"Sus, aku hitung ya, 1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum aku ngitungnya Sus?"
Aku tersenyum. "Nggak ada angka 2 nya, Rom!" Aku menukas dengan cepat.
Romi nyengir sambil menggaruk kepalanya.
"Sama kayak Suster dong. Bagiku suster itu tidak ada duanya!" serunya penuh percaya diri.
Aku hanya bisa tersenyum. 'Wah, dasar kenthir! Untung ganteng. Eh, kebalik. Kasihan sekali wajah ganteng tapi berakhir di sini.'
Aku menghela nafas panjang dan tersenyum. Lama-lama di rumah sakit ini, bisa ketularan geser semeter. Huft.
"Sus, mau kemana?" tanya pasien itu lagi saat aku mulai berdiri dan meninggalkan Romi untuk kembali ke ruang perawat.
"Aku mau balik ke ruang perawat, Rom. Sekarang sudah waktunya pulang."
Wajah Romi mendadak mendung. "Jangan tinggalkan saya, Sus!"
"Kenapa? Kan besok dapat bertemu lagi denganku. Lagipula ada perawat lain yang akan menjagamu dan teman-teman kamu yang lainnya di sini kan?"
Romi terdiam sehingga aku hanya tersenyum dan menggeleng kan kepalaku lalu melanjutkan langkah.
Namun sayang sekali, belum sempat aku melangkah lebih jauh, Romi memegang lengan bajuku.
"Ada apa Rom?" tanyaku kembali menoleh ke arah pasienku yang berparas setengah bule itu.
"Jangan pergi. Tanpamu aku butiran debu!" sahut Romi tertawa.
Dan aku hanya bisa tertawa. 'Astaga, apa katanya tadi? Tanpamu aku butiran debu? Darimana dia belajar judul lagu itu?' batinku heran.
***"Suster Yuli, kita berjodoh loh!"
Lagi-lagi aku menghentikan langkahku yang hendak kembali ke ruang perawat setelah aku membagikan sarapan pagi pada keesokan harinya.
Aku membalikkan badan dan menghadap ke arah Romi yang cengengesan sambil memainkan ujung bajunya.
Aku berusaha tersenyum. "Kok kamu bisa tahu kita berjodoh?" tanyaku berusaha ramah untuk kesekian kali.
"Karena aku Romeo dan kamu Juliet!" jawabnya sambil tertawa.
Fix kenthir!
Aku bergumam sambil menahan tawa. "Kamu keluar dari sini dulu, bekerja yang giat, beribadah yang rajin, baru mungkin kita bisa berjodoh, Rom."
Mata Romi berbinar-binar seperti anak kecil yang baru saja mendapat permen.
"Benarkah Sus?"
Aku mengangguk. 'Semoga saja PHP in pasien sakit jiwa dosanya tidak terlalu besar.'
"Asiikk, kalau gitu aku mau keluar dari sini dan bekerja biar bisa menikah dengan suster Yuli."
Romi berseru sambil melompat dan mengepalkan tangannya. Seperti seseorang yang bereuforia karena jagoan sepakbolanya menang tanding.
Aku tersenyum dan mulai membalikkan badan lalu melangkah menjauhinya.
"Suster, tunggu!"
Aku menoleh dan melihat Romi sekali lagi.
"Ya Rom?"
"Tahu nggak persamaan hubungan kita dengan ompol?"
Kali ini aku gagal menahan tawa, akhirnya aku tergelak di hadapan Romi.
"Suster cantik sekali kalau tertawa. Seperti adiknya bidadari," katanya polos.
Doweng!
Aku langsung terdiam. 'Beh, digombalin pasien Rumah Sakit Jiwa. Nasib jomlo!'
"Emang persamaan hubungan kita sama ompol apaan Rom?" tak urung juga aku kepo dengan perkataannya.
"Persamaan hubungan kita dengan ompol adalah orang lain hanya bisa melihat celana kita yang basah, tapi hanya kita yang bisa merasakan kehangatannya," sahutnya dengan pipi merona sambil berlari menjauh meninggalkanku yang terbengong keheranan.
Elah digombalin lagi!
"Suster!"
Aku menoleh ke arah asal suara saat baru saja keluar dari ruang perawat dengan membawa beberapa spuit untuk injeksi dan obat oral.
Tampak Romi berlari-lari kecil menghampiri ku. Setangkai bunga bougenville warna ungu tergenggam di tangannya.
"Ya Rom?"
"Ini buat Suster!"
"Hm, terima kasih," sahutku menerima bunga yang telah diberikan Romi.
Romi mengulurkan bunga yang dipegangnya lalu memberikannya padaku.
Lelaki muda itu hanya cengengesan saja setelah bunga dari tangannya berpindah ke tanganku.
"Sus," panggil Romi berusaha mensejajarkan langkahnya denganku.
"Ya Rom? Ada apa?" tanyaku.
Romi terdiam sejenak sambil berpikir seraya menghadap ke atas.
"Coba tebak, kenapa aku kalau berpikir, pandangan mataku selalu menghadap ke atas?"
Aku berpikir sejenak, tanpa terasa sampai mengerutkan dahi.
"Enggak tahu. Memang kenapa, Rom?"
"Karena kalau aku berpikir sambil memejamkan mata, yang terbayang justru wajahnya suster Yuli!"
'Alamak! Cukup Roma! Eh, Romi! Terlalu sering kamu membuat hatiku kebat kebit karena gombalanmu itu!' seruku. Tentu saja hanya dalam hati.
Karena pelaku yang menyebabkan hatiku kacau bagaikan meletuskan balon hijau telah lari dan kabur dengan tawanya yang berderai.
Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan langkahku menuju ke ruang perawat.
"Eh, kamu pernah merasa nggak kalau pasien atas nama Romi Alexander itu aneh?"
Nia, rekan sesama perawat yang sedang menulis laporan pasien menoleh saat aku baru saja duduk di kursi di sampingnya.
Nia mengerutkan keningnya. "Pasien yang ada di bangsal Bougenville?"
Aku mengangguk. "Iya. Romi yang bule itu. Dia aneh nggak sih menurut kamu?"
Nia memandang ku dengan serius laki tertawa.
"Eh, sepertinya kamu deh yang aneh. Kenapa mendadak bertanya tentang Romi? Kamu suka ya padanya?" tanya Nia membuat hatiku berdebar. Namun sedapat mungkin aku menahan senyum yang hendak melebar saat mendengar tuduhan Nia.
"Eng-gak! Siapa yang suka sama dia? Aku cuma tanya apa dia aneh? Soalnya ...,"
Aku menghentikan kalimatku. Aku bisa dianggap ikut gila kalau mengatakan bahwa Romi jago nggombal dan merayuku.
Huft.
***
"Suster, mau ikut main?" tanya Romi ramah saat aku selesai memandikan pasien yang baru datang.
Aku melihat ke arah Romi yang sedang duduk di hadapan seorang gadis cilik dengan tatapan mata kosong. Beberapa tumpuk daun ada di hadapan mereka.
"Boleh. Mau main apa?" tanyaku sambil berjongkok diantara mereka.
"Ini Sus, main duit-duitan. Aku punya uang banyak!" seru Romi sambil menggerakkan kedua tangannya membentuk lingkaran di udara.
"Wah iya, banyak ya uangnya."
Aku tersenyum pada Romi dan mengelus rambut gadis kecil di hadapanku.
"Ya sudah Sus, ini aku beri uangnya."
Romi mengulurkan beberapa daun padaku. Aku menerimanya dan tersenyum.
"Maka ...sih."
Ucapanku terhenti saat melihat kertas putih menyembul dari daun yang kupegang.
"Sus, tolong baca saat sendirian dan jangan sampai tahu orang lain."
Romi berkata lirih sambil menggenggam daun dan surat yang ada di telapak tanganku.
Serta merta aku mendongakkan kepala seraya menatap matanya. Romi pun menatapku dengan serius lalu dia berbisik di telingaku.
"Saya mohon baca surat ini, karena hanya Suster yang mampu menolong saya."
Aku terdiam. Seolah terhipnotis sesaat. Tidak menyangka akan ada seorang pasien di sini yang berbuat seperti orang waras
Apa dia benar-benar gil*?
Aku mengangguk lalu berdiri dan melangkah meninggalkan Romi dan gadis itu.
Sesekali aku menoleh ke belakang. Tampak Romi sibuk bercanda dengan gadis itu tanpa menoleh padaku. Seolah dia tidak pernah memberikan aku surat apapun.
Aneh!
***
Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah ...
Aku berjalan menuju kamar mandi khusus perawat. Dan sesampainya di sana, kubuka perlahan surat dari pasien tersebut. Dan seketika aku terkejut karena isinya adalah sebuah puisi dan kalimat minta tolong.Saat kulihat semua pekat di langit yang seharusnya membiru.Aku sempat mengira duniaku takkan pernah berwarna lagi sampai aku melihat senyumanmu yang bagai mentari pagi.Cerah matamu yang menjanjikan kedamaian.Membuatku yakin bahwa kebahagiaan ku akan datang.Tolong temani aku lusa saat kunjungan keluargaku.Ada yang tidak beres dengan rumah sakit ini dan keluargaku.Dan kalau sudah membaca surat ini, silakan robek keci-kecil dan masukkan ke dalam kloset, atau bakar saja sampai jadi abu. Yang pasti, jangan biarkan seorang pun tahu tentang surat ini. Jangan tanya kenapa aku meminta pertolongan padamu, karena pelan tapi pasti, kamu akan segera tahu.Aku mengerutkan dahi. Tak kupungkuri sejuta tanya muncul di hati setelah membaca surat ini.Sejak awal datang kemari, aku sudah merasa ada
Belum sempat aku menyelesaikan kalimat, Romi dengan cengar cengir memandang ke arah belakangku dan tiba-tiba sebuah suara bass terdengar. "Yulia, ikut saya sebentar!"Aku menoleh ke belakang. "Dokter Andri?" "Yulia, bisa ikut saya sebentar?" Sekali lagi suara bass dari direktur rumah sakit jiwa yang sekaligus merupakan pamanku terdengar kembali."Tentu Dokter."Aku berdiri dan mengibaskan debu dari rok spanku lalu menoleh ke arah Romi yang asyik 'bicara' dengan bunga di hadapannya.Aku menghela nafas lalu segera mengikuti Om Andri yang sudah berjalan lebih dahulu ke arah ruang direktur. Dalam benakku terbayang perkataan Dimas untuk menjauhi Romi. Tapi aku tak mengerti apa alasan Dimas melarangku mendekat ke arah Romi. Apa Dimas mengetahui sesuatu tentang Romi? Sesuatu yang tidak kuketahui. Dan hanya Dimas saja yang tahu. Atau jangan-jangan Dimas mengenal Romi? Tapi apa hubungan antara keduanya? Aduh, semakin dipikirkan semakin membuat pusing.Aku sibuk dengan pikiranku sendiri samp
"Rom? Ada apa? Kenapa kamu menjadi gemetar seperti ini?"Aku mendekat ke arah Romi dan menepuk pundaknya. Berusaha membuatnya tenang."Nafas panjang dulu. Pelan-pelan."Romi memandangiku lalu menggerung perlahan."Romi! Anak Mama! Apa kabar Sayang? Mama rindu."Perempuan muda itu tiba-tiba memeluk Romi dan dua orang laki-laki berkaus tersenyum pada Romi dan duduk di kursi sofa yang memang merupakan fasilitas rumah sakit di kamar kelas satu.Aku menjauh dan membiarkan anak beranak itu berpelukan, meskipun dalam hati bertanya-tanya dan tidak percaya bahwa perempuan muda itu adalah ibu Romi.Romi terdiam saat perempuan itu mencium pipi kanan dan kiri Romi. "Suster baru ya kerja di sini? Bisa tinggalkan kami sebentar?"Aku tertegun. Biasanya kalau keluarga berkunjung ke bangsal pasien, perawat yang menemani akan duduk di kursi dalam kamar untuk mengantisipasi jika pasien membahayakan keluarganya."Tenang saja. Romi sudah lebih waras dibandingkan saat baru masuk dulu kok. Suster bisa tungg
"Maafkan keponakan saya Bu Riana. Memang saya tidak pernah memprediksikan kedatangannya. Akan saya atasi serapi mungkin. Baiklah, iya. Tenang saja. Saya akan berusaha mendapatkan tanda tangan Romi dan stempel keluarga Anda."Aku bengong di luar pintu masuk. Bu Riana? Dia kan ibu tiri Romi. Kok menelepon Om Andri? Jangan-jangan ....Hatiku berdebar kencang, berusaha untuk mendengarkan percakapan Om Andri lebih lanjut. Namun sayang sekali, meskipun kepala dan telingaku kutempelkan di pintu, aku tetap tidak bisa mendengarkan suara apapun lagi. Mungkin memang teleponnya sudah diakhiri. Berbagai pikiran buruk mampir di kepala tanpa bisa dicegah. Jangan-jangan memang om Andri punya hubungan dengan Bu Riana. Tapi apa ya? Ah, mana mungkin Om Andri berniat buruk pada salah satu pasiennya sendiri. Huft, semakin aku ingin tahu tentang hal ini, rasanya malah semakin banyak pertanyaan yang harus terjawab. Aku menghela nafas seraya menggeleng-gelengkan kepala, mencoba membuang segala pikiran buru
'Fix, andaikan dia tidak berada di rumah sakit ini. Pasti sudah aku karungin dan kuajak pulang ke jawa. Menghadap orang tuaku di Surabaya!'Ehhh!Aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala untuk mengusir pikiran aneh yang tiba-tiba berserakan. Sementara tersangka yang baru saja melontarkan kata-kata pergombalan malah asyik menghabiskan supnya."Oh ya, Sus. Suster punya foto nggak?" tanya Romi setelah sayur sop di piringnya habis tak bersisa. "Punya. Di Hp sih. Ada apa Rom?""Boleh minta nggak?"Aku mengerutkan dahi. "Untuk apa kamu meminta fotoku?"Romi tersenyum manis sekali sebelum dia menggemparkan hati sekali lagi dengan menjawab, "untuk kutunjukkan pada teman-teman bahwa bidadari itu memang ada."Romi tertawa dan aku tersenyum, berusaha menutupi gemuruh di dalam hati yang semakin keras.Tapi tak urung juga aku masih penasaran dengan tanda tangan dan stempel. "Sudah makannya?" tanyaku memandangi piring dan mangkuknya yang kosong di atas nampan. Romi mengangguk. "Rom,
"Karena jodoh Juliet pasti Romeo. Mana ada jodoh Juliet itu Roy-co?" sahut Romi sambil nyengir dan berlalu meninggalkan aku dan Roy yang terpaku!"Ya Tuhan Mbak, ini nggak bisa dibiarin. Dia terang-terangan meledekku lo!"Roy merengsek maju sambil menyingsingkan lengan baju mengejar Romi yang mulai menjauh."Roy! Tunggu! Kamu mau apain dia? tanyaku mengejar Roy dan meraih lengannya.Roy menoleh lalu memandang lengannya yang kucekal. "Lepasin mbak! Aku mau memberikannya pelajaran. Aku diledek Mbak! Aku harus mempertahankan harga diri dong!" "Tunggu Roy. Romi pasien di sini. Jiwanya mengalami gangguan. Jadi apapun perkataannya, jangan dimasukkan ke dalam hati, ya."Aku mengusap lengan Roy, berharap dia legowo dan berusaha untuk melupakan kejadian tadi. "Mbak tadi bilang siapa namanya, Romi?!"Aku mengangguk."Wah, kalau begitu aku harus segera menemuinya dan menanyakan dimana sertifikat tanah rumah sakit ini agar papa gak pusing lagi mikirin sengketa tanah."Roy melangkah maju. "Roy,
Ya benar. Mereka Adimas dan Riana! Kemesraan mereka terlihat jelas dari mata. Bahkan kedua tangan mereka saling memeluk pinggang pasangannya. "Wah, ada hubungan apa mereka?" tanyaku lirih. Lebih pada diriku sendiri."Kenapa Mbak? Liatin siapa sih?" tanya Roy sambil menolehkan kepala ke kiri dan ke kanan. Aku segera menutup wajah dengan tas selempang hitam mungil yang kubawa. Sebenarnya ingin sekali menghampiri langsung dan menanyakan ada hubungan apa pada mereka berdua. Tapi, nanti mereka bohong. Malah gak bisa menyelidiki dan mencari jawaban valid. Dari dulu sampai sekarang, kan mana ada maling ngaku.Aku menghela nafas. "Mbak, Mbak Yuli!" Roy menjentikkan jempol jari dan telunjuknya di depan mukaku."Ssstt! Ada Dimas! Diam dulu Roy!"Lagi-lagi aku menutupi wajah dengan tas mungil dan menundukkan muka hingga menyentuh meja kayu yang terletak di antara kami. Roy semakin celingukan. "Dimas? Dimas siapa sih? Dan ngapain Mbak sembunyi seperti itu?""Ssttt! Jangan keras-keras kalau bi
Aku memandang alamat yang tertera di tembok luar gerbang. 'Padahal rumah ini sesuai dengan alamat yang diberikan Romi padaku.'Ada apa sih ini? Aku merasa jengkel sendiri."Roy, kita pulang dulu deh," ajakku lalu berpamitan pada kedua satpam rumah besar itu.Roy terdiam dan justru melihat berkeliling ke sekitar rumah. "Kamu kenapa? Kamu kenal kawasan ini?" tanyaku heran. Roy mengangguk. "Dulu waktu kecil, aku beberapa kali diajak ke sini. Benar. Ini tempatnya. Di sebelah kiri rumah ini ada warung Padang, di sebelah kanan ada lapangan futsal. Rumahnya di pinggir jalan raya besar. Ini rumah pak Adi! Teman papa yang udah meninggal!" Roy berseru lirih di telingaku."Kamu yakin?" tanyaku menarik lengan Roy untuk segera masuk ke dalam mobil. Roy menurut dan dia pun menghidupkan mesin mobil dan melajukannya membelah jalan raya. Aku berpikir keras. "Roy, kamu mau nggak bekerja sama denganku?""Bekerja sama dalam hal apa? Bekerja sama membuat buku nikah?" tanya Roy sambil tersenyum."Eh ka