"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"
Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang.
"Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."
Romi memandangiku lalu menggerung perlahan.
"Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."
Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.
Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.
Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"
Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya.
"Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tunggu di luar kamar dan kalau ada apa-apa nanti saya panggil. Sama seperti kunjungan sebelumnya," tukas perempuan muda itu memandangiku.
Aku menghela nafas dan tersenyum. 'Okelah. Aku ikutin permainan apa yang sedang terjadi di rumah sakit ini.'
"Baiklah Bu. Saya tunggu di luar ya."
Aku berjalan keluar kamar dan duduk di bangku kayu depan bangsal. Memasang pendengaran dengan baik dan sesekali mengintip apa yang terjadi di kamar Romi.
'Pasti ini ada kaitannya dengan surat yang diberikan Romi kemarin.'
Aku tidak bisa mendengar dengan jelas, apa yang mereka bicarakan. Hanya kadang terdengar gelak tawa Romi dan perempuan itu.
Aku tersenyum. 'Sepertinya semua baik-baik saja,' pikirku.
Namun tak lama kemudian aku mendengar suara Romi berteriak. Aku segera masuk ke dalam ruangan dan melihat Romi sedang menyobek lembaran kertas yang ada di hadapannya. Bahkan ada sebagian kertas yang dimakannya.
Aku terkejut, tidak menyangka kalau Romi akan mengamuk seperti ini, padahal tadi masih baik-baik saja
"Rom! Hentikan!"
Aku maju mendekati Romi yang brutal menelan potongan kertas dihadapannya. Dua orang lelaki yang datang bersama perempuan itu memegangi tangan Romi.
Romipun berontak dan mengibaskan kedua lelaki itu sampai terpental lalu dengan cepat mendekat ke arah perempuan itu dan mencekiknya.
Aku terkejut. "Rom! Hentikan!"
Aku melompat ke arah Romi yang berteriak-teriak dan tampak melotot dengan tangan yang masih mencekik leher ibunya.
"Aaaarghhh ... Aarrrghhh!" Hanya itu yang keluar dari mulut Romi.
Dan tiba-tiba Dimas datang serta meminta dua lelaki berkaus tadi untuk memegangi Romi lalu Dimas menyuntikkan obat penenang di lengan Romi hingga Romi terkulai lemas.
"Apa kubilang? Biar aku saja yang menemani Romi saat kunjungan keluarga!" bisik Dimas padaku yang masih terpaku kebingungan dengan apa yang terjadi.
***
Keluarga Romi sudah pulang setelah berpamitan padaku.
"Romi ternyata belum sembuh benar ya. Padahal kami sudah rindu kepulangannya. Walaupun saya hanya ibu tirinya saja."
Terngiang lagi kata-kata ibu tiri Romi saat aku mencari petunjuk pada kertas-kertas yang berhamburan dan memperhatikannya dengan seksama.
Kertas HVS ini sebenarnya kosong. Lalu kenapa tiba-tiba Romi mengamuk saat ada kertas ini dan ketakutan saat melihat keluarganya?
Berbagai pikiran berkecamuk di kepalaku.
"Huft, nggak tahulah. Kenapa aku jadi yang kepo?" gumamku lalu keluar dari kamar Romi dan meminta cleaning service untuk membersihkan kekacauan yang terjadi.
***
Aku berjalan menuju ruang perawat. Mumpung perawat yang lain sedang ada di ruangan pasien, aku akan membaca status pengobatan Romi di lembar dokumentasi pasien.
Aku membaca lembar demi lembar kertas yang bertuliskan diagnosa Romi. Romi ternyata mengidap gejala prolonged grief disorder dengan BPD.
Aku mengerutkan kening. "Siapa yang telah meninggal dan membuat Romi dikirim ke rumah sakit ini?" tanyaku lalu membuka lembar demi lembar status pasien miliknya.
"Wali pasien bernama Riana. Hm, apa perempuan muda cantik yang tadi memeluk Romi ya?"
Aku mengetuk-ngetukkan ujung pulpen di meja sambil terus membolak-balik kertas di hadapanku.
"Setiap ada kunjungan keluarga mengamuk. Kenapa ya? Dan untuk apa keluarganya tadi membawa kertas kosong di hadapan Romi?" Aku bergumam sendiri.
"Hei, lagi mikirin apa?" Sepasang tangan menutup mataku.
"Lagi baca lembaran status Romi, Dim."
Seketika tangan yang menutup mataku terlepas.
"Kamu masih penasaran sama Romi? Kenapa sih? Kamu gak liat waktu dia tadi kumat dan hampir mencekik ibu tirinya? Kalau aku nggak datang, pasti sudah ada korban jiwa?!"
Aku seketika berdiri dari kursi yang kududuki.
"Hei Dimas. Kamu sudah belajar psikologi manusiakan sebelum masuk ke rumah sakit sini?"
Dimas memandangiku dan mengangguk.
"Harusnya kamu tahu kalau ODGJ itu ngamuk pasti ada pemicunya. Dan kalau setiap kali ibunya datang untuk menjenguknya, terus Romi ngamuk, berarti masalah itu ada pada ibunya!"
"Benar. Terus apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku akan mencari tahu hubungan antara ibu tiri Romi dengan Romi yang mengamuk saat bertemu dengan ibunya," jawabku mantap.
Dimas mendekatiku. "Kamu baru datang dari pulau Jawa, dan baru 2 minggu bekerja di sini. Lebih baik kamu jangan terlibat masalah dengan penduduk asli di sini. Ingat, jangan karena kepo, kamu mengabaikan keselamatan kamu. Ini untuk kebaikan kamu sendiri."
Aku menghela nafas. "Makasih Dim untuk nasihatnya. Tapi aku bisa jaga diri kok. Aku kan ...,"
"Peraih sabuk hitam kelas sedang saat sekolah dulu."
Tanpa kuduga Dimas memotong perkataanku.
"Itu kamu sudah tahu," sahutku seraya melenggang pergi meninggalkan ruang perawat menuju ruang om Andri.
Aku sudah memutuskan akan menolong Romi dengan caraku sendiri. Dan langkah pertama adalah mencari tahu tentang keluarga Romi pada Om Andri.
Aku melangkahkan kaki dengan cepat ke arah kantor om Andri, namun sebelum membuka pintunya, aku mendengar om Andri sedang menelepon seseorang.
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."
Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....
Next?* Prolonged grief disorder merupakan gangguan kesedihan yang berkepanjangan mengacu pada sindrom yang terdiri dari serangkaian gejala yang berbeda setelah kematian orang yang dicintai.
Seseorang yang mengalami sindrom tersebut biasanya mengalami kesedihan mendalam secara intesif selama lebih dari 12 bulan usai kematian orang yang dicintainya.
Biasanya, kesedihan berlarut-larut tersebut menyebabkan seseorang selalu teringat pada orang yang dicintainya hingga mengganggu aspek-aspek lain kehidupan mereka.
Namun, ada juga yang berusaha menghindari ingatan atau kegiatan yang mengingatkan mereka akan peristiwa kehilangan tersebut.
* BPD ( Bordeline Personality Disorder) atau gangguan kepribadian ambang adalah sebuah kondisi yang muncul akibat terganggunya kesehatan mental seseorang. Kondisi ini berdampak pada cara berpikir dan perasaan terhadap diri sendiri maupun orang lain serta adanya tingkah laku abnormal.
* ODGJ : Orang Dengan Gangguan Jiwa.
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m
Aku tersipu. "Sebenarnya hubungan saya dan Romi adalah hanya sekedar pasien dan susternya saja. Lagipula saya melakukan hal ini karena ingin menyelamatkan puluhan pasien rumah sakit jiwa yang terancam telantar jika tanahnya dimenangkan oleh keluarga Romi, padahal Om saya selaku direkturnya saat ini telah menerima hibah tanah tersebut dari temannya 15 tahun yang lalu.""Oh ya? Hanya itu saja?" tanya Pak Jamal seraya menaikkan sebelah alisnya."Tentu saja," sahutku yakin.Pak Jamal tertawa. "Sebenarnya klien saya tidak mengalami gangguan jiwa.""Loh kok bisa?" sahutku penasaran. Sebenarnya ada rasa bahagia mendengarnya. Berarti ada kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh. Eh. "Jadi begini, saat itu pak Dion akan bebergian keluar kota untuk mengurus keperluan bisnis. Romi sangat yakin saat itu mobilnya dalam keadaan normal, karena baru saja dikendarai oleh Romi pulang dari kampus. Tapi saat dikendarai oleh pak Dion tiba-tiba remnya blong. Dan beberapa saksi mata mengatakan bahwa saat it
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya