"Halo, dengan mbak Yulia? Kami dari keluarga pak Jamal. Suami saya mengalami kecelakaan. Dan sekarang sedang berada di UGD. Kontak teratas yang ada di panggilan masuk ponselnya adalah nomor ponsel mbak Yulia."Degg!!!Pak Jamal kecelakaan? Pasti ini ada kaitannya dengan urusan Romi?"Ya Allah, kok bisa kecelakaan, Bu?! Bagaimana ceritanya? Apa ada saksi mata?""Alhamdulillah selamat. Tapi tangan kanannya patah dan sebentar lagi dioperasi. Apa mbak Yulia bisa kesini besok setelah kondisi suami saya stabil?" tanya istri pak Jamal."InsyaAllah bisa, Bu. Saya usahakan. Ibu chat saja alamat rumah sakit dan di ruangan mana pak Jamal dirawat.""Baiklah Mbak. Soalnya kata pak Jamal, ada yang hendak dibicarakannya dengan mbak Yulia.""Baiklah, Bu. Kalau begitu saya kerja dulu."Aku mengakhiri panggilan telepon dan memandang Dimas lekat-lekat. "Apa kamu pelakunya?"Dimas memicingkan mata. "Melakukan apa?" Dimas mengedikkan bahu dengan wajah bingung."Jangan pura-pura gak tahu, Dim. Kamu sudah k
"Suster, sebenarnya aku masih kangen. Apa Suster tidak kangen juga padaku?"Aku hanya bisa menatapnya lama tanpa tahu harus menjawab apa. Merasakan seakan ada kupu-kupu yang menggelitik di hati sekaligus rasa geli atas kepedean pasien di hadapanku ini."Sus, kok ngelamun? Sedang membayangkan masa depan kita berdua ya?" tanya Romi sambil tertawa. Aku mengibaskan tangan di depan wajah Romi. "Ada-ada saja kamu, Rom! Ya sudah, sekarang saya pergi beneran lo."Aku berlalu perlahan dari hadapan Romi. "Sus, berhenti sebentar. Sebenarnya saya sakaw!" Lagi-lagi suara Romi membuatku menoleh. Aku mendekat lagi padanya seiring dengan debar jantung yang semakin cepat. Senyum Romi semakin terkembang melihat aku mendekat. Ah, aku bingung. Pikiran ingin membebaskan sertifikat tanah rumah sakit ini, ingin membebaskan Romi, dan ingin menolong Dimas mendapatkan haknya kembali berputar-putar dalam kepala. 'Kenapa jadi ngurusin masalah orang sih.'"Kamu sakaw, Rom? Kamu 'ngobat' ya?" tanyaku prihatin
Aku tersenyum di balik masker yang kukenakan. 'Kena kamu! Kamu tidak akan mengira siapa yang berkunjung ke rumah kamu sekarang!'"Nit, masuk yuk."Aku dan Anita mengangguk lalu memasuki rumah Sendi. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.Melihat foto-foto Riana dan Sendi. Lalu foto orang tua Riana. Sama sekali tidak ada foto Romi atau ayahnya. "Duduk dulu, Nit. Aku seneng banget kamu mau ke rumahku. Tapi kebetulan orang tuaku lagi keluar sama kakak perempuanku," ujar si Jangkung sambil duduk di kursi sofa empuk warna putih. Aku dan Anita duduk di hadapan Sendi. "Wah, rumah kamu bagus ya?" ucap Anita memandang sekeliling ruang tamu.Hidung Sendi terlihat kembang kempis. "Jelas lah. Ini kan rumah hasil kerja Mbak aku," sahutnya penuh percaya diri. "Wah, keren ya kakak perempuan kamu. Padahal belum menikah ya. Bisa sesukses ini. Mau juga dong diajari caranya sukses dan kaya yang bukan warisan orang tua," kata Anita tersenyum. Sendi tampak salah tingkah. Anita memang memula
Aku mengedikkan bahu. "Ayo kita hadapi berdua," tukasku pada Anita saat melihat Riana yang kian mendekat ke arah kami.Aku memindah kamera CCTV berbentuk pena yang kusimpan di saku baju ke tas selempang dengan cepat. "Hai Nit. Anita kan namanya?"Riana kini berhadapan dengan kami. Aku merasa was-was. Kalau saja ketahuan aku yang di sini, mungkin akan terjadi pengeroyokan pada kami. Akan kuhadapi sendirian dan Anita akan kusuruh lari dan menghubungi Roy.Berbagai rencana telah kususun, tapi semua ambyar saat kudengar Riana berkata, "Ini ada oleh-oleh dari kami untuk kamu. Kata Sendi, kalian puasa?"Anita langsung maju dan menerima kantung plastik warna putih tersebut dengan tersipu. Anita melihat isi di dalam kantung plastik dan tersenyum cerah pada Riana.Aku pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih dari balik maskerku. "Sekali lagi terimakasih sudah repot-repot memberikan kami roti dan jus jeruk ini," kata Anita.Aku yang tidak bisa melongok isi di dalam plastik tiba-tiba tercekat
Aku dan Roy melihat isinya bersamaan. "Sertifikat tanah di jalan Mutiara nomor XX!."Ini sertifikat tanah tempat dibangunnya Rumah Sakit Jiwa Sinar Sehat!Akhirnya kami bisa memilikinya! Aku dan Roy berpandangan. Ada binar bahagia di dalam mata Roy. Pasti dia pun melihat hal yang sama di mataku."Ini, untuk kami?" tanyaku tak percaya. Pak Jamal tertawa. "Iya. Kan kita sudah sepakat. Saya memberikan sertifikat untuk kalian dan kalian membebaskan klien saya dari rumah sakit jiwa lalu saya akan membawa Romi ke tempat yang aman."Aku menghela nafas karena mendadak teringat sesuatu. "Tapi Pak, sebenarnya ada yang mengganjal di pikiran saya dan saya khawatir itu akan menjadi batu sandungan untuk saya dalam mengeluarkan Romi dari rumah sakit jiwa."Pak Jamal dan Roy tampak terkejut. "Apa itu Mbak Yulia? Sekarang coba dikatakan secara gamblang agar kita cari penyelesaiannya secara bersama-sama," tukas pak Jamal."Di status pasien sudah tertulis bahwa yang menjadi wali Romi adalah Riana. Menu
Tidak ditemukan arsenik dalam sampel makanan dan minuman, alias makanan dan minuman tidak mengandung racun.Aku dan Roy berpandangan sambil tertawa bersama. "Kamu terlalu buruk sangka, Mbak!" tukas Roy saat kami keluar dari laboratorium.Aku melirik sebal. "Bagaimana mungkin aku tidak buruk sangka kalau Dimas melihat bahwa orang tuanya terbunuh setelah meminum jus jeruk?" tanyaku sengit. "Kata Mbak, Dimas kan masih kelas tiga SD saat melihat tulisan yang menempel di botol dan jatuh di dapur? Bisa saja kan dia salah baca?" tanya Roy.Aku menghela nafas. Benar juga. Kenapa aku selalu terburu-buru sih dalam menyimpulkan sesuatu."Eh tapi, mamanya Dimas juga meninggal dengan ciri-ciri seperti papanya, yaitu sakit jantung. Gak ada salahnya kan waspada?""Lah itu kan Dimas cuma bertanya di sekitar orang yang melayat. Yang tahu sendiri saat itu pasti Dion Alexander yang ada di TKP. Bisa saja meninggalnya karena sakit jantung beneran. Informasi dari anak kecil dan penjelasan yang didapat h
Romi pun menyalami Om Andri dan memandangku lama. "Give me big hug, please?!" tanyanya lirih. Aku menelan ludah. Antara ingin memeluknya atau tidak. Aku memandang pada semua yang ada di ruang kantor om Andri sejenak dan menjawab, "Baik-baik di sana ya Rom."Aku menepuk-nepuk bahu kanannya. Romi tampak kecewa. "Baiklah, kalau begitu aku pamit," ucapnya menyelipkan sebuah surat dalam genggaman tanganku lalu bersama pak Jamal keluar dari kantor Om Andri. Aneh. Ada berbagai rasa yang berkecamuk di hati. Ada rasa bahagia, dan juga penasaran. Rasa ingin bertemu lagi. Rasa kecewa dan rasa takut. Ah, entahlah. Yang penting Romi bebas dulu baru kemudian masalah tanah rumah sakit ini bisa diselesaikan, lalu masalah warisan biar diselesaikan antara Dimas dan Romi berdua.Aku keluar dari ruangan om Andri dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan keran lalu membuka surat dari Romi perlahan dengan dada berdebar. [Untuk Yulia.][Terimakasih kamu telah membantuku keluar dari rumah sakit in
"Sekarang Roy!" Aku dan Roy melompati jendela dan merengsek maju mendekati Riana. Aku pun mencengkeram tangan Riana. Sementara Roy langsung mencengkeram bahu si Gundul."Sedikit saja kalian sentuh Papa saya, kalian dan perempuan ini akan habis di sini!!!" Seru Roy dengan suara keras.Sejenak Riana dan kedua bodyguard nya memandang kami bergantian. "Jadi ini rencana kalian?" tanya Riana dengan tersenyum mengejek. Aku membalas senyumannya. "Bukan urusan kamu.""Lepas! Gak usah megang-megang tanganku! Akan kubuat kalian menyesal karena telah membantu Romi!" Riana memberontak dan berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman tanganku."Suruh anak buah kamu menjauhkan tangannya dari Om Andri dulu. Baru kamu akan kulepaskan!"Riana memberi tanda pada kedua bodyguard dengan gerakan kepala, dan kedua anak buahnya menjauh dari Om Andri. Roy dan akupun melepaskan cengkeraman kami. "Kalian jangan merasa menang dahulu karena telah berhasil mengeluarkan Romi dari rumah sakit ini.
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya