"Sekarang Roy!" Aku dan Roy melompati jendela dan merengsek maju mendekati Riana. Aku pun mencengkeram tangan Riana. Sementara Roy langsung mencengkeram bahu si Gundul."Sedikit saja kalian sentuh Papa saya, kalian dan perempuan ini akan habis di sini!!!" Seru Roy dengan suara keras.Sejenak Riana dan kedua bodyguard nya memandang kami bergantian. "Jadi ini rencana kalian?" tanya Riana dengan tersenyum mengejek. Aku membalas senyumannya. "Bukan urusan kamu.""Lepas! Gak usah megang-megang tanganku! Akan kubuat kalian menyesal karena telah membantu Romi!" Riana memberontak dan berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman tanganku."Suruh anak buah kamu menjauhkan tangannya dari Om Andri dulu. Baru kamu akan kulepaskan!"Riana memberi tanda pada kedua bodyguard dengan gerakan kepala, dan kedua anak buahnya menjauh dari Om Andri. Roy dan akupun melepaskan cengkeraman kami. "Kalian jangan merasa menang dahulu karena telah berhasil mengeluarkan Romi dari rumah sakit ini.
Karena di gazebo halaman depan rumah ini yang penuh dengan aneka bunga mawar merah kesukaanku, aku melihat Romi sedang tersenyum teramat manis padaku!Astaga! Itu manusia apa takjil untuk berbuka puasa sih? Sangat manis dan menyegarkan.Aku masuk ke dalam halaman rumah Romi. Beberapa bodyguardnya menganggukkan kepala penuh hormat pada Romi lalu keluar dari pagar tinggi dan menutupnya, meninggalkanku berdua bersama Romi. "Hai Sus, apa kabar? Atau mulai sekarang ku panggil Mbak Yulia?" tanya pemuda yang mengenakan kaus semi sweater lengan pendek warna merah hati tanpa kerah itu seraya tersenyum padaku.Aduh, yakin!Sekarang aku benar-benar terpesona padanya. Karena penampilan Romi yang gentle sebagai manusia di luar rumah sakit jiwa, benar-benar mendebarkan hati. Aku memandangi lensa matanya yang berwarna biru kehijauan. Indah sekali. "Kok berdiri terus, Mbak Yul. Duduk sini saja. Dekat dengan aku. Aku enggak nggigit kok. Dulu waktu masih jadi pasien kamu, kamu kan mau bermain bersam
Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu tersangkut di gigi saat aku meminum jus jeruk pemberian Romi. Dan saat aku mengeluarkannya dari mulut, aku terkejut. Sebuah cincin emas bermata ruby!Mataku membulat dan mulutku melongo. "Romi? Cincin ini untukku?" tanyaku tak percaya.Romi mengangguk. "Mbak masih menyimpan cincin dari bunga widelia kuning saat kuberikan di rumah sakit dulu kan?" tanyanya memandangi sepuluh jariku yang tampak polos karena tak ada satupun cincin terpasang disana. Aku memang sengaja tidak memakai perhiasan sedikit pun, karena menyulitkan jika akan melakukan tindakan terhadap pasien di rumah sakit jiwa."Sudah layu dong, Rom," jawabku singkat. Romi menghela nafas. "Tapi kemarin ukurannya pas nggak?" tanya Romi."Pas kok.""Kalau begitu, sekarang pakai dong cincin yang ada di tangan Mbak."Aku memandang Romi yang tersenyum simpul. "Sebentar, ini dalam rangka apa ya kamu kok memberikan aku cincin? Aku nggak lagi ulang tahun lo?!" tanyaku sambil memainkan cincin yang
Aku menerima dengan hati berdebar. Dan saat kubuka perlahan, jantungku seakan berhenti berdetak. Cincin emas bermata biru safir! Bagaimana mungkin sehari ini aku mendapat dua cincin dari dua lelaki?! "Roy, ini ...,""Itu cincin, untuk Mbak Yulia."Jawaban Roy berhasil membuatku terhenyak. Seketika aku langsung beringsut dan duduk dengan menjaga jarak dengannya. " Apa maksudmu Roy?"Roy memandangku lekat dan tiba-tiba dia bangkit lalu berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku."Mbak Yulia, sudah lama aku jatuh cinta padamu. Papa mama juga sudah tahu tentang perasaanku. Karena itu, mereka langsung setuju saat Mbak Yulia mengatakan ingin mencari pengalaman di rumah sakit Papa. Karena Papa ingin aku menjadi dekat dengan mbak Yulia."Aku tercekat. "Ini bukan prank kan?""Tentu saja bukan. Apa Mbak tidak percaya kejujuran atas perasaanku? Aku ingin sebelum aku kembali ke mako dan dines lagi, aku bisa menyatakan perasaanku."Aku menelan ludah dan memandang wajah Roy yang sedang seriu
Aku mendekat ke arah kerumunan orang tersebut dan terkejut setelah melihat dari dekat orang yang terkapar di tengah-tengah mall itu adalah ibunya Riana. "Sendi, kamu kenapa?" tanya Anita mendekat. Sendi memandang Anita. "Nita, tolong Mamaku!" Serunya sambil mengguncangkan badan Mamanya. Pandangan Sendi yang penuh harap pada Anita mendadak mendelik dan terkejut saat melihatku yang ada di belakang Anita."Kamu? Siapanya Mbak Yulia?" tanya Sendi terbata. Aku maju lalu segera berlutut mendekati mama Sendi. Kuperiksa denyut nadinya di leher, tangan, dan nafas dari hidungnya. "Saya sepupu Anita. Sudah, jangan memikirkan hal itu dulu. Sekarang kita tangani mamamu. Nafas dan denyut nadi normal. Semoga saja pingsannya bukan karena stroke, tapi karena hal lain."Sendi bengong menatapku. "Kamu nunggu apa!? Ayo angkat Mama kamu ke dalam mobilmu. Tolong dibantu Mas!" Aku memanggil satpam mall yang baru datang di kerumunan itu untuk membantu Sendi mengangkat tubuh mamanya."Sekarang kamu set
Belum sempat Yulia masuk ke toilet, tiba tiba dia mendengar suara seperti letusan pistol.Dorr!!Yulia terkejut. Sepertinya keinginannya untuk buang air kecil menghilang. Dia mengendap-endap keluar dari lorong kamar mandi kafe dan celingak-celinguk mencoba mencari sumber suara. Akhirnya Yulia melihat sebuah bangunan kecil seperti paviliun yang terpisah oleh sepetak taman mungil.Yulia membatalkan keinginannya pipis dan menyusuri taman kecil tersebut hingga sampai pada bangunan mungil berdinding kayu yang terlihat estetik itu.Di luar bangunan itu terlihat sepi dan tidak ada orang. Tapi naluri Yulia berbisik bahwa di dalam ruangan itulah sumber letusan pistol yang dia dengar.Yulia mendekat ke arah pintu masuk yang terbuat dari kayu tersebut. Berusaha mencuri dengar suara yang ada di dalam ruangan.Yulia mendengus kesal saat tidak bisa mendengar suara apapun. Dia lalu berjalan memutar dan menemukan jendela kaca ukuran sedang.Dia berusaha berjinjit untuk bisa mengintip ke dalam ruang
Saat Yulia sudah turun dari balok kayu tempat dia memanjat untuk mengintip ke dalam ruangan, seekor ular berkepala kotak merayap dari area belakang kafe yang merupakan ladang kosong menuju ke arah Yulia dan menggigit kakinya.Aaarrghhh!!!Yulia menjerit dan ular itu merayap dengan cepat menjauhi korbannya.Yulia jatuh terduduk dan menerima panggilan telepon masuk dari Roy. "Roy, tolong aku. Aku digigit ular! Aku ada dekat toilet perempuan. Kalau dari toilet perempuan, lurus ada taman belakang dan ada paviliunnya!""Astaga! Kok bisa Mbak?!""Ceritanya panjang Roy. Tolong kesini dulu.""Oke, tunggu Mbak. Jangan matikan teleponnya dan share lokasi Mbak sekarang ya.""Heem."Yulia segera mengaktifkan share lokasi. Bertepatan dengan saat itu Romi dan beberapa orang yang ada di dalam paviliun keluar da mendekat ke arah Yulia. "Astaga?! Yulia? Kenapa kamu di sini?! Kamu terluka?" tanya Romi. Yulia hanya meringis. Bingung harus menjawab apa. Di lain pihak, dia bahagia bisa bertemu dengan
[Kalau mau Anita selamat, datang sendiri ke pasar. Di sana kamu akan diarahkan untuk menolong Anita. Jangan coba-coba telepon polisi, atau Anita langsung kami habisi.]Pasar? Pasar yang mana ini? Banyak pasar di daerah sini kan?Yulia tercekat melihat chat whatsapp yang dikirim dari nomor ponsel Anita padanya. Yulia segera berlari keluar dari ruangan perawat tanpa mempedulikan pandangan Dimas dan beberapa teman yang terkejut dengan perilakunya. Yulia segera menuju ke tengah taman dan di samping pohon bunga bougenville, dia menelepon nomor adik sepupunya itu. Nada dering yang didengarnya tak kunjung menjadi suara merdu Anita. Pikiran Yulia semakin bertambah cemas.Setelah tiga kali mencoba menelepon nomor ponsel Anita dan tidak mendapat respon, akhirnya Yulia memutuskan untuk mengiriminya pesan whatsapp. [Nit, jangan bercanda. Ini tidak lucu tahu?! Kemarin kamu tanggal merah sudah Mbak antar jalan-jalan ke mall. Sekarang bukannya kata kamu akan les matematika setelah pulang sekol
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya