Perempuan itu membuka masker wajahnya perlahan dan betapa terkejutnya Anita saat melihat wajah di balik masker. "Mamanya Sendi?!!" Desis Anita kaget. "Anita, apa kabar?! Apa harus saya panggil calon mantu?" tanya Mama Sendi sambil menjawil dagu Anita."Hmmph ... hmmh ...." Hanya itu yang keluar dari mulut Anita yang terlakban. Anita menatap kearah mama Sendi dengan kesal lalu melirik ke arah Yulia yang masih pingsan. "Owh Baby. Maaf lupa. Lakbannya dibuka dulu ya biar kamu bisa ngomong," kata mama Sendi sambil melepas lakban Anita. "Aarghhh!" Anita menjerit tertahan saat benda lengket itu terlepas dari mulutnya. Rasa panas langsung menguat di area mulut, bawah hidung, dan dagu akibat lakban yang ditarik paksa. "Tolong! Tolong!"Anita menjerit sejadi-jadinya sambil meronta. Mungkin keberhasilannya minim untuk didengar oleh orang luar atau tetangga sekitar. Tapi setidaknya, Anita berharap Yulia segera sadar dari pingsannya.Mamanya Sendi tertawa terbahak. "Silakan saja kalau kam
Kamu adalah orang yang terakhir kubayangkan sebelum aku tidur dan orang yang pertama kali kuingat saat aku bangun tidur.***Flash back on :"Akhirnya kenyang juga habis makan," Roy mengusap perutnya setelah terisi dengan ayam goreng krispi dan nasi. Dia lalu berjalan ke arah wastafel dan mencuci piringnya sendiri. Roy menghela nafas. Rumah sebesar ini hanya dihuni oleh keluarganya dan satpam di depan rumah. Pikirannya melanglang buana ke beberapa tahun silam saat mamanya membawa asisten rumah tangga untuk membantu membersihkan rumah karena mamanya yang bekerja di rumah sakit sebagai apoteker. Tapi sayangnya, baru tiga bulan bekerja, bi Suti, asisten rumah tangganya menodai kepercayaan keluarga Roy dengan mengambil beberapa perhiasan dari laci kamar mamanya. Saat ditanya, bi Suti mengaku kalau dia terpaksa melakukannya karena anaknya sedang sakit, dan harus opname. Sementara saat itu dia seorang single parent. Roy begitu ingat saat itu, mamanya dengan besar hati mengantarkan bi Su
Flash back on :Romi sedang memeriksa keuangan pemasukan di kafe saat notifikasi pesan di ponselnya berbunyi. Dia segera membuka applikasi whatsappnya dan terkejut saat melihat foto Yulia dan Anita yang terikat. Bahkan Yulia dalam keadaan pingsan. Seketika jantung Romi berdebar lebih cepat.[Kutunggu kehadiranmu di pasar seorang diri dengan membawa setengah dari sertifikat sisa harta Dimas yang masih kamu simpan. Nanti ada yang memandumu untuk ke tempat Yulia disekap. Ingat! Datang sendiri. Kalau kamu menghubungi polisi, kupastikan Yulia dan Anita akan menjadi mayat cantik!]Lalu sebuah lokasi dikirim juga ke ponsel Romi.Astaga!!!Romi mengepalkan tangannya. Kurang ajar! Mereka telah menggunakan orang yang dia cintai untuk mengalahkannya. Benar-benar pengecut.Romi segera menelepon nomor Hp yang telah mengirimkan foto Yulia dan Anita. Pada dering ketiga, terdengar suara bariton laki-laki. "Halo, Romi!""Hei, bebaskan Yulia dan adiknya!" Seru Romi tanpa basa basi."Hahahaha. Tenang
"Siapa yang tidak kenal dengan biang kerusuhan tahun yang lalu? Pelaku kerusuhan antar geng dan pemalakan di pasar tanah Abeng ibu kota? Akulah yang menggores pipinya!""Hahaha. Saya juga tidak akan pernah melupakan codet yang kamu berikan di pipi saya dengan semena-mena. Tidak menyangka kita akan bertemu di sini.""Hm, sudah jangan banyak omong. Mana Yulia dan Anita?!" tanya Roy dengan wajah menahan marah. "Wowowo. Sabar dong. Dari dulu kamu nggak pernah sabar ya. Termasuk saat menangani preman dan kerusuhan sampai membuat wajah saya yang tampan menjadi seperti ini. Dan sampai kapanpun saya tidak akan melupakan perbuatanmu!""Ehm. Sudah dulu nostalgianya. Bagaimana kalau sekarang saja kita bertukar sandera," kata Romi sambil meletakkan koper yang dibawanya ke atas meja kaca di hadapannya.Mang Codet membuka koper yang ada di hadapannya. "Riana, periksa ini!" Riana yang berdiri di belakang kursi ayahnya beranjak duduk di samping sang ayah lalu memeriksa satu persatu berkas yang ada
POV penulis"Bangunlah Sayang. Aku rindu padamu." Air mata Romi menetes membasahi tangan Yulia, dan tak lama kemudian, jemari Yulia yang digenggamnya bergerak perlahan. Dan disusul mata Yulia yang terbuka."Yulia!" Tanpa sadar Romi memeluk erat tubuh Yulia yang sedang terbaring di atas ranjang pasien."Rom, aku kira, aku akan mati.""Ssst, jangan bicara seperti itu Sayang. Kamu akan panjang umur dan kita akan membesarkan anak-anak kita bersama." Saking bahagianya Romi sampai mengatakan hal yang ada di hatinya.Yulia tersenyum. "Apaan sih kamu, Rom?"Romi membuka tangan Yulia dan meletakkan telapak tangan gadis yang dicintainya itu ke pipinya. "Itu sebuah ucapan dan doa dariku Sayang."Yulia menarik nafas panjang. Jantungnya mendadak berdebar kencang karena tangannya yang memegang pipi halus Romi. "Will you marry, me?" tanya Romi sekali lagi. Sebenarnya dia takut sekali ditolak oleh Yulia seperti yang pernah Yulia katakan saat mereka di gazebo dulu."Rom. Apa harus kujawab sekaran
*Kamu tahu nggak perbedaan antara kamu sama angkot? *Kalau angkot, ongkosnya ditentukan jauh dekat jarak yang ditempuh. Kalau kamu jauh dekat tetap ada di hati aku. *** "Halo, Mas Romi bisa ke rumah saya sekarang? Ini ada dua orang polisi yang sedang mencarimu dengan surat penangkapan kepemilikan senjata api ilegal." Romi menghela nafas. Baiklah, memang cepat atau lambat dia memang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya karena memiliki senjata api secara ilegal. "Halo Pak Jamal. Tentu saya akan ke rumah pak Jamal sekarang. Atau tunjukkan alamat rumah persembunyian saya pada polisi itu agar langsung menuju ke rumah saya." "Baiklah Mas Romi." Sambungan telepon pun diputus setelah pak Jamal mengucap salam. Romi pun segera memacu mobilnya keluar dari pelataran rumah sakit. Saat di tengah jalan, ponselnya berbunyi nyaring. Romi melihat nomor yang tertera pada layar ponselnya. "Dari nomor tak dikenal?" gumamnya lirih. Tapi tak urung juga Romi menekan layar hijau dan mend
*Apa bedanya kamu dan Hpku?*Kalau Hpku bisa menghubungkan antara aku dengan teman-teman dan keluargaku. Sementara kamu bisa menghubungkan antara aku dan anak-anak kita nanti. ***Kecelakaan lalu lintas yang terjadi langsung menyita perhatian pengguna jalan. Beberapa pengguna jalan berhenti. Beberapa dari mereka menelepon polisi. Ada pula yang menelepon ambulance. Romi yang sudah melaju terlebih dahulu terkejut dengan kecelakaan yang menimpa para pengejarnya. Dia tidak tahu rasa yang bermain dalam hatinya. Haruskah dia bahagia bahwa para pengejarnya tidak bisa lagi mengejarnya dan mencelakainya? Ataukan Romi harus ikut berduka dengan kecelakaan yang dialami para pengejarnya itu?Romi mendesah pelan. Sejenak bingung dengan apa yang harus diperbuatnya. Tapi Romi tetap melajukan mobilnya di jalan raya. Sebelum sempat memutuskan, ponsel di sakunya berdering. Romi segera menekan layar hijau di ponselnya, setelah tahu bahwa yang menelponnya adalah salah satu dari anak buahnya."Halo,
Tahu nggak apa obatnya malarindu tropikangen?Tuh! Bodrex sun!**Sendi berpikir keras bagaimana caranya dia kabur dan memberitahu orang tuanya. Namun terlambat, kedua polisi itu sudah memborgol kedua tangan Sendi. Klik!Sendi ingin berteriak memperingatkan kedua orangtuanya tapi dia khawatir orang-orang justru akan menggebukinya kalau tahu dia adalah DPO dan begitu banyak aturan hukum yang dia langgar.Huft, Sendi tak punya banyak pilihan selain mengikuti polisi untuk masuk ke dalam mobil dengan tenang.Sendi pun dengan pasrah mengikuti perintah polisi. Tiga orang polisi dengan dipimpin oleh Ragil mengendap-endap ke rumah Mat Codet. Ragil mengetuk pintu. "Rumah ini sudah dikepung. Ikut kami dengan tenang. Buka pintu ini sekarang, atau kami dobrak!"Mat Codet kelimpungan dan dia mengarahkan telunjuknya ke arah hidung dan mulut. Memberi isyarat pada sang istri untuk tidak berisik. Dewi mengangguk dan Mat Codet menyelipkan pisau lipat ke saku celananya dan pistol ke pinggangnya la
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya