Aku mengedikkan bahu. "Ayo kita hadapi berdua," tukasku pada Anita saat melihat Riana yang kian mendekat ke arah kami.Aku memindah kamera CCTV berbentuk pena yang kusimpan di saku baju ke tas selempang dengan cepat. "Hai Nit. Anita kan namanya?"Riana kini berhadapan dengan kami. Aku merasa was-was. Kalau saja ketahuan aku yang di sini, mungkin akan terjadi pengeroyokan pada kami. Akan kuhadapi sendirian dan Anita akan kusuruh lari dan menghubungi Roy.Berbagai rencana telah kususun, tapi semua ambyar saat kudengar Riana berkata, "Ini ada oleh-oleh dari kami untuk kamu. Kata Sendi, kalian puasa?"Anita langsung maju dan menerima kantung plastik warna putih tersebut dengan tersipu. Anita melihat isi di dalam kantung plastik dan tersenyum cerah pada Riana.Aku pun tersenyum dan mengucapkan terimakasih dari balik maskerku. "Sekali lagi terimakasih sudah repot-repot memberikan kami roti dan jus jeruk ini," kata Anita.Aku yang tidak bisa melongok isi di dalam plastik tiba-tiba tercekat
Aku dan Roy melihat isinya bersamaan. "Sertifikat tanah di jalan Mutiara nomor XX!."Ini sertifikat tanah tempat dibangunnya Rumah Sakit Jiwa Sinar Sehat!Akhirnya kami bisa memilikinya! Aku dan Roy berpandangan. Ada binar bahagia di dalam mata Roy. Pasti dia pun melihat hal yang sama di mataku."Ini, untuk kami?" tanyaku tak percaya. Pak Jamal tertawa. "Iya. Kan kita sudah sepakat. Saya memberikan sertifikat untuk kalian dan kalian membebaskan klien saya dari rumah sakit jiwa lalu saya akan membawa Romi ke tempat yang aman."Aku menghela nafas karena mendadak teringat sesuatu. "Tapi Pak, sebenarnya ada yang mengganjal di pikiran saya dan saya khawatir itu akan menjadi batu sandungan untuk saya dalam mengeluarkan Romi dari rumah sakit jiwa."Pak Jamal dan Roy tampak terkejut. "Apa itu Mbak Yulia? Sekarang coba dikatakan secara gamblang agar kita cari penyelesaiannya secara bersama-sama," tukas pak Jamal."Di status pasien sudah tertulis bahwa yang menjadi wali Romi adalah Riana. Menu
Tidak ditemukan arsenik dalam sampel makanan dan minuman, alias makanan dan minuman tidak mengandung racun.Aku dan Roy berpandangan sambil tertawa bersama. "Kamu terlalu buruk sangka, Mbak!" tukas Roy saat kami keluar dari laboratorium.Aku melirik sebal. "Bagaimana mungkin aku tidak buruk sangka kalau Dimas melihat bahwa orang tuanya terbunuh setelah meminum jus jeruk?" tanyaku sengit. "Kata Mbak, Dimas kan masih kelas tiga SD saat melihat tulisan yang menempel di botol dan jatuh di dapur? Bisa saja kan dia salah baca?" tanya Roy.Aku menghela nafas. Benar juga. Kenapa aku selalu terburu-buru sih dalam menyimpulkan sesuatu."Eh tapi, mamanya Dimas juga meninggal dengan ciri-ciri seperti papanya, yaitu sakit jantung. Gak ada salahnya kan waspada?""Lah itu kan Dimas cuma bertanya di sekitar orang yang melayat. Yang tahu sendiri saat itu pasti Dion Alexander yang ada di TKP. Bisa saja meninggalnya karena sakit jantung beneran. Informasi dari anak kecil dan penjelasan yang didapat h
Romi pun menyalami Om Andri dan memandangku lama. "Give me big hug, please?!" tanyanya lirih. Aku menelan ludah. Antara ingin memeluknya atau tidak. Aku memandang pada semua yang ada di ruang kantor om Andri sejenak dan menjawab, "Baik-baik di sana ya Rom."Aku menepuk-nepuk bahu kanannya. Romi tampak kecewa. "Baiklah, kalau begitu aku pamit," ucapnya menyelipkan sebuah surat dalam genggaman tanganku lalu bersama pak Jamal keluar dari kantor Om Andri. Aneh. Ada berbagai rasa yang berkecamuk di hati. Ada rasa bahagia, dan juga penasaran. Rasa ingin bertemu lagi. Rasa kecewa dan rasa takut. Ah, entahlah. Yang penting Romi bebas dulu baru kemudian masalah tanah rumah sakit ini bisa diselesaikan, lalu masalah warisan biar diselesaikan antara Dimas dan Romi berdua.Aku keluar dari ruangan om Andri dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan keran lalu membuka surat dari Romi perlahan dengan dada berdebar. [Untuk Yulia.][Terimakasih kamu telah membantuku keluar dari rumah sakit in
"Sekarang Roy!" Aku dan Roy melompati jendela dan merengsek maju mendekati Riana. Aku pun mencengkeram tangan Riana. Sementara Roy langsung mencengkeram bahu si Gundul."Sedikit saja kalian sentuh Papa saya, kalian dan perempuan ini akan habis di sini!!!" Seru Roy dengan suara keras.Sejenak Riana dan kedua bodyguard nya memandang kami bergantian. "Jadi ini rencana kalian?" tanya Riana dengan tersenyum mengejek. Aku membalas senyumannya. "Bukan urusan kamu.""Lepas! Gak usah megang-megang tanganku! Akan kubuat kalian menyesal karena telah membantu Romi!" Riana memberontak dan berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman tanganku."Suruh anak buah kamu menjauhkan tangannya dari Om Andri dulu. Baru kamu akan kulepaskan!"Riana memberi tanda pada kedua bodyguard dengan gerakan kepala, dan kedua anak buahnya menjauh dari Om Andri. Roy dan akupun melepaskan cengkeraman kami. "Kalian jangan merasa menang dahulu karena telah berhasil mengeluarkan Romi dari rumah sakit ini.
Karena di gazebo halaman depan rumah ini yang penuh dengan aneka bunga mawar merah kesukaanku, aku melihat Romi sedang tersenyum teramat manis padaku!Astaga! Itu manusia apa takjil untuk berbuka puasa sih? Sangat manis dan menyegarkan.Aku masuk ke dalam halaman rumah Romi. Beberapa bodyguardnya menganggukkan kepala penuh hormat pada Romi lalu keluar dari pagar tinggi dan menutupnya, meninggalkanku berdua bersama Romi. "Hai Sus, apa kabar? Atau mulai sekarang ku panggil Mbak Yulia?" tanya pemuda yang mengenakan kaus semi sweater lengan pendek warna merah hati tanpa kerah itu seraya tersenyum padaku.Aduh, yakin!Sekarang aku benar-benar terpesona padanya. Karena penampilan Romi yang gentle sebagai manusia di luar rumah sakit jiwa, benar-benar mendebarkan hati. Aku memandangi lensa matanya yang berwarna biru kehijauan. Indah sekali. "Kok berdiri terus, Mbak Yul. Duduk sini saja. Dekat dengan aku. Aku enggak nggigit kok. Dulu waktu masih jadi pasien kamu, kamu kan mau bermain bersam
Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu tersangkut di gigi saat aku meminum jus jeruk pemberian Romi. Dan saat aku mengeluarkannya dari mulut, aku terkejut. Sebuah cincin emas bermata ruby!Mataku membulat dan mulutku melongo. "Romi? Cincin ini untukku?" tanyaku tak percaya.Romi mengangguk. "Mbak masih menyimpan cincin dari bunga widelia kuning saat kuberikan di rumah sakit dulu kan?" tanyanya memandangi sepuluh jariku yang tampak polos karena tak ada satupun cincin terpasang disana. Aku memang sengaja tidak memakai perhiasan sedikit pun, karena menyulitkan jika akan melakukan tindakan terhadap pasien di rumah sakit jiwa."Sudah layu dong, Rom," jawabku singkat. Romi menghela nafas. "Tapi kemarin ukurannya pas nggak?" tanya Romi."Pas kok.""Kalau begitu, sekarang pakai dong cincin yang ada di tangan Mbak."Aku memandang Romi yang tersenyum simpul. "Sebentar, ini dalam rangka apa ya kamu kok memberikan aku cincin? Aku nggak lagi ulang tahun lo?!" tanyaku sambil memainkan cincin yang
Aku menerima dengan hati berdebar. Dan saat kubuka perlahan, jantungku seakan berhenti berdetak. Cincin emas bermata biru safir! Bagaimana mungkin sehari ini aku mendapat dua cincin dari dua lelaki?! "Roy, ini ...,""Itu cincin, untuk Mbak Yulia."Jawaban Roy berhasil membuatku terhenyak. Seketika aku langsung beringsut dan duduk dengan menjaga jarak dengannya. " Apa maksudmu Roy?"Roy memandangku lekat dan tiba-tiba dia bangkit lalu berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku."Mbak Yulia, sudah lama aku jatuh cinta padamu. Papa mama juga sudah tahu tentang perasaanku. Karena itu, mereka langsung setuju saat Mbak Yulia mengatakan ingin mencari pengalaman di rumah sakit Papa. Karena Papa ingin aku menjadi dekat dengan mbak Yulia."Aku tercekat. "Ini bukan prank kan?""Tentu saja bukan. Apa Mbak tidak percaya kejujuran atas perasaanku? Aku ingin sebelum aku kembali ke mako dan dines lagi, aku bisa menyatakan perasaanku."Aku menelan ludah dan memandang wajah Roy yang sedang seriu