
"Hm, iya."
Aku mulai melangkahkan kaki menjauh dari Roy saat tiba-tiba teringat sesuatu.
"Roy, apa boleh aku bertanya tentang apa saja yang telah dikatakan Om padamu tentang rumah sakit ini?"
Roy memandangiku dengan dahi berkerut.
"Boleh. Tapi syaratnya diner dulu. Bagaimana? Bisa kan?"
Aku tertawa. "Kamu yakin mau diner denganku? Aku kan kakak sepupumu?"
Roy mencebik. "Memang kenapa kalau diner dengan kakak sepupu? Perasaan kan memang tidak bisa dibohongi?!" jawab Roy mantap.
Kali ini aku yang mengerutkan dahi. Pak tentara kali ini aneh. Tapi demi mendapat keterangan tentang rumah sakit ini dan Romi, aku akan melakukan apapun.
"Sure. Jam berapa?"
"Jam 7 malam."
"Deal! Aku kerja lagi Roy," pamitku melambaikan tangan dan menjauh menuju kamar pasien di ruang Bougenville.
Romi tampak sedang tertawa sambil menumpuk batu-batu di antara rumpun Bougenville bersama beberapa pasien yang lain, saat aku mendekat.
"Sus, aku punya harta karun," lapornya dengan mata berbinar.
"Wah, benarkah?" tanyaku ikut berlutut diantara para pasien.
"Mana coba harta karunnya?" tanyaku tersenyum pada empat pasien yang sedang berkerumun di situ.
"Ini."
Romi memberikan sebuah batu berukuran segenggam telapak tangan padaku.
Aku terkejut saat mendapati sebuah kertas tertempel di sana. Sepertinya Romi menggunakan nasi untuk melekatkannya ke batu.
"Baca saat sendiri," bisiknya di telingaku sambil cengengesan.
Aku mengangguk dan melepaskan secarik kertas itu dan langsung memasukkannya ke dalam saku seragam.
"Sus, tahu nggak bedanya suster sama harta karun?" tanya Romi sambil menatapku tajam.
"Enggak tahu Rom. Emang apaan sih?"
"Kalau harta karun bisa dimiliki dengan cara digali. Kalau Suster bisa dimiliki dengan cara dinikahi."
"Eaaaa ... Eaaaa ...."
Pasien lain otomatis tertawa-tawa melihat kami sambil bertepuk tangan. Aku tersenyum melihat tingkah mereka.
'Ah elah, serunya. Tapi aku tidak tahu harus merespon bagaimana. Terlalu sering digombali pasien ODGJ ganteng tuh rasanya nano-nano. Ditolak tapi baper. Tapi kalau diterima, kok rasanya nggak mungkin. Dahlah. Aku baca surat ini saja."
"Main yang baik-baik ya. Jangan lupa yang hari ini keluarganya datang berkunjung, agar siap-siap di kamar masing-masing," tukasku dan mereka hanya tersenyum saja.
"Suster kembali ke ruang perawat dulu ya," sambungku lagi sambil melambaikan tangan kiri pada mereka. Karena tangan kananku kumasukkan ke saku untuk memegang kertas pemberian Romi.
"Tunggu Sus."
Aku membalikkan badan ke arah Romi. "Ya Rom?"
"Suster kidal ya?" tanya Romi dengan wajah polos.
"Enggak. Emang kenapa?"
"Kirain kidal, Sus. Soalnya Suster selalu pakai tangan kiri. Kiri-man Tuhan untukku."
Dan kali ini, pipiku benar-benar bersemu merah. Duh Gusti!!!
***
Aku ke kamar mandi dan membuka secarik kertas. Kertas itu berukuran mungil dan hanya terdapat sepotong tulisan alamat.
"Tolong ke rumahku. Ini alamatnya."
Sebuah alamat tertera dengan jelas di bawah tulisan itu.
Hanya itu saja yang ada di kertasnya. Seolah-olah dia tidak bisa bercerita panjang lebar tentang kondisinya di sini karena ada yang mengawasinya.
Aku menghela nafas. "Baiklah. Mari kira ke rumah Romi nanti setelah makan malam dengan Roy. Aku akan lihat ada apa di rumah Romi.
***
"Cantik amat, Mbak. Mau kemana?" tanya Anita saat aku keluar dari kamar.
Aku memakai gaun lengan pendek selutut, warna ungu muda dan rambut sebahuku yang tebal kubentuk cepol ala Korea. Dan merias wajahku dengan foundation dan bedak tipis, maskara, dan lipgloss. Untuk eyeshadow dan pemerah pipi, aku masih belum terlalu bisa mengaplikasikannya.
"Sudah siap?" tanya Roy keluar dari kamarnya.
Roy tampak sangat tampan dan gagah dengan kaus semi sweater lengan panjang warna navi dengan celana bahan drill warna hitam.
Kurasakan Roy dan aku sama-sama saling melotot. "Kamu keren kek Mas Iko Uwa*s," pujiku tulus.
Tak kusangka pipi Roy menjadi semerah tomat.
"Mbak juga cantik. Mirip Jessica milla. Tapi mode gahar," kata Roy tertawa.
"Asem."
"Dih, kalian mau kondangan ya. Ajakin aku dong. Gimana sih, kok aku ditinggal sendirian cuma sama satpam depan rumah. Mama dan papa ke kondangan juga." protes Anita.
"Kita mau jadi detektif." "Kencan!"
Tak kusangka aku dan Roy menjawab bersamaan.
Anita tertawa lebar. "Cie, detektif kencan! Semoga sukses ya," tukas Anita.
Roy mencubit pipi Anita dengan gemas. "Ya sudah, aku berangkat dulu, Dek," pamit Roy.
***
Kafe dan resto dengan konsep indoor dan outdoor yang kami datangi terasa romantis. Dikelilingi pagar berupa tanaman mawar merah dengan lampu taman yang menyala indah. Dan di sepanjang jalan masuk dari gapura yang terbuat dari bunga merambat, dipenuhi oleh deretan payung yang terbuka dan digantung menyerupai atap rumah.
"Meja reservasi atas nama Roy?" sapa Roy pada resepsionis.
Perempuan muda berambut panjang itu tersenyum pada kami. "Silakan, nomor 23. Dan ini menunya."
Resepsionis itu mengulurkan buku menu pada kami.
"Ayo Mbak," ajak Roy setelah meraih buku menu tersebut sambil berjalan mendahuluiku.
"Kamu sudah sering datang ke tempat ini?" tanyaku sambil memandang berkeliling kafe dan resto ini.
Roy mengangguk.
"Cie, sama cewek ya?!" tanyaku kepo
"Sama teman-teman, waktu ngerjain tugas sekolah. Kadang juga waktu reuni," jawab Roy sambil menulis menu di atas selembar kertas.
"Mbak, aku pesen gurami bakar, kentang goreng dan hot cappucino satu. Mbak pesan apa?" tanya Roy sambil memberikan buku menu.
Aku membolak balik buku menu. Dan memilih sate padang dan sup buah.
Roy mengangkat tangannya dan memanggil pramusaji kafe saat aku melihat seorang laki-laki dan perempuan yang baru saja masuk melalui gapura dari bunga.
Aku mendelik. Mereka terlihat mesra sekali. Keduanya tampak saling ngobrol dan sesekali mereka tertawa bersama.
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya.
"Wah, ada hubungan apa mereka?!"
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Om Andri terkejut dan menatapku. "Apa kamu bilang?"Aku menatap Om Andri lekat-lekat. "Om mau kan menyelamatkan rumah sakit tempat Om bekerja?""Absolutly, Yes!" Seru om Andri yakin."Karena itu mari bebaskan Romi dan bantu memindahkan dia ke tempat yang aman. Gimana?"Om Andri terlihat kebingungan. Akupun menceritakan padanya tentang pengacara Romi dan surat-surat Romi. Tanpa mengikutkan bagian yang dikeroyok para begundal.Om Andri terlihat kaget dan beberapa kali menggelengkan kepala saat mendengar ceritaku."Kamu sangat keren! Aku tidak menyangka kamu begitu berani memperjuangkan rumah sakit jiwa ini!"Aku tersenyum. "Saya hanya tidak ingin para pasiennya terancam tidak punya tempat bernaung. Mereka sudah cukup tergilas oleh ujian mengalami gangguan jiwa. Jika mereka kehilangan rumah sakit ini, saya tidak bisa membayangkan mereka akan kemana selanjutnya. Karena itu Om, mari kita berjuang bersama.""Kamu yakin bahwa setelah Romi kita bebaskan, dia akan menyerahkan sertifikat tanah
Flash back on :'Tragedi gendong menggendong barusan memang hal yang memalukan. Mungkin sebaiknya aku meminta maaf terlebih dahulu pada Roy,' bisik hatiku. Aku menghela nafas dan memutuskan keluar kamar setelah hampir 2 jam tertidur. Dengan mengendap-endap, aku melihat situasi. Sepertinya sepi. Entah kemana Roy. Kalau Anita jelas masih sekolah. Jam di dinding masih menunjuk angka 12.Aku menghela nafas saat menyadari rumah ini begitu sepi."Ah, haus banget. Mending minum air dingin."Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin dari rak di pintunya. Setelah menuntaskan dahaga, dari kerongkongan, aku berniat kembali ke kamar. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada terigu cakra kembar dan kopi sachetan yang teronggok manis ingin dibelai.Selintas ide mendadak muncul. Aku memang tidak terlalu mahir memasak dengan bumbu rempah-rempah lengkap aneka menu lauk berat seperti aneka santan, rawon, atau gulai. Tapi untuk masalah ngadon roti, akulah juaranya. Tentu saja asal ada mixer
"Halo, dengan mbak Yulia? Kami dari keluarga pak Jamal. Suami saya mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang berada di UGD. Kontak teratas yang ada di panggilan masuk ponselnya adalah nomor ponsel mbak Yulia."Degg!!!Pak Jamal kecelakaan? Pasti ini ada kaitannya dengan urusan Romi?"Ya Allah, kok bisa kecelakaan, Bu?! Bagaimana ceritanya? Apa ada saksi mata?""Alhamdulillah selamat. Tapi tangan kanannya patah dan sebentar lagi dioperasi. Apa mbak Yulia bisa kesini besok setelah kondisi suami saya stabil?" tanya istri pak Jamal."InsyaAllah bisa, Bu. Saya usahakan. Ibu chat saja alamat rumah sakit dan di ruangan mana pak Jamal dirawat.""Baiklah Mbak. Soalnya kata pak Jamal, ada yang hendak dibicarakannya dengan mbak Yulia.""Baiklah, Bu. Kalau begitu saya kerja dulu."Aku mengakhiri panggilan telepon dan memandang Dimas lekat-lekat. "Apa kamu pelakunya?"Dimas memicingkan mata. "Melakukan apa?" Dimas mengedikkan bahu dengan wajah bingung."Jangan pura-pura gak tahu, Dim. Kamu sudah k
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya