Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya.
"Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri.
"Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan.
Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.
Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku.
"Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"
Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami.
Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?"
"Ssttt! Jangan keras-keras kalau bicara." Aku mengarahkan telunjukku pada hidung dan mulutku.
"Kenapa? Siapa dia? Sini suruh ngadepin aku kalau dia jahat sama Mbak! Nggak usah takut Mbak. Ada aku disini."
Roy justru berdiri dan mengedarkan pandangan matanya.
"Roy, duduk! Dimas itu teman kerjaku. Dan Riana itu ibu tirinya Romi."
"Wah, bagus dong. Ayo kita samperin saja, nanyain sertifikat tanah rumah sakit."
"Roy, bukan seperti itu konsepnya. Emak tirinya Romi itu juga aneh. Dia sepertinya juga butuh tanda tangan Romi. Entah buat apa."
Aku menghela nafas lega dan baru menjauhkan tas mungilku dari wajah, saat Dimas dan Riana mulai masuk ke gedung utama kafe dan resto ini.
"Jadi Roy, sambil menunggu makanan datang, bagaimana kalau kamu katakan tentang apa yang telah diceritakan om Andri padamu."
Aku mencondongkan badan ke arah meja kayu dan memandang Roy dengan serius.
Roy tersenyum menatapku.
"Jadi papa pernah bilang kalau dia punya teman baik. Namanya Adi Bagaskara. Terus om Adi pernah diselamatkan nyawanya oleh papa saat kuliah waktu pendakian. Karena itu om Adi memberikan sebidang tanah kosong itu pada papa. Papa menerima dengan senang hati."
"Tunggu. Kapan peristiwa itu terjadi?" tanyaku seraya mengetuk-ngetukkan ujung jari telunjuk ke atas meja kayu.
Roy mengerutkan dahi. "Papa ceritanya sih setengah tahun lalu. Waktu itu papa bilang tanahnya diberikan oleh om Adi 18 tahun yang lalu."
"Terus kenapa kok nggak langsung balik nama saat itu juga? Terus langsung deh disimpan Om Andri saja sertifikatnya? Kan aman?"
"Nah itu dia! Orang jadul itu suka meremehkan akta tanah. Kalau sudah ada perjanjian lisan, entah kenapa malas ngurus. Main percaya-percaya saja. Baru setelah Om Adi meninggal beberapa tahun lalu, ada beberapa pihak yang mengklaim tanah rumah sakit. Salah satunya keluarga Romi. Dan papa diberi pilihan, membeli tanah itu, menjual murah rumah sakitnya, atau mereka memperkarakannya ke hukum. Makanya papa bingung."
"Terus, kenapa sertifikatnya jadi punya Romi? Sampai sini, aku gak paham."
Roy mengedikkan bahu. "Entahlah. Apa pak Adi tadi ayahnya Romi? Terus Riana adalah ibu tiri yang selingkuh sama Dimas dan mau menguras harta almarhum ayah Romi?"
"Terus kenapa Romi harus pura-pura gangguan jiwa? Atau memang gangguan jiwa beneran?" tanyaku bingung.
"Nggak tahu juga. Mbak nanya aku, aku nanya siapa? Papa juga sepertinya menyembunyikan sesuatu." tanya Roy bertepatan dengan pramusaji yang mengantarkan pesanan kami.
Aku terdiam. "Tidak mungkin hanya sesederhana ini masalahnya. Pasti ada yang masih belum kuketahui. Kenapa Dimas sampai mengejar Romi ke rumah sakit, kenapa Riana malah bekerja sama dengan Om Andri. Padahal Riana bisa saja dicurigai juga ingin memiliki tanah itu."
'Aarggh! Mumet!'
Tanpa sadar aku memijat pelipis. "Mbak, udahlah. Buat apa sih ngurusin orang lain, mbak udah kurus loh. Apalagi ngurusin Romi. Duh gak banget!"
Aku mengangkat kepala memandang Roy. "Kamu benar! Aku makan dulu saja."
Aku mulai menyuapkan sate ke dalam mulutku. 'Wah, rasanya gurih manis. Enak banget!'
Sejenak aku melupakan Romi dan antek-anteknya serta menikmati makanan yang tersaji di depanku.
"Enak Mbak?" tanya Roy sambil mengunyah gurami pesanannya.
"Henak banghet," sahutku sambil mengunyah makanan sehingga pipiku menggembung.
"Makan yang banyak Mbak, biar tambah seksi."
Aku memandang Roy dengan tatapan membunuh.
"Elu merhatiin body gue? Saru Roy! Gue beri jurus-jurus karate juga lu, gak peduli lu punya bedil!" seruku.
Rasanya nggak nyaman kalau ada laki-laki yang membicarakan masalah bodyku. Karena memang bagian bemper depan dan belakang lebih berisi alias sem*k.
"Tenang Mbak, tenang. Jangan galak-galak. Pantes cantik-cantik tapi gak punya pacar. Galak sih."
Aku manyun, Roy tertawa.
"Cobain gurami ini deh Mbak. Pasti suka."
Roy mencomot sedikit daging gurami lalu mengarahkannya pada mulutku.
Kepalaku refleks mundur ke belakang. "Aku bisa makan sendiri, Roy," sahutku. Merasa aneh hendak disuapi oleh adik sepupu sendiri.
Roy termangu, tangannya tetap terangkat di udara mendekati mulutku. Tampak kekecewaan tergambar di raut wajahnya. Lalu sedetik kemudian dia tertawa.
"Ayolah Mbak. Tanganku udah telanjur dekat dengan bibir Mbak loh."
Aku memandang Roy ragu. "Hm, oke. Sekali ya kamu nyuapin aku."
Aku membuka mulut. Dan Roy dengan tersenyum menyuapkan daging gurami bakar padaku.
"Wah, enak banget!"
"Ya kan? Nah, ayo dimakan lagi." Roy mendekatkan piring guraminya padaku.
"Roy,"
Mbak,"
Elah, manggilnya barengan. "Apa ada yang mau kamu omongin?" tanyaku.
"Mbak dulu deh," sahut Roy tersenyum.
"Kamu dulu pak Tentara!"
"Nggak. Mbak dulu saja. Lady is first!"
Aku tersenyum. "Kamu setelah makan ada acara gak?" tanyaku pada Roy.
Roy menggeleng. "Nggak ada. Emang kenapa Mbak? Mbak mau jalan-jalan kah?"
Aku mengangguk. "Iya. Kalau kamu bisa nganter sih."
"Bisalah selama masih di bumi aja. Mau kemana sih?" tanyanya.
"Ke rumah Romi."
Wajah Roy langsung berubah. "Romi lagi. Romi lagi. Kenapa sih kesana? Emang Mbak tahu alamatnya?"
Aku terdiam. Menimbang-nimbang jawaban. Apa Roy bisa menjaga rahasia atau tidak. Tapi lebih baik aku bilang saja ke Roy, tujuannya dan om Andri kan baik, menghalangi dijualnya tanah rumah sakit. Lagipula dua kepala untuk berpikir tentu lebih baik daripada satu kepala.
"Ini rahasia ya." Akhirnya aku memutuskan untuk menceritakan semua tentang surat Romi.
Roy mendelik. "Apa kubilang Mbak! Dia itu manipulatif. Ayo besok kita tanya dimana sertifikat rumah sakitnya."
"Jangan Roy. Om Andri dan Dimas yang kulihat tadi sudah memperingatkanku tentang bahaya ikut campur urusan ini. Lebih baik kita selidiki diam-diam saja. Okey? Karena itu tolong antar aku ke rumah Romi setelah makan malam ini."
Roy mengangguk. "Tapi kata Mbak Yulia tadi ibu tirinya Romi ada disini. Gimana kalau menunggu mereka pulang?"
"Iyalah. Ya sudah, ayo kita makan lagi," tukasku.
Roy mengangguk dan mulai mengunyah makanannya lagi.
"Roy, kamu tahu nggak alamat rumahnya temen Om Andri yang namanya Om Adi Bagaskara tadi?"
Roy menggeleng. "Terakhir diajak ke sana sih waktu SD, sebelum om Adi meninggal. Lupa sih mbak sepertinya. Apalagi sekolahku kan jauh dari sini. Kost lagi. Jarang jalan-jalan di daerah sini."
Aku manggut-manggut."Eh, kamu tadi sepertinya mau ngomong sesuatu kan? Sekarang giliran kamu ngomong Roy!"
Roy menatapku dengan pandangan aneh lalu sejurus kemudian dia menggelengkan kepalanya.
"Gak jadi. Gak penting kok. Lain kali saja," sahut Roy menyesap kopinya.
"Ya sudah kalau begitu," tukasku.
"Eh iya Mbak. Tahu nggak kota apa yang paling kecil di Indonesia?"
Aku mengerutkan dahi. "Nggak tahu, Roy. Emang apa jawabannya?"
"Jawabannya adalah hatiku," kata Roy tersenyum.
"Kok bisa sih?" Aku bertambah bingung.
"Karena penghuni hatiku cuma 1 orang. Yaitu Mbak Yulia!"
Aku tertawa terbahak-bahak. "Kamu kok ketularan Romi sih Roy. Aneh tahu."
"Baru tadi baca di g****e," jawab Roy polos membuatku semakin ingin tertawa.
***
Akhirnya kami membuntuti mobil Dimas. Dan sampailah mereka di rumah besar dengan gerbang tinggi warna hitam. Dua orang satpam segera membuka pintu gerbang menyambut kedatangan mobil Riana.
Dan setelah mobil mereka menghilang melalui pintu gerbang, aku menjadi bingung.
"Jam berapa sekarang Roy? Kita jadi ke sana gak?" tanyaku bingung.
"Sekarang sudah jam 21.00. Besok saja Mbak. Aku rasa tidak sopan jika bertamu malam-malam seperti ini."
Aku menghela nafas. "Kamu benar. Tapi, aku ingin turun sebentar dan memastikan itu rumah Romi."
"Kalau begitu, biar aku temani, Mbak."
Aku mengangguk dan membuka pintu mobil lalu berjalan ke arah gerbang.
"Permisi, Pak. Apa benar ini rumah pak Adi bagaskara?" tanyaku ramah menyapa dua orang satpam dari luar gerbang rumah itu.
Kedua satpam itu mendekati aku dan Roy dengan pandangan heran.
"Salah alamat, Mbak. Ini bukan rumah pak Adi Bagaskara. Ini rumah pak Dion Alexander," jawab salah satu diantara kedua satpam itu ramah.
Kini giliran aku yang bingung. 'Kalau rumah ini punya Romi, seharusnya pemiliknya adalah sang ayah yang bernama Adi Bagaskara, kenapa nama pemilik rumah ini Dion Alexander?'
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'
Ada apa sih ini?
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Om Andri terkejut dan menatapku. "Apa kamu bilang?"Aku menatap Om Andri lekat-lekat. "Om mau kan menyelamatkan rumah sakit tempat Om bekerja?""Absolutly, Yes!" Seru om Andri yakin."Karena itu mari bebaskan Romi dan bantu memindahkan dia ke tempat yang aman. Gimana?"Om Andri terlihat kebingungan. Akupun menceritakan padanya tentang pengacara Romi dan surat-surat Romi. Tanpa mengikutkan bagian yang dikeroyok para begundal.Om Andri terlihat kaget dan beberapa kali menggelengkan kepala saat mendengar ceritaku."Kamu sangat keren! Aku tidak menyangka kamu begitu berani memperjuangkan rumah sakit jiwa ini!"Aku tersenyum. "Saya hanya tidak ingin para pasiennya terancam tidak punya tempat bernaung. Mereka sudah cukup tergilas oleh ujian mengalami gangguan jiwa. Jika mereka kehilangan rumah sakit ini, saya tidak bisa membayangkan mereka akan kemana selanjutnya. Karena itu Om, mari kita berjuang bersama.""Kamu yakin bahwa setelah Romi kita bebaskan, dia akan menyerahkan sertifikat tanah
Flash back on :'Tragedi gendong menggendong barusan memang hal yang memalukan. Mungkin sebaiknya aku meminta maaf terlebih dahulu pada Roy,' bisik hatiku. Aku menghela nafas dan memutuskan keluar kamar setelah hampir 2 jam tertidur. Dengan mengendap-endap, aku melihat situasi. Sepertinya sepi. Entah kemana Roy. Kalau Anita jelas masih sekolah. Jam di dinding masih menunjuk angka 12.Aku menghela nafas saat menyadari rumah ini begitu sepi."Ah, haus banget. Mending minum air dingin."Aku membuka pintu kulkas dan mengeluarkan sebotol air dingin dari rak di pintunya. Setelah menuntaskan dahaga, dari kerongkongan, aku berniat kembali ke kamar. Tiba-tiba mataku tertumbuk pada terigu cakra kembar dan kopi sachetan yang teronggok manis ingin dibelai.Selintas ide mendadak muncul. Aku memang tidak terlalu mahir memasak dengan bumbu rempah-rempah lengkap aneka menu lauk berat seperti aneka santan, rawon, atau gulai. Tapi untuk masalah ngadon roti, akulah juaranya. Tentu saja asal ada mixer
"Halo, dengan mbak Yulia? Kami dari keluarga pak Jamal. Suami saya mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang berada di UGD. Kontak teratas yang ada di panggilan masuk ponselnya adalah nomor ponsel mbak Yulia."Degg!!!Pak Jamal kecelakaan? Pasti ini ada kaitannya dengan urusan Romi?"Ya Allah, kok bisa kecelakaan, Bu?! Bagaimana ceritanya? Apa ada saksi mata?""Alhamdulillah selamat. Tapi tangan kanannya patah dan sebentar lagi dioperasi. Apa mbak Yulia bisa kesini besok setelah kondisi suami saya stabil?" tanya istri pak Jamal."InsyaAllah bisa, Bu. Saya usahakan. Ibu chat saja alamat rumah sakit dan di ruangan mana pak Jamal dirawat.""Baiklah Mbak. Soalnya kata pak Jamal, ada yang hendak dibicarakannya dengan mbak Yulia.""Baiklah, Bu. Kalau begitu saya kerja dulu."Aku mengakhiri panggilan telepon dan memandang Dimas lekat-lekat. "Apa kamu pelakunya?"Dimas memicingkan mata. "Melakukan apa?" Dimas mengedikkan bahu dengan wajah bingung."Jangan pura-pura gak tahu, Dim. Kamu sudah k
"Suster, sebenarnya aku masih kangen. Apa Suster tidak kangen juga padaku?"Aku hanya bisa menatapnya lama tanpa tahu harus menjawab apa. Merasakan seakan ada kupu-kupu yang menggelitik di hati sekaligus rasa geli atas kepedean pasien di hadapanku ini."Sus, kok ngelamun? Sedang membayangkan masa depan kita berdua ya?" tanya Romi sambil tertawa. Aku mengibaskan tangan di depan wajah Romi. "Ada-ada saja kamu, Rom! Ya sudah, sekarang saya pergi beneran lo."Aku berlalu perlahan dari hadapan Romi. "Sus, berhenti sebentar. Sebenarnya saya sakaw!" Lagi-lagi suara Romi membuatku menoleh. Aku mendekat lagi padanya seiring dengan debar jantung yang semakin cepat. Senyum Romi semakin terkembang melihat aku mendekat. Ah, aku bingung. Pikiran ingin membebaskan sertifikat tanah rumah sakit ini, ingin membebaskan Romi, dan ingin menolong Dimas mendapatkan haknya kembali berputar-putar dalam kepala. 'Kenapa jadi ngurusin masalah orang sih.'"Kamu sakaw, Rom? Kamu 'ngobat' ya?" tanyaku prihatin
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya