"Mawar? Kenapa dia menelepon malam-malam seperti ini?"Yulia melirik sekilas ke arah Romi yang sedang tertidur lelap lalu beranjak perlahan meninggalkan Romi menuju ruang tengah. Ingin Menerima telepon dari Mawar tanpa membangunkan sang suami. "Halo.""Halo, Yulia," terdengar suara jawaban Mawar yang lirih beserta isakan tangisnya. "Hei, ada apa? Kenapa kamu, Mawar?" tanya Yulia cemas. Khawatir kalau Roy melakukan hal yang buruk pada Mawar. Atau khawatir sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi pada keluarga kecil mereka. "Aku ... keluar darah," sahut Mawar lirih. "Astaghfirullah, kok bisa?! Lalu sekarang kamu di rumah sakit mana?""Aku habis jatuh di kamar mandi. Sekarang masih di rumah. Aku sendirian.""Lah kok bisa sendirian. Dimana Roy?" tanya Yulia bingung. "Tadi sore berangkat ke Pap*a, Yul. Ada konflik lagi di daerah sana.""Oh Tuhan. Lalu kenapa kamu enggak telepon tetangga kamu sesama Persit?""Aku ... sungkan, Yul."Yulia berpikir sejenak. "Lalu, kamu mau aku bagaimana!?"
Ahmad terlihat berpikir sejenak, kemudian menjawab, "Iya benar. Saya telah membeli rumah ini dari pak Dimas. Ada apa? Apa ada masalah yang terkait dengan rumah ini? Saya sudah balik nama lo. Memang rumah ini dijual dengan harga murah. Makanya saya beli. Apa pemilik sebenarnya rumah ini adalah pak Romi?" tanya Ahmad beruntun. Wajahnya tampak gelisah. Khawatir kalau ternyata rumah yang dibelinya lunas dengan harga miring itu adalah rumah yang bermasalah.Romi tersenyum. "Tidak. Tidak seperti itu. Asal Bapak tahu saja, rumah ini memang milik Pak Dimas, saya temannya. Tidak ada masalah kepemilikan apapun dalam rumah ini. Bapak tenang saja. Saya hanya ingin menanyakan sesuatu terkait dengan Dimas. Bukan tentang rumah ini."Ahmad tampak menarik nafas lega. "Oke. Silakan saja ditanyakan. Tapi saya tidak menjamin akan memberikan jawaban yang benar ya. Karena saya juga tidak mengenal pak Dimas dengan baik. Karena saya juga melihat dari media sosial."Romi mengangguk-anggukkan kepalanya."Bai
Flash back on :Romi lalu menelepon Andi, seorang mantan mafia yang dulu pernah menjadi bodyguardnya saat masih bermasalah dengan Dimas. "Apa kabar, Bro! Aku butuh bantuanmu lagi.""Baiklah. Apa yang bisa kubantu, Bos?""Selidiki perempuan bernama Silvia. Nanti foto dan alamatnya kukirimkan padamu. Kalau Silvia bertemu dengan temannya, kamu ikutin ya. Dan pastikan siapa saja teman-teman nya dengan mengirimkan foto mereka padaku.""Baik. Beres. Seperti biasa.""Bagus, terima kasih, Ndi. Dpnya akan segera kutransfer untuk uang bensin dan uang makan.""Hahaha, baiklah Bos. Terima kasih!"Romi mengakhiri panggilan telepon dan segera mengirimkan foto serta alamat Silvia pada Andi. "Baiklah. Kalau kalian mau berperang lagi denganku, aku ladeni. Dan kupastikan aku lah pemenang nya!" desis Romi lalu menyimpan ponselnya dan bersiap untuk pulang ke rumahnya. ***Andi memandang pistol pendek di tangannya. Pistol yang berisi 6 peluru yang segera dimasukan ke dalam sarung nya. Lelaki itu lalu
Romi baru saja sampai di kantor pribadi nya di dalam Gardenia, saat mendadak ada suara ketukan di pintu. "Bos, ini saya.""Masuk saja, Ndi!"Andi memutar kenop pintu dan langsung tampak lah wajah Romi yang sedang berhadapan dengan berkas di meja. "Apa yang terjadi pada kamu?! Kenapa mendadak panggilan telepon nya terputus?" berondong Romi saat melihat wajah Andi yang baru saja menyembul dari balik pintu. Andi berjalan ke arah Romi dan duduk di hadapan bosnya. "Bos, sepertinya memang ada sesuatu pada Silvia.""Apa maksudmu? Kalau bercerita jangan bertele-tele, Ndi."Andi lalu menceritakan tentang sepak terjangnya memata-matai Silvia. Romi mendelik saat mendengar Andi yang mengatakan tentang rumah besar di samping ladang kosong. "Apa kamu sempat memotret rumah dan penghuninya?"Andi mengangguk. "Tapi tidak begitu jelas. Karena gelap sih. Tapi bukannya tidak ada hasil sama sekali," ujar Andi sambil menyodorkan amplop coklat lebar dari dalam jaket kulit nya pada Romi. Romi menerima
Tampak perawat di hadapannya berpikir sejenak."Darimana kamu tahu? Apa ada hubungannya dengan kamu?" tanya Ardi penuh selidik."Darimana saya tahu itu bukan hal yang penting. Tapi jelas ada hubungannya dengan saya dan Yulia."Ardi tampak mendelik mendengar ucapan Romi. "Tidak mungkin!""Nyatanya memang begitu.""Kalau begitu, kamu yang seharusnya cerita terlebih dahulu padaku tentang hubungan antara kebakaran itu dengan mu dan Yulia."Romi berpikir sejenak. "Wah, saya jadi curiga ini. Kenapa kamu begitu ingin menanyakan hubungan antara kebakaran itu dengan saya dan Yulia. Bukannya sudah jelas ya? Saya jadi curiga loh.""Saya tidak tahu menahu tentang kebakaran itu. Tapi yang jelas, setelah saya makan nasi goreng, saya menjadi mengantuk," sahut Ardi cepat. Romi mengerutkan keningnya. "Nasi goreng? Kamu beli dimana nasi goreng itu?""Kenapa? Kamu curiga nasi goreng nya ada obat tidur? Sepertinya tidak, karena nasi goreng itu pemberian dari orang yang paling bisa dipercaya.""Oh ya?
Ada apa ini? Kenapa kamu ingin melihat CCTV di rumah Papa?" Romi menoleh dan tercengang saat melihat ada seorang lelaki muda yang berdiri di belakangnya. Perawakannya sedang. Bahkan lebih tinggi Romi daripada lelaki itu. Romi memandang lelaki itu sementara itu perempuan asisten rumah tangga almarhum segera undur diri. "Jadi Mas siapanya almarhum Dokter Doni?" tanya Romi pada lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya. "Saya Albert, anak tertuanya. Sekarang saya yang bertanya pada kamu, siapa kamu sebenarnya?"Romi menelan ludah dan segera berpikir cepat. "Perkenalkan saya Romi, pasien dokter Doni."Romi mengulurkan tangan kanannya ke arah lelaki itu. Lelaki itu menjabat tangan Romi dengan dahi yang mengernyit. "Ada apa ingin melihat CCTV rumah Papa?" tanya lelaki itu lagi. "Karena saat aku menjadi pasien beliau dan kemari, aku melihat seorang perempuan mencurigakan keluar dari rumah dokter Doni. Dan sa ..,""Hei, kamu merasa nggak kalau yang mencurigakan itu kamu. Kalau k
Romi berpikir sejenak. "Tapi nanti kalau ketahuan bagaimana?""Ya sudah. Ngeles aja salah alamat kek, atau alamat palsu kek. Apa mereka akan mempermasalahkannya?""Kalau ternyata Silvia adalah komplotan Riana dan aku didor di sana gimana dong? Aku nggak mau mati lah. Bakso masih enak. Kamu juga masih enak," tukas Romi menyeringai. Yulia mencubit pipi suaminya keras-keras. "Pikirannya kenapa juga aku enak?"Romi mengelus pipinya yang merah dan tersenyum. "Yah, kamu memang enak banget. Apalagi saat hamil, lebih cantik, lucu, gemoy dan menggemaskan. Jadi mau lagi."Romi meraba bemper belakang Yulia. "Mulai deh. Aku beneran penasaran dengan Silvia. Ayo kerumah Silvia. Kita pakai jaket anti peluru.""Oke. Oke. Nanti aku aja yang pake rompi anti peluru lalu ke rumah Silvia sekaligus ke rumah yang dicurigai Andi.""Nah gitu dong. Agar tidak berlarut-larut. Tapi Yang, kenapa kamu tidak melaporkan nya ke polisi?""Atas dasar apa aku melaporkan Silvia dan rumah itu Yang? Aku nggak punya bukti
Yulia baru saja menyalakan televisi saat terdengar notifikasi pesan whatsapp pada ponsel di sampingnya.Yulia segera meraih ponselnya dan detik berikutnya dia terkejut membaca pesan dari Romi. Dengan tangan gemetar, Yulia menelepon Romi. Tapi ternyata hanya nada sambung yang terdengar. Yulia segera masuk ke dalam kamar. Tanpa dihiraukannya perutnya yang terasa mual, Yulia mengambil jaket anti peluru dan semprotan merica cabe. Tidak lupa pula pisau lipat, dia selipkan di dalam tas selempangnya. Baru saja Yulia hendak mengendarai motor, ponsel nya berdering nyaring. Karena Yulia telah memakai helm, tanpa membaca nama penelepon, dia segera mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo, Yang, ada apa? Apa ada yang mengancam kamu sekarang? Aku berangkat ke tempat yang telah kamu tunjukkan sekarang."Tidak terdengar suara apapun. Hanya sunyi. "Halo, halo! Yang, kamu kenapa? Apa aku perlu langsung memanggil polisi?" tanya Yulia panik. Kemudian terdengar helaan nafas panjang. "Ini Roy, Mbak."
Flash back off :Bau mesiu yang terlontar di udara dan meninggalkan kepulan asap dari lubang pistol membuat semua yang ada di ruangan itu merinding. Romi dengan tegar menatap moncong pistol yang mengarah padanya dalam jarak dua meter itu. Peluru itu menyerempet mengenai lengannya dan membuat Romi merasakan nyeri dan panas. Ternyata Dimas dengan cepat mengayunkan tangan Dewi, sehingga Dewi hanya menembak angin tetapi menyerempet lengan Romi. Mendadak lampu mati. Suasana menjadi hening. "Astaga! Kenapa ini lampu mati?!"Dimas hendak meraih ponsel untuk menyuruh anak buahnya memeriksa saklar, saat mendadak terdengar suara tembakan beruntun di ruang lain. "Astaga! Ada apa ini!""Bos! Menunduklah!"Riana dan Dimas segera meraih ponsel dan mengarahkan ke asal suara saat mendadak terdengar suara pistol menyalak dua kali. Dewi dan Sendi menjerit, sementara itu Riana dan Dimas yang tengah memegang ponsel tercengang melihat kedua Dewi dan Sendi tertelungkup dengan kepala bolong.Riana menj
Flash back on :Yulia menghela nafas cemas saat ponsel Romi tidak aktif. Dia telah menghubungi kedua nomor telepon Romi namun keduanya tidak aktif. Dan dengan terpaksa, walaupun jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam, Yulia tetap menelepon Roy.Roy pun menyanggupi dan langsung menuju ke rumah Yulia. "Roy!""Mbak, maaf la ..,"Yulia memeluk Roy dengan menumpahkan seluruh isak tangis di dada bidang lelaki itu.Dada Roy bergemuruh. Mawar memang tidak ikut Roy ke rumah Yulia, karena saat itu sudah malam, maka dari itu Roy berani membalas pelukan kakak sepupunya. "Kenapa ujian selalu datang bertubi padamu, Roy?" tanya Yulia diantara isak nya. Roy mengelus rambut Yulia dengan lembut dan penuh perasaan. "Sabar Mbak, yang tenang ya. Semua orang pernah diuji. Itu mungkin cara Tuhan agar manusia semakin mencintai Tuhannya.""Tapi aku nggak kuat, Roy! Aku cemas dengan kondisi mas Romi. Dia sedang apa, dimana dan selamat atau tidak." Yulia menangis kian kencang. "Jodoh, rejeki, dan umur i
Romi merasakan kepalanya berat dan matanya pandangan nya masih buram saat dia mencoba membuka mata. Perlahan Romi mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tampak di sekelilingnya ada tumpukan barang-barang rusak, kardus, dan sarang laba-laba. Tak lupa aroma apek dan lembap yang menyapa hidungnya menandakan lamanya tempat ini tak disambangi manusia. "Uh, udah bangun? Halo! Kita bertemu lagi. Lama amat kamu pingsan, lebih dari 10 jam, kamu ngantuk, heh?"Romi menoleh ke asal suara. Meskipun penerangan ruangan itu hanya lampu lima watt dan sinar matahari tidak bisa langsung menerobos masuk ke dalam jendela karena tebalnya debu yang menempel, Romi tetap bisa mengenali wajah perempuan itu. "Silvia? Atau harus kupanggil Riana?" tanya Romi menyeringai. "Wah, kamu ternyata sudah tahu ya?" tanya Riana tersenyum lebar. "Tapi sudah telat tuh! Sebentar lagi kamu akan ke neraka untuk menyusul ayah kamu! Dan setelah kamu mati, Yulia juga akan menyusul kamu!
Di luar dugaan, konsumen itu mendelik dan berkacak pinggang. "Tidak bisa! Ini sama dengan pemerasan! Saya akan mengadukan hal ini pada polisi!"Romi tertawa. "Pemerasan bagaimana? Justru saya yang seharusnya mengadukan Bapak pada polisi karena Bapak sudah mencemarkan nama baik dan memfitnah restoran saya. Selain itu juga Bapak bisa saya tuntut dengan pasal perbuatan tidak menyenangkan.""Enak saja. Saya yang akan menuntut kamu!""Sudahlah, daripada berdebat tanpa akhir, mending sekarang Bapak sekalian ikut ke ruangan saya dan melihat dengan mata kepala sendiri siapa diantara kami yang jujur. Mari ikut saya. Dan kamu Dion, kamu berjaga di meja Bapak ini. Pastikan untuk tidak ada yang mengubah letak makanannya."Romi mengarahkan telapak tangan kanannya ke arah lorong kafe yang menghubungkan ruang makan konsumen dengan ruangannya. Wajah konsumen yang mengaku menemukan rambut di sajiannya memucat. Terlihat keraguan di wajahnya. Namun tak urung dia berjalan menuju ke ruangan Romi. Dengan
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya