Tidak ditemukan arsenik dalam sampel makanan dan minuman, alias makanan dan minuman tidak mengandung racun.Aku dan Roy berpandangan sambil tertawa bersama. "Kamu terlalu buruk sangka, Mbak!" tukas Roy saat kami keluar dari laboratorium.Aku melirik sebal. "Bagaimana mungkin aku tidak buruk sangka kalau Dimas melihat bahwa orang tuanya terbunuh setelah meminum jus jeruk?" tanyaku sengit. "Kata Mbak, Dimas kan masih kelas tiga SD saat melihat tulisan yang menempel di botol dan jatuh di dapur? Bisa saja kan dia salah baca?" tanya Roy.Aku menghela nafas. Benar juga. Kenapa aku selalu terburu-buru sih dalam menyimpulkan sesuatu."Eh tapi, mamanya Dimas juga meninggal dengan ciri-ciri seperti papanya, yaitu sakit jantung. Gak ada salahnya kan waspada?""Lah itu kan Dimas cuma bertanya di sekitar orang yang melayat. Yang tahu sendiri saat itu pasti Dion Alexander yang ada di TKP. Bisa saja meninggalnya karena sakit jantung beneran. Informasi dari anak kecil dan penjelasan yang didapat h
Romi pun menyalami Om Andri dan memandangku lama. "Give me big hug, please?!" tanyanya lirih. Aku menelan ludah. Antara ingin memeluknya atau tidak. Aku memandang pada semua yang ada di ruang kantor om Andri sejenak dan menjawab, "Baik-baik di sana ya Rom."Aku menepuk-nepuk bahu kanannya. Romi tampak kecewa. "Baiklah, kalau begitu aku pamit," ucapnya menyelipkan sebuah surat dalam genggaman tanganku lalu bersama pak Jamal keluar dari kantor Om Andri. Aneh. Ada berbagai rasa yang berkecamuk di hati. Ada rasa bahagia, dan juga penasaran. Rasa ingin bertemu lagi. Rasa kecewa dan rasa takut. Ah, entahlah. Yang penting Romi bebas dulu baru kemudian masalah tanah rumah sakit ini bisa diselesaikan, lalu masalah warisan biar diselesaikan antara Dimas dan Romi berdua.Aku keluar dari ruangan om Andri dan segera masuk ke dalam kamar mandi. Menyalakan keran lalu membuka surat dari Romi perlahan dengan dada berdebar. [Untuk Yulia.][Terimakasih kamu telah membantuku keluar dari rumah sakit in
"Sekarang Roy!" Aku dan Roy melompati jendela dan merengsek maju mendekati Riana. Aku pun mencengkeram tangan Riana. Sementara Roy langsung mencengkeram bahu si Gundul."Sedikit saja kalian sentuh Papa saya, kalian dan perempuan ini akan habis di sini!!!" Seru Roy dengan suara keras.Sejenak Riana dan kedua bodyguard nya memandang kami bergantian. "Jadi ini rencana kalian?" tanya Riana dengan tersenyum mengejek. Aku membalas senyumannya. "Bukan urusan kamu.""Lepas! Gak usah megang-megang tanganku! Akan kubuat kalian menyesal karena telah membantu Romi!" Riana memberontak dan berusaha melepaskan pergelangan tangannya dari cengkeraman tanganku."Suruh anak buah kamu menjauhkan tangannya dari Om Andri dulu. Baru kamu akan kulepaskan!"Riana memberi tanda pada kedua bodyguard dengan gerakan kepala, dan kedua anak buahnya menjauh dari Om Andri. Roy dan akupun melepaskan cengkeraman kami. "Kalian jangan merasa menang dahulu karena telah berhasil mengeluarkan Romi dari rumah sakit ini.
Karena di gazebo halaman depan rumah ini yang penuh dengan aneka bunga mawar merah kesukaanku, aku melihat Romi sedang tersenyum teramat manis padaku!Astaga! Itu manusia apa takjil untuk berbuka puasa sih? Sangat manis dan menyegarkan.Aku masuk ke dalam halaman rumah Romi. Beberapa bodyguardnya menganggukkan kepala penuh hormat pada Romi lalu keluar dari pagar tinggi dan menutupnya, meninggalkanku berdua bersama Romi. "Hai Sus, apa kabar? Atau mulai sekarang ku panggil Mbak Yulia?" tanya pemuda yang mengenakan kaus semi sweater lengan pendek warna merah hati tanpa kerah itu seraya tersenyum padaku.Aduh, yakin!Sekarang aku benar-benar terpesona padanya. Karena penampilan Romi yang gentle sebagai manusia di luar rumah sakit jiwa, benar-benar mendebarkan hati. Aku memandangi lensa matanya yang berwarna biru kehijauan. Indah sekali. "Kok berdiri terus, Mbak Yul. Duduk sini saja. Dekat dengan aku. Aku enggak nggigit kok. Dulu waktu masih jadi pasien kamu, kamu kan mau bermain bersam
Tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu tersangkut di gigi saat aku meminum jus jeruk pemberian Romi. Dan saat aku mengeluarkannya dari mulut, aku terkejut. Sebuah cincin emas bermata ruby!Mataku membulat dan mulutku melongo. "Romi? Cincin ini untukku?" tanyaku tak percaya.Romi mengangguk. "Mbak masih menyimpan cincin dari bunga widelia kuning saat kuberikan di rumah sakit dulu kan?" tanyanya memandangi sepuluh jariku yang tampak polos karena tak ada satupun cincin terpasang disana. Aku memang sengaja tidak memakai perhiasan sedikit pun, karena menyulitkan jika akan melakukan tindakan terhadap pasien di rumah sakit jiwa."Sudah layu dong, Rom," jawabku singkat. Romi menghela nafas. "Tapi kemarin ukurannya pas nggak?" tanya Romi."Pas kok.""Kalau begitu, sekarang pakai dong cincin yang ada di tangan Mbak."Aku memandang Romi yang tersenyum simpul. "Sebentar, ini dalam rangka apa ya kamu kok memberikan aku cincin? Aku nggak lagi ulang tahun lo?!" tanyaku sambil memainkan cincin yang
Aku menerima dengan hati berdebar. Dan saat kubuka perlahan, jantungku seakan berhenti berdetak. Cincin emas bermata biru safir! Bagaimana mungkin sehari ini aku mendapat dua cincin dari dua lelaki?! "Roy, ini ...,""Itu cincin, untuk Mbak Yulia."Jawaban Roy berhasil membuatku terhenyak. Seketika aku langsung beringsut dan duduk dengan menjaga jarak dengannya. " Apa maksudmu Roy?"Roy memandangku lekat dan tiba-tiba dia bangkit lalu berlutut di hadapanku dan menggenggam tanganku."Mbak Yulia, sudah lama aku jatuh cinta padamu. Papa mama juga sudah tahu tentang perasaanku. Karena itu, mereka langsung setuju saat Mbak Yulia mengatakan ingin mencari pengalaman di rumah sakit Papa. Karena Papa ingin aku menjadi dekat dengan mbak Yulia."Aku tercekat. "Ini bukan prank kan?""Tentu saja bukan. Apa Mbak tidak percaya kejujuran atas perasaanku? Aku ingin sebelum aku kembali ke mako dan dines lagi, aku bisa menyatakan perasaanku."Aku menelan ludah dan memandang wajah Roy yang sedang seriu
Aku mendekat ke arah kerumunan orang tersebut dan terkejut setelah melihat dari dekat orang yang terkapar di tengah-tengah mall itu adalah ibunya Riana. "Sendi, kamu kenapa?" tanya Anita mendekat. Sendi memandang Anita. "Nita, tolong Mamaku!" Serunya sambil mengguncangkan badan Mamanya. Pandangan Sendi yang penuh harap pada Anita mendadak mendelik dan terkejut saat melihatku yang ada di belakang Anita."Kamu? Siapanya Mbak Yulia?" tanya Sendi terbata. Aku maju lalu segera berlutut mendekati mama Sendi. Kuperiksa denyut nadinya di leher, tangan, dan nafas dari hidungnya. "Saya sepupu Anita. Sudah, jangan memikirkan hal itu dulu. Sekarang kita tangani mamamu. Nafas dan denyut nadi normal. Semoga saja pingsannya bukan karena stroke, tapi karena hal lain."Sendi bengong menatapku. "Kamu nunggu apa!? Ayo angkat Mama kamu ke dalam mobilmu. Tolong dibantu Mas!" Aku memanggil satpam mall yang baru datang di kerumunan itu untuk membantu Sendi mengangkat tubuh mamanya."Sekarang kamu set
Belum sempat Yulia masuk ke toilet, tiba tiba dia mendengar suara seperti letusan pistol.Dorr!!Yulia terkejut. Sepertinya keinginannya untuk buang air kecil menghilang. Dia mengendap-endap keluar dari lorong kamar mandi kafe dan celingak-celinguk mencoba mencari sumber suara. Akhirnya Yulia melihat sebuah bangunan kecil seperti paviliun yang terpisah oleh sepetak taman mungil.Yulia membatalkan keinginannya pipis dan menyusuri taman kecil tersebut hingga sampai pada bangunan mungil berdinding kayu yang terlihat estetik itu.Di luar bangunan itu terlihat sepi dan tidak ada orang. Tapi naluri Yulia berbisik bahwa di dalam ruangan itulah sumber letusan pistol yang dia dengar.Yulia mendekat ke arah pintu masuk yang terbuat dari kayu tersebut. Berusaha mencuri dengar suara yang ada di dalam ruangan.Yulia mendengus kesal saat tidak bisa mendengar suara apapun. Dia lalu berjalan memutar dan menemukan jendela kaca ukuran sedang.Dia berusaha berjinjit untuk bisa mengintip ke dalam ruang