'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'
Ehhh!
Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya.
"Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa.
"Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?"
"Boleh minta nggak?"
Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"
Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."
Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.
Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel.
"Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan.
Romi mengangguk.
"Rom, apa kamu pernah dipaksa tanda tangan sesuatu oleh ibu tiri kamu dan menyimpan stempel keluarga?" tanyaku hati-hati.
Mendadak wajah Romi yang riang berubah menjadi merah padam dan memandangku dengan tatapan nyalang.
Tangannya yang masih menggenggam sendok bahkan mencengkeramnya erat-erat sampai buku-buku tangannya memutih. Dan Romi langsung menggeram.
Astaga! Dia langsung memberikan respon agresif jika mendengar tentang persoalan tanda tangan itu.
Aku menghela nafas dan tersenyum. "Romi, maaf ya kalau menyinggung perasaan kamu. Kalau kamu tidak mau cerita tidak apa-apa. Dan kamu harus ingat, saya hanya ingin menolong kamu. Dan berbeda dengan mereka yang hanya mendekatimu dengan modus. Saya percaya, kamu tidak mengalami gangguan jiwa. Saya ada di pihak kamu! Baiklah, saya pergi dulu."
Romi terdiam tapi raut di wajahnya masih seram.
Aku segera beranjak. 'Oke mari kita kumpulkan petunjuknya. Om Andri, Dimas, dan Bu Riana berkaitan dengan kumatnya Romi. Dan pencetusnya adalah tanda tangan dan stempel keluarga. Baiklah, aku simpan dulu petunjuk yang ada.'
***
Aku baru saja pulang dari rumah sakit, saat terlihat seseorang berambut cepak duduk menonton tivi bersama Anita, anak bungsu om Andri yang berumur 17 tahun.
"Hei Roy! Lama nggak jumpa loh. Aku datang ke sini saat kamu sedang dinas kan?" sapaku sambil meletakkan bungkusan bakso di meja makan.
Lelaki yang kusapa itu menoleh. "Mbak Yulia! Tambah cantik saja. Sini Mbak, ngobrol bareng sama aku dan Anita!" Roy tampak excited menyapaku.
Aku tersenyum dan mendekat seraya bersalaman dengan sepupuku yang lebih tua dari segi umur tapi harus memanggilku 'mbak' karena aku anak bungsu dari budenya Roy.
"Cie mas Roy, akhirnya ketemu mbak Yulia!" seru Anita tertawa. Dan Roy langsung nendelik pada adiknya.
"Hahaha, itu kan guyonan masa kecil yang kita main manten-mantenan dulu, Nit. Sekarang beda lah!"
"Oh iya. Silakan ngobrol saja. Aku mau istirahat dulu. Kejadian hari ini agak melelahkan."
"Kamu perlu cerita sama aku?" tanya Roy.
Aku menggeleng. "Aku hanya butuh istirahat sebentar. Aku ke kamar dulu ya."
Aku tersenyum dan tanpa menunggu jawaban Roy, aku masuk ke dalam kamar.
***
Aku terbangun saat pintu kamarku diketuk.
"Mbak, mbak Yulia, bangun."
Aku menggeliat dan mengucek mata, melirik jam yang menempel di tembok, ternyata sudah jam 6 malam.
Aku bangun dari ranjang dan menuju ke arah pintu. "Lama amat tidurnya. Makan yuk."
Aku mengangguk. "Iya. Aku mandi dulu." Akupun melenggang melewati Roy yang berdiri di tengah pintu kamar.
***
"Yulia kerasan di Lampung?" tanya tante Ambar, istri Om Andri saat makan malam.
Aku mengangguk. "Alhamdulillah kerasan. Pasiennya unik-unik dan kawan-kawan sesama tenaga medis juga kooperatif dan menyenangkan," tukasku tersenyum
"Jangan lupa dengan umur. Keasyikan bekerja membuat orang lupa mencari pendamping hidup, seperti Roy."
Tante Ambar melirik Roy yang tiba-tiba tersedak sehingga terbatuk-batuk. Aku tertawa.
"Tante, sebenarnya ada pasien unik di tempat kerja yang tampak waras tapi saat didatangi oleh keluarganya, dia kum ...,"
"Yulia, kalau makan jangan sama bicara. Nanti tersedak seperti Roy. Dan jangan bawa-bawa urusan pekerjaan ke rumah. Nanti bisa menghilangkan selera makan."
Om Andri memotong kalimatku. Aku tersenyum. "Iya Om. Maaf. Oh ya Roy, kamu libur berapa hari?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sepuluh hari. Tentara kalau pulang dari ditugaskan ke daerah konflik, liburnya lama. Minimal enam hari."
Aku manggut-manggut. "Oh. Coba kalau pas liburan main-main kemana gitu Roy biar dapat jodoh," tukasku.
Roy terbatuk-batuk lagi lalu perlahan dia meraih segelas air putih dan meminumnya.
Roy menghela nafas dan menjawab. "Aku menunggu waktu yang tepat untuk menyatakan cinta pada seseorang dari pulau Jawa."
Kini giliran aku yang terbatuk-batuk. Ada apa sih dengan laki-laki di sini. Hobinya menggombal semua.
***
Aku baru saja memberikan obat oral pada pasien saat melihat seseorang berambut cepak, berkulit sawo matang dan berbadan tegap berdiri di tengah taman bunga Bougenville.
"Roy! Kamu kok kesini?" tanyaku seraya berlari ke arah adik sepupuku yang berumur lebih tua dariku itu.
Roy menoleh dan tersenyum sehingga lesung pipinya terlihat.. "Iya. Aku mengantar berkas papa yang ketinggalan."
"Sudah ketemu Om, belum?" tanyaku.
"Sudah. Tapi aku memang sengaja nggak ingin pulang. Mau lihat-lihat rumah sakit ini dulu. Kok beda banget sama kondisi 6 bulan yang lalu," jawab Roy sambil membelai bunga Bougenville di hadapan kami.
"Sekarang semakin rapi, bersih, dan cantik. Seperti kamu, Mbak," sambung Roy lagi.
Aku tertawa. "Emang di Mako kamu juga diajari nggombal?!"
Roy merengut dan menggeleng. "Tentu saja tidak. Itu murni dari hati kok. Aku emang nggak romantis. Tapi aku bukan pembohong. Seorang prajurit tidak akan pernah berbohong dan tidak akan pernah ingkar janji."
Aku tersenyum. "Iya wes iya. Ya sudah, aku mau kerja lagi," ujarku mulai melangkahkan kaki saat perkataan Roy menghentikanku.
"Kamu betah kerja di sini ya?" tanya Roy memandangiku.
Aku menoleh. "Alhamdulillah, bisa mengamalkan ilmu di sini, Roy."
Roy mengerutkan kening. "Padahal tanah di rumah sakit ini dalam proses semgketa loh. Papa nggak cerita sama kamu?"
Aku menggeleng. Wah, petunjuk baru! "Kok bisa sengketa Roy?"
Aku pun berusaha mengorek keterangan dari saudara sepupu dari pihak ibuku tersebut.
"Bisalah! Ceritanya panjang. Bahkan yang mempunyai sertifikat tanah ini adalah salah satu pasien yang dirawat di sini. Papa pernah cerita kalau namanya Romi."
Aku terbengong. "Kamu yakin?"
"Yakinlah. Papa pernah cerita kok."
"Sus ...!"
Romi tiba-tiba berdiri di belakangku.
Aku dan Roy berdiri bersamaan. "Siapa dia, Sus?" tanya Romi memandangi Roy.
"Sepupuku. Namanya Roy."
Romi cengengesan. "Tapi aku tetap percaya diri kalau suster Yuli ini jodohku."
"Kok bisa Rom?" tanyaku antusias. Sementara Roy terlihat terkejut.
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Om Andri terkejut dan menatapku. "Apa kamu bilang?"Aku menatap Om Andri lekat-lekat. "Om mau kan menyelamatkan rumah sakit tempat Om bekerja?""Absolutly, Yes!" Seru om Andri yakin."Karena itu mari bebaskan Romi dan bantu memindahkan dia ke tempat yang aman. Gimana?"Om Andri terlihat kebingungan. Akupun menceritakan padanya tentang pengacara Romi dan surat-surat Romi. Tanpa mengikutkan bagian yang dikeroyok para begundal.Om Andri terlihat kaget dan beberapa kali menggelengkan kepala saat mendengar ceritaku."Kamu sangat keren! Aku tidak menyangka kamu begitu berani memperjuangkan rumah sakit jiwa ini!"Aku tersenyum. "Saya hanya tidak ingin para pasiennya terancam tidak punya tempat bernaung. Mereka sudah cukup tergilas oleh ujian mengalami gangguan jiwa. Jika mereka kehilangan rumah sakit ini, saya tidak bisa membayangkan mereka akan kemana selanjutnya. Karena itu Om, mari kita berjuang bersama.""Kamu yakin bahwa setelah Romi kita bebaskan, dia akan menyerahkan sertifikat tanah
Flash back on :'Tragedi gendong menggendong barusan memang hal yang memalukan. Mungkin sebaiknya aku meminta maaf terlebih dahulu pada Roy,' bisik hatiku. Aku menghela nafas dan memutuskan keluar kamar setelah hampir 2 jam tertidur. Dengan mengendap-endap, aku melihat situasi. Sepertinya sepi. Entah kemana Roy. Kalau Anita jelas masih sekolah. Jam di dinding masih menunjuk angka 12.Aku menghela nafas saat menyadari rumah ini begitu sepi."Ah, haus banget. Mending minum air dingin."Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin dari rak di pintunya. Setelah menuntaskan dahaga, dari kerongkongan, aku berniat kembali ke kamar. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada terigu cakra kembar dan kopi sachetan yang teronggok manis ingin dibelai.Selintas ide mendadak muncul. Aku memang tidak terlalu mahir memasak dengan bumbu rempah-rempah lengkap aneka menu lauk berat seperti aneka santan, rawon, atau gulai. Tapi untuk masalah ngadon roti, akulah juaranya. Tentu saja asal ada mixer