[Kalau mau Anita selamat, datang sendiri ke pasar. Di sana kamu akan diarahkan untuk menolong Anita. Jangan coba-coba telepon polisi, atau Anita langsung kami habisi.]Pasar? Pasar yang mana ini? Banyak pasar di daerah sini kan?Yulia tercekat melihat chat whatsapp yang dikirim dari nomor ponsel Anita padanya. Yulia segera berlari keluar dari ruangan perawat tanpa mempedulikan pandangan Dimas dan beberapa teman yang terkejut dengan perilakunya. Yulia segera menuju ke tengah taman dan di samping pohon bunga bougenville, dia menelepon nomor adik sepupunya itu. Nada dering yang didengarnya tak kunjung menjadi suara merdu Anita. Pikiran Yulia semakin bertambah cemas.Setelah tiga kali mencoba menelepon nomor ponsel Anita dan tidak mendapat respon, akhirnya Yulia memutuskan untuk mengiriminya pesan whatsapp. [Nit, jangan bercanda. Ini tidak lucu tahu?! Kemarin kamu tanggal merah sudah Mbak antar jalan-jalan ke mall. Sekarang bukannya kata kamu akan les matematika setelah pulang sekol
Flash back on : "Astaga, aku kesiangan!" Seru Anita saat untuk kesekian kali alarm di ponselnya berbunyi nyaring. Alarm itu memang disetelnya tiap 5 menit sekali. Dan tepat jam 06.00 sekarang matanya telah terbuka sempurna. Anita melompat dari tempat tidurnya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh secepat kilat. Lalu memakai seragam dan berdandan sesingkat mungkin. "Duh, ini gara-gara semalam sibuk dengan proyek game baru," sungutnya sambil memoles lipgloss dan memasukkan buku-buku untuk pelajaran hari ini.'Duh, mana ada tugas matematika yang harus dikumpulkan hari ini,' keluhnya lagi dalam hati.Anita dan teman-temannya memang tengah mengembangkan proyek game baru. Applikasi game yang berkaitan dengan film yang sedang viral. Squ*d game. Sehingga cukup menguras banyak energi dan menyita waktu.Anita berlari keluar kamar dan menyapa kedua orang tuanya yang tengah sarapan di ruang makan. "Sarapan dulu, Sayang!" Tegur mamanya saat Anita berpamitan dengan orang tuanya.
Perempuan itu membuka masker wajahnya perlahan dan betapa terkejutnya Anita saat melihat wajah di balik masker. "Mamanya Sendi?!!" Desis Anita kaget. "Anita, apa kabar?! Apa harus saya panggil calon mantu?" tanya Mama Sendi sambil menjawil dagu Anita."Hmmph ... hmmh ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Anita yang terlakban. Anita menatap kearah mama Sendi dengan kesal lalu melirik ke arah Yulia yang masih pingsan. "Owh Baby. Maaf lupa. Lakbannya dibuka dulu ya biar kamu bisa ngomong," kata mama Sendi sambil melepas lakban Anita. "Aarghhh!" Anita menjerit tertahan saat benda lengket itu terlepas dari mulutnya. Rasa panas langsung menguat di area mulut, bawah hidung, dan dagu akibat lakban yang ditarik paksa. "Tolong! Tolong!"Anita menjerit sejadi-jadinya sambil meronta. Mungkin keberhasilannya minim untuk didengar oleh orang luar atau tetangga sekitar. Tapi setidaknya, Anita berharap Yulia segera sadar dari pingsannya.Mamanya Sendi tertawa terbahak. "Silakan saja kalau kam
Kamu adalah orang yang terakhir kubayangkan sebelum aku tidur dan orang yang pertama kali kuingat saat aku bangun tidur.***Flash back on :"Akhirnya kenyang juga habis makan," Roy mengusap perutnya setelah terisi dengan ayam goreng krispi dan nasi. Dia lalu berjalan ke arah wastafel dan mencuci piringnya sendiri. Roy menghela nafas. Rumah sebesar ini hanya dihuni oleh keluarganya dan satpam di depan rumah. Pikirannya melanglang buana ke beberapa tahun silam saat mamanya membawa asisten rumah tangga untuk membantu membersihkan rumah karena mamanya yang bekerja di rumah sakit sebagai apoteker. Tapi sayangnya, baru tiga bulan bekerja, bi Suti, asisten rumah tangganya menodai kepercayaan keluarga Roy dengan mengambil beberapa perhiasan dari laci kamar mamanya. Saat ditanya, bi Suti mengaku kalau dia terpaksa melakukannya karena anaknya sedang sakit, dan harus opname. Sementara saat itu dia seorang single parent. Roy begitu ingat saat itu, mamanya dengan besar hati mengantarkan bi Su
Flash back on :Romi sedang memeriksa keuangan pemasukan di kafe saat notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Dia segera membuka applikasi whatsappnya dan terkejut saat melihat foto Yulia dan Anita yang terikat. Bahkan Yulia dalam keadaan pingsan. Seketika jantung Romi berdebar lebih cepat.[Kutunggu kehadiranmu di pasar seorang diri dengan membawa setengah dari sertifikat sisa harta Dimas yang masih kamu simpan. Nanti ada yang memandumu untuk ke tempat Yulia disekap. Ingat! Datang sendiri. Kalau kamu menghubungi polisi, kupastikan Yulia dan Anita akan menjadi mayat cantik!]Lalu sebuah lokasi dikirim juga ke ponsel Romi.Astaga!!!Romi mengepalkan tangannya. Kurang ajar! Mereka telah menggunakan orang yang dia cintai untuk mengalahkannya. Benar-benar pengecut.Romi segera menelepon nomor Hp yang telah mengirimkan foto Yulia dan Anita. Pada dering ketiga, terdengar suara bariton laki-laki. "Halo, Romi!""Hei, bebaskan Yulia dan adiknya!" Seru Romi tanpa basa basi."Hahahaha. Tenang
"Siapa yang tidak kenal dengan biang kerusuhan tahun yang lalu? Pelaku kerusuhan antar geng dan pemalakan di pasar tanah Abeng ibu kota? Akulah yang menggores pipinya!""Hahaha. Saya juga tidak akan pernah melupakan codet yang kamu berikan di pipi saya dengan semena-mena. Tidak menyangka kita akan bertemu di sini.""Hm, sudah jangan banyak omong. Mana Yulia dan Anita?!" tanya Roy dengan wajah menahan marah. "Wowowo. Sabar dong. Dari dulu kamu nggak pernah sabar ya. Termasuk saat menangani preman dan kerusuhan sampai membuat wajah saya yang tampan menjadi seperti ini. Dan sampai kapanpun saya tidak akan melupakan perbuatanmu!""Ehm. Sudah dulu nostalgianya. Bagaimana kalau sekarang saja kita bertukar sandera," kata Romi sambil meletakkan koper yang dibawanya ke atas meja kaca di hadapannya.Mang Codet membuka koper yang ada di hadapannya. "Riana, periksa ini!" Riana yang berdiri di belakang kursi ayahnya beranjak duduk di samping sang ayah lalu memeriksa satu persatu berkas yang ada
POV penulis"Bangunlah Sayang. Aku rindu padamu." Air mata Romi menetes membasahi tangan Yulia, dan tak lama kemudian, jemari Yulia yang digenggamnya bergerak perlahan. Dan disusul mata Yulia yang terbuka."Yulia!" Tanpa sadar Romi memeluk erat tubuh Yulia yang sedang terbaring di atas ranjang pasien."Rom, aku kira, aku akan mati.""Ssst, jangan bicara seperti itu Sayang. Kamu akan panjang umur dan kita akan membesarkan anak-anak kita bersama." Saking bahagianya Romi sampai mengatakan hal yang ada di hatinya.Yulia tersenyum. "Apaan sih kamu, Rom?"Romi membuka tangan Yulia dan meletakkan telapak tangan gadis yang dicintainya itu ke pipinya. "Itu sebuah ucapan dan doa dariku Sayang."Yulia menarik nafas panjang. Jantungnya mendadak berdebar kencang karena tangannya yang memegang pipi halus Romi. "Will you marry, me?" tanya Romi sekali lagi. Sebenarnya dia takut sekali ditolak oleh Yulia seperti yang pernah Yulia katakan saat mereka di gazebo dulu."Rom. Apa harus kujawab sekaran
*Kamu tahu nggak perbedaan antara kamu sama angkot? *Kalau angkot, ongkosnya ditentukan jauh dekat jarak yang ditempuh. Kalau kamu jauh dekat tetap ada di hati aku. *** "Halo, Mas Romi bisa ke rumah saya sekarang? Ini ada dua orang polisi yang sedang mencarimu dengan surat penangkapan kepemilikan senjata api ilegal." Romi menghela nafas. Baiklah, memang cepat atau lambat dia memang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya karena memiliki senjata api secara ilegal. "Halo Pak Jamal. Tentu saya akan ke rumah pak Jamal sekarang. Atau tunjukkan alamat rumah persembunyian saya pada polisi itu agar langsung menuju ke rumah saya." "Baiklah Mas Romi." Sambungan telepon pun diputus setelah pak Jamal mengucap salam. Romi pun segera memacu mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit. Saat di tengah jalan, ponselnya berbunyi nyaring. Romi melihat nomor yang tertera pada layar ponselnya. "Dari nomor tak dikenal?" gumamnya lirih. Tapi tak urung juga Romi menekan layar hijau dan mend