*Apa bedanya kamu dan Hpku?*Kalau Hpku bisa menghubungkan antara aku dengan teman-teman dan keluargaku. Sementara kamu bisa menghubungkan antara aku dan anak-anak kita nanti. ***Kecelakaan lalu lintas yang terjadi langsung menyita perhatian pengguna jalan. Beberapa pengguna jalan berhenti. Beberapa dari mereka menelepon polisi. Ada pula yang menelepon ambulance. Romi yang sudah melaju terlebih dahulu terkejut dengan kecelakaan yang menimpa para pengejarnya. Dia tidak tahu rasa yang bermain dalam hatinya. Haruskah dia bahagia bahwa para pengejarnya tidak bisa lagi mengejarnya dan mencelakainya? Ataukan Romi harus ikut berduka dengan kecelakaan yang dialami para pengejarnya itu?Romi mendesah pelan. Sejenak bingung dengan apa yang harus diperbuatnya. Tapi Romi tetap melajukan mobilnya di jalan raya. Sebelum sempat memutuskan, ponsel di sakunya berdering. Romi segera menekan layar hijau di ponselnya, setelah tahu bahwa yang menelponnya adalah salah satu dari anak buahnya."Halo,
Tahu nggak apa obatnya malarindu tropikangen?Tuh! Bodrex sun!**Sendi berpikir keras bagaimana caranya dia kabur dan memberitahu orang tuanya. Namun terlambat, kedua polisi itu sudah memborgol kedua tangan Sendi. Klik!Sendi ingin berteriak memperingatkan kedua orangtuanya tapi dia khawatir orang-orang justru akan menggebukinya kalau tahu dia adalah DPO dan begitu banyak aturan hukum yang dia langgar.Huft, Sendi tak punya banyak pilihan selain mengikuti polisi untuk masuk ke dalam mobil dengan tenang.Sendi pun dengan pasrah mengikuti perintah polisi. Tiga orang polisi dengan dipimpin oleh Ragil mengendap-endap ke rumah Mat Codet. Ragil mengetuk pintu. "Rumah ini sudah dikepung. Ikut kami dengan tenang. Buka pintu ini sekarang, atau kami dobrak!"Mat Codet kelimpungan dan dia mengarahkan telunjuknya ke arah hidung dan mulut. Memberi isyarat pada sang istri untuk tidak berisik. Dewi mengangguk dan Mat Codet menyelipkan pisau lipat ke saku celananya dan pistol ke pinggangnya la
*Mandi apa yang tidak basah?*Mandi-rikan rumah tangga denganmu. ***Yulia gelisah saat hendak pulang dari rumah sakit. Berkali-kali dia menghela nafas panjang."Kenapa Mbak? Lukanya masih sakit? Kalau masih sakit, lebih baik nggak keluar dari rumah sakit dulu? Tapi aku besok nggak bisa menemani Mbak, karena mau pulang ke Mako."Yulia memandang ke arah Roy. "Mbak sudah nggak sakit, Roy. Mbak cuma bingung mikirin Romi yang tiba-tiba ilang. Nggak bisa dihubungi. Sudah dua hari ini. Aku takut sesuatu terjadi pada Romi."Roy menghela nafas. Rasa di hatinya masih cenat cenut mengingat bukan dia yang dipilih oleh Yulia."Mbak, tenang dulu. Aku mau bilang sesuatu."Roy memegang punggung tangan Yulia. "Ada apa Roy? Kamu tahu sesuatu tentang Romi?" tanya Yulia harap-harap cemas. Roy mengangguk."Dia ada di tahanan sekarang."Mata Yulia membulat. "Sudah ditahan? Pasti dengan tuduhan kepemilikan senjata api ilegal ya?"Roy mengangguk. "Aku harus menjenguknya, Roy. Aku ingin menghibur Romi.""
Pov penulis🥰 Apa bedanya kamu sama handuk?🥰 Kalau handuk bisa mengeringkan badan setelah mandi, kalau kamu bisa mengeringkan air mataku setelah patah hati. Uhuk!***"Sayang sekali tidak bisa. Kasusmu sudah cukup banyak, jangan diperparah dengan gelut sesama tahanan. Mau hukuman kamu ditambah?" tanya polisi itu memandang Sendi. Sendi mengerut. Lalu tangannya melepaskan kerah baju Dimas. Begitupun dengan Dimas. Polisi itu berlalu pergi setelah mengingatkan Dimas dan Sendi agar tidak membuat keributan lagi. ***Pagi ini Roy sudah bersiap-siap memasukkan semua baju ke dalam tas ranselnya. "Roy," panggil Yulia dari luar pintu. "Ya Mbak?" tanya Roy sambil memandang wajah Yulia. "Kamu kapan pulang lagi?" tanya Yulia. "Kenapa Mbak? Takut kesepian atau nggak ada yang nyupirin lagi?" tanya Roy seraya tertawa. Yulia manyun. "Cuma nanya saja. Eh, Anita sudah nunggu di meja makan tuh."Roy mengangguk dan segera mengangkat tas ranselnya menuju ruang makan. Mereka makan dalam diam. Pe
"Yulia, awalnya Tante senang kamu kesini karena Tante harap cinta Roy bisa terbalaskan. Tapi nyatanya tidak. Kamu justru membuat masalah besar bahkan kamu menyebabkan Anita sekarang dalam keadaan trauma. Jadi Yulia, Tante jujur saja sekarang, kalau kamu tidak bisa menerima perasaan Roy, bukankah lebih baik kamu pergi dari sini dan pulang kembali ke Jawa?"Yulia terperangah mendengar perkataan dari tantenya. Apa Tante Ambar sekarang mencoba mengusirnya? Yulia menelan ludah dengan susah payah. Apa kata orang tuanya jika mereka tahu bahwa putrinya mencintai mantan pasien dari rumah sakit jiwa, membahayakan nyawa adik sepupunya dan diusir dari rumah Om Andri?"Ta-tapi Tante ...,""Sorry to say Yulia, tapi kamu bisa membawa pengaruh buruk pada Anita dan Roy."Baru saja Yulia hendak membuka mulut untuk menyatakan keberatan, sebuah suara bariton terdengar. "Kamu mencoba mengusir anak dari Mbakku yang suaminya telah membantu membiayai kuliah kedokteranku?"Tante Ambar dan Yulia menoleh bersam
POV penulis"Sekarang saja. Bunda hanya perlu konfirmasi padamu tentang berita yang baru saja sampai di telinga Bunda. Bunda dengar kamu mencintai mantan pasien yang ODGJ dan menolak Roy? Apa benar seperti itu? Apalagi ternyata sekarang mantan pasien kamu itu sedang dipenjara ya? Duh, Bunda tidak setuju ya kalau calon mantu Bunda yang terakhir seperti itu!"Yulia menelan ludah dengan susah payah. "Bunda kata siapa?" tanya Yulia lirih. "Nggak penting Bunda tahu dari siapa. Yang penting sekarang kamu jawab, iya atau tidak?!""Bunda, Yulia ...,""Bunda nggak ikhlas kalau anak bungsu Bunda punya suami mantan napi dan ODGJ lagi.""Bunda, Romi sebenarnya bukan ODGJ dan ada alasan kenapa dia ada di dalam tahanan sekarang.""Apa? Jadi bener kamu cinta sama mantan pasien kamu? Kamu disekolahkan tinggi-tinggi biar jadi orang sukses, Yul. Terus dapat suami yang jelas bibit, bebet, bobotnya. Lah, ini? Apa yang kamu lakukan di sana? Kalau mau pacaran sama ODGJ dan napi, nggak usah ke luar jawa. D
POV penulis* Apa perbedaan kamu dan ayam goreng?* Kalau ayam goreng makan siang. Kalau kamu makin sayang.***"Oke. Kamu jenguk Bunda sekarang. Bunda masih sesak dan nyeri dada di ruang rawat inap. Akan Ayah beritahu di rumah sakit dan di kamar mana Bunda dirawat. Tapi dengan satu syarat, blokir semua akses yang bisa menghubungkan kamu dengan Romi atau siapalah itu namanya. Termasuk membuang cincin yang sekarang ada di jarimu. Apa kamu setuju?!" Yulia terkejut. "Kenapa diam? Jadi menurut kamu kondisi bunda sekarang tidak penting? Justru menurut kamu lebih penting laki-laki itu?!"Yulia menghela nafas. Sejenak berpikir, tahu darimana kakak dan ayahnya tentang cincin pemberian Romi.Ayah Yulia melirik ke arah tangan anaknya. "Di jarimu ada dua cincin. Merah dari laki-laki itu dan biru dari Roy. Jadi, serahkan cincin yang bermata merah itu pada Ayah sekarang, baru kamu bisa menjenguk Bunda.""Pasti Anita yang telah menceritakan hal ini pada Tante Ambar dan Tante Ambar ngadu ke Ayah d
Jangan pernah bertanya seberapa besar cintaku padamu. Karena cukup hanya Allah yang tahu seberapa sering namamu kusebut dalam doaku.***Flash back On : Romi memegang jeruji besi penjara dengan resah. Bagaimana dia tidak bingung, sudah sebulan tidak ada kabar dari Yulia. Padahal biasanya seminggu sekali Yulia menjenguknya dalam penjara.Masih teringat jelas bagaimana terakhir pertemuan mereka yang manis dan romantis. "Sayang, boleh dong minta fotonya."Yulia mengerutkan dahi saat mendengar permintaan Romi. "Foto? Buat apa?" tanya Yulia bingung. "Buat aku tunjukin ke teman-temanku di tahanan kalau bidadari itu ada."Dan Romi sangat bahagia jika Yulia tersipu dengan pipi yang merona. Romi tersenyum saat mengingat kenangan terakhir dengan Yulia. "Kenapa kamu senyum-senyum sendiri? Harusnya kamu sedih dong. Yulia sepertinya jarang nengokin kamu." Tahu-tahu Dimas sudah berada di belakang Romi dan menepuk pundaknya. Romi mengangkat sebelah alis. "Bukan urusanmu."Dimas tertawa mengej
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya