Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"
Aku menoleh ke belakang. "Dokter Andri?"
"Yulia, bisa ikut saya sebentar?" Sekali lagi suara bass dari direktur rumah sakit jiwa yang sekaligus merupakan pamanku terdengar kembali.
"Tentu Dokter."
Aku berdiri dan mengibaskan debu dari rok spanku lalu menoleh ke arah Romi yang asyik 'bicara' dengan bunga di hadapannya.
Aku menghela nafas lalu segera mengikuti Om Andri yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah ruang direktur.
Dalam benakku terbayang perkataan Dimas untuk menjauhi Romi. Tapi aku tak mengerti apa alasan Dimas melarangku mendekat ke arah Romi.
Apa Dimas mengetahui sesuatu tentang Romi? Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan hanya Dimas saja yang tahu. Atau jangan-jangan Dimas mengenal Romi? Tapi apa hubungan antara keduanya? Aduh, semakin dipikirkan semakin membuat pusing.
Aku sibuk dengan pikiranku sendiri sampai tanpa sadar aku sudah sampai di ruangan direktur. Om Andri membuka pintunya dan masuk terlebih dahulu ke dalam ruangan.
"Duduk Yul!" instruksi Om Andri membuyarkan lamunanku.
"Iya Dokter," sahutku pelan.
Aku lalu menghempaskan pantat ke sofa berwarna abu-abu tua dan menghadap ke arah dokter Andri. Beberapa saat kami terdiam sejenak. Tapi aku tahu walaupun aku menundukkan kepala, pandangan om Andri mengarah padaku dengan serius.
"Langsung saja Yul pada topik yang ingin saya sampaikan."
Om Andri memandangku dengan serius. Akupun mengangkat wajah untuk memandang Om Andri dan menjadi antusias dengan apa yang akan diucapkannya.
"Kamu harus bisa jaga jarak dengan para pasien di sini. Jangan terlalu dekat dengan mereka."
Aku terkejut dan mengerutkan dahi. "Bukankah kita harus merawat para pasien di sini dengan ilmu dan hati agar mereka lekas sehat kembali? Lalu bagaimana mungkin kita selaku tenaga medis masalah kejiwaan tidak diperbolehkan dekat dengan mereka?" protesku.
Om Andri menatapku tajam. "Yulia, kamu memang jebolan terbaik di kampus kamu dan lulus dengan nilai cumlaude. Itu pula yang membuat Om menerimamu bekerja di sini. Tapi ada beberapa hal yang membuat kamu tidak boleh terlalu akrab dengan pasien. Memberikan asuhan keperawatan pasti sangat boleh dalam batas sewajarnya, hanya jangan terlalu dekat dengan mereka. Terutama Romi, dia berbahaya. Apalagi kalau kamu sampai baper pada ketampanannya."
Aku menghela nafas. 'Orang-orang di sini aneh. Tadi Dimas, sekarang Om Andri yang melarang dekat dengan Romi. Ada apa sih? Semakin dilarang, aku semakin penasaran.'
"Om pasti sudah dengar dari Dimas kan? Sebenarnya ada apa sampai Dimas keberatan kalau saya menemani Romi dalam kunjungan keluarganya sendiri? Ayolah Om, ijinkan saya sekali saja untuk menemani Romi. Minggu-minggu berikutnya, saya akan menemani pasien lainnya."
Om Andri terlihat menghela nafas.
"Baiklah. Aku memang tidak bisa memaksa gadis keras kepala sepertimu. Apalagi Om sering berhutang budi pada ayahmu. Lusa kamu yang menemani Romi saja. Dan silakan kamu lihat apa yang terjadi pada Romi saat keluarganya datang berkunjung."
Aku tersenyum. "Baiklah Om, saya kembali bekerja dulu," pamitku dan berlalu meninggalkan ruangan Om Andri.
***
Aku berjalan melalui koridor rumah sakit.Rumah sakit jiwa ini baru berdiri sekitar delapan tahun atas prakarsa Om Andri dan teman-temannya sesama dokter spesialis kejiwaan.
Ada lima ruangan untuk ruang rawat inap yaitu bougenville untuk ruang rawat inap kelas 1, anyelir ruang rawat inap kelas 2, mawar dan melati untuk ruang rawat inap kelas 3 dan Flamboyan untuk ruang isolasi, pasien yang mengalami kondisi khusus. UGD sekaligus unit rawat jalan biasa, ruang dapur atau gizi, generator, incenerator dan rehabilitasi narkoba 1 ruang.
Aku segera berjalan ke arah dapur dan bertemu dengan karwayannya lalu meminta korek api.
Karyawan dapur menatapku dengan keheranan tapi tak urung juga dia memberiku korek seperti yang kupinta.
Aku memasukkan korek api ke saku baju dan menuju taman belakang rumah sakit yang biasanya sepi. Aku menghela nafas sekali lagi saat kubuka surat dari Romi kembali.
Lalu tanpa berpikir panjang, aku membakarnya.
"Suster."
Sebuah suara mengagetkanku. Aku menoleh pada empunya suara yang sudah kuhafal.
"Ya Rom?"
"Lusa jadi kan menemani saya dalam acara kunjungan keluarga?" tanyanya lirih dan mendekat padaku.
Dia menggendong boneka anak perempuan yang biasanya digendong oleh pasien gadis cilik yang selalu bermain dengannya. Kakinya juga menginjak-injak abu bekas pembakaran suratnya sehingga berhamburan kemana-mana tertiup angin.
Aku mengangguk dan memandanginya dengan penuh keheranan. "Rom, kamu harus menjawab pertanyaan saya. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"
Romi cengar cengir lagi dan memandang berkeliling pada taman belakang itu.
Aku mengerutkan dahi. "Ada apa sih? Kamu nyari siapa? Atau takut sama seseorang di sini? Bilang saja. Kamu aman kok sama aku!"
"Suster, tahu nggak skin care yang paling cocok sama wajah Suster?" tanya Romi membuatku ternganga.
'Ini orang kenapa sih? Aneh banget. Tadi ngomong serius sekarang slengekan lagi.'
"Nggak tahu. Saya nggak pake skincare macem-macem. Emang kenapa? Apa wajah saya burik?"
Romi menggeleng dan tertawa. "Menurut saya, Suster itu harusnya pakai serum!" serunya dengan wajah serius.
"Serum? Kok bisa?"
"Iya! Serumah dengan saya!" tukas Romi bersemangat lalu bersenandung kecil dan berjalan meninggalkan taman belakang.
Aku yang berulangkali dibaperin secara unpredictable oleh pasien rumah sakit jiwa ini hanya bisa menahan tawa dan mengikuti langkahnya.
Dan saat mencapai belokan koridor dekat dengan ruang gizi, aku melihat Dimas sedang berdiri di tembok dan menyedekapkan tangan di dadanya.
"Dimas? Kamu kok di sini? Emang nggak ada dokter yang akan visite? Atau kamu sedang nguntit aku?" tanyaku.
Dimas sepertinya terkejut dengan kedatanganku dan Romi secara mendadak.
"Iya. Aku ke sini karena mencari kamu. Ayo ikut. Ada pasien baru datang lagi. Perempuan. Tugas kamu mandiin dia, karena Nia sedang diare."
"Oke," sahutku lalu mengangguk dan mengikuti langkah lebar Dimas menuju UGD.
***
Hari ini merupakan hari kunjungan keluarga Romi. Aku membawa keluarga Romi menuju ke bangsal Bougenville, tempat Romi dirawat.
Seorang perempuan yang masih tampak muda, cantik, berambut hitam model bob pendek yang mungkin hanya selisih beberapa tahun denganku dan dua orang laki-laki yang memakai kaus biasa.
Aku berjalan bersisian dengan keluarga Romi menuju ke kamarnya.
Dan saat kelurga Romi muncul di ambang pintu bangsal lalu bertatapan dengan Romi, mendadak Romi berkeringat dingin dan gemetar.
"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?" tanya ku bingung sambil memandang Romi dengan pandangan tidak percaya.
"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang."Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."Romi memandangiku lalu menggerung perlahan."Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya."Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tungg
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka
Aku yang sedang memegang ponsel, menurunkan benda pipih hitam itu dari telinga tanpa mematikannya terlebih dahulu."Jawab aku, Yul!" tuntutnya seraya duduk di depanku."Dim, aku tidak tahu apa yang kamu katakan," sahutku pura-pura bingung. 'Duh, ini pasti satpamnya yang semalam sudah ngadu ke dia.'"Kamu jangan pura-pura. Selama Ini kan kamu yang paling penasaran soal Romi dan Dion Alexander?"Aku mengernyitkan dahi. Berarti Dimas ini tahu sesuatu tentang keluarga Alexander, sekalian saja kukorek keterangan darinya saja. Semoga saja di rumah semalam, tidak ada CCTV di pintu gerbangnya."Aku nggak ngerti apa yang kamu bicarakan. Apa Romi ada kaitannya dengan ... siapa tadi namanya? Dion Alexander?" tanyaku.Dimas duduk di hadapanku. Lalu meremas tanganku keras. "Jangan ikut campur urusan orang lain, Yul!""Aww! Sakit Dim!" Aku mendelik. Kubalas perbuatannya dengan meremas balik tangannya. Enak saja. Emang yang bisa meremas tangan cuma dia saja. Dimas terlihat kesakitan tapi masih terdi
"Astaga. Mbak puter balik dan pulang sekarang!" terdengar suara Roy yang panik dari seberang telepon sebelum ketiga lelaki itu mendekat dengan cepat kearahku dan tanpa aba-aba melayangkan pukulannya padaku.Buaagh!Refleks kutepis tangan begundal itu sampai beradu dengan tanganku. Laki-laki bertubuh gempal itu menarik tangannya dan mundur selangkah lalu berbisik pada temannya si Gundul.Terasa agak nyeri juga di tangan kananku. Segera aku berdiri dan melompat dari motor. Kumasukkan ponsel ke saku tanpa mematikannya.Hap!Aku masih melihat si Gempal dan si Gundul saling berbisik. Sementara itu si Jangkung mendekatiku.'Pasti si Gempal dan si Gundul membicarakan kekuatan ototku. Huh, mereka kira mudah mengalahkan aku. Mereka salah!'"Kamu juga mau nantangin saya? Saya gak tahu ya situ siapa! Saya pantang nyari musuh. Tapi kalau ada musuh mendekat, saya pantang lari!" Seruku pada si Jangkung.Aku memasang kuda-kuda saat melihat si Jangkung bersiap memukulku.Dan benar saja, si Jangkung m