Romi baru saja sampai di kantor pribadi nya di dalam Gardenia, saat mendadak ada suara ketukan di pintu. "Bos, ini saya.""Masuk saja, Ndi!"Andi memutar kenop pintu dan langsung tampak lah wajah Romi yang sedang berhadapan dengan berkas di meja. "Apa yang terjadi pada kamu?! Kenapa mendadak panggilan telepon nya terputus?" berondong Romi saat melihat wajah Andi yang baru saja menyembul dari balik pintu. Andi berjalan ke arah Romi dan duduk di hadapan bosnya. "Bos, sepertinya memang ada sesuatu pada Silvia.""Apa maksudmu? Kalau bercerita jangan bertele-tele, Ndi."Andi lalu menceritakan tentang sepak terjangnya memata-matai Silvia. Romi mendelik saat mendengar Andi yang mengatakan tentang rumah besar di samping ladang kosong. "Apa kamu sempat memotret rumah dan penghuninya?"Andi mengangguk. "Tapi tidak begitu jelas. Karena gelap sih. Tapi bukannya tidak ada hasil sama sekali," ujar Andi sambil menyodorkan amplop coklat lebar dari dalam jaket kulit nya pada Romi. Romi menerima
Tampak perawat di hadapannya berpikir sejenak."Darimana kamu tahu? Apa ada hubungannya dengan kamu?" tanya Ardi penuh selidik."Darimana saya tahu itu bukan hal yang penting. Tapi jelas ada hubungannya dengan saya dan Yulia."Ardi tampak mendelik mendengar ucapan Romi. "Tidak mungkin!""Nyatanya memang begitu.""Kalau begitu, kamu yang seharusnya cerita terlebih dahulu padaku tentang hubungan antara kebakaran itu dengan mu dan Yulia."Romi berpikir sejenak. "Wah, saya jadi curiga ini. Kenapa kamu begitu ingin menanyakan hubungan antara kebakaran itu dengan saya dan Yulia. Bukannya sudah jelas ya? Saya jadi curiga loh.""Saya tidak tahu menahu tentang kebakaran itu. Tapi yang jelas, setelah saya makan nasi goreng, saya menjadi mengantuk," sahut Ardi cepat. Romi mengerutkan keningnya. "Nasi goreng? Kamu beli dimana nasi goreng itu?""Kenapa? Kamu curiga nasi goreng nya ada obat tidur? Sepertinya tidak, karena nasi goreng itu pemberian dari orang yang paling bisa dipercaya.""Oh ya?
Ada apa ini? Kenapa kamu ingin melihat CCTV di rumah Papa?" Romi menoleh dan tercengang saat melihat ada seorang lelaki muda yang berdiri di belakangnya. Perawakannya sedang. Bahkan lebih tinggi Romi daripada lelaki itu. Romi memandang lelaki itu sementara itu perempuan asisten rumah tangga almarhum segera undur diri. "Jadi Mas siapanya almarhum Dokter Doni?" tanya Romi pada lelaki yang usianya lebih tua lima tahun darinya. "Saya Albert, anak tertuanya. Sekarang saya yang bertanya pada kamu, siapa kamu sebenarnya?"Romi menelan ludah dan segera berpikir cepat. "Perkenalkan saya Romi, pasien dokter Doni."Romi mengulurkan tangan kanannya ke arah lelaki itu. Lelaki itu menjabat tangan Romi dengan dahi yang mengernyit. "Ada apa ingin melihat CCTV rumah Papa?" tanya lelaki itu lagi. "Karena saat aku menjadi pasien beliau dan kemari, aku melihat seorang perempuan mencurigakan keluar dari rumah dokter Doni. Dan sa ..,""Hei, kamu merasa nggak kalau yang mencurigakan itu kamu. Kalau k
Romi berpikir sejenak. "Tapi nanti kalau ketahuan bagaimana?""Ya sudah. Ngeles aja salah alamat kek, atau alamat palsu kek. Apa mereka akan mempermasalahkannya?""Kalau ternyata Silvia adalah komplotan Riana dan aku didor di sana gimana dong? Aku nggak mau mati lah. Bakso masih enak. Kamu juga masih enak," tukas Romi menyeringai. Yulia mencubit pipi suaminya keras-keras. "Pikirannya kenapa juga aku enak?"Romi mengelus pipinya yang merah dan tersenyum. "Yah, kamu memang enak banget. Apalagi saat hamil, lebih cantik, lucu, gemoy dan menggemaskan. Jadi mau lagi."Romi meraba bemper belakang Yulia. "Mulai deh. Aku beneran penasaran dengan Silvia. Ayo kerumah Silvia. Kita pakai jaket anti peluru.""Oke. Oke. Nanti aku aja yang pake rompi anti peluru lalu ke rumah Silvia sekaligus ke rumah yang dicurigai Andi.""Nah gitu dong. Agar tidak berlarut-larut. Tapi Yang, kenapa kamu tidak melaporkan nya ke polisi?""Atas dasar apa aku melaporkan Silvia dan rumah itu Yang? Aku nggak punya bukti
Yulia baru saja menyalakan televisi saat terdengar notifikasi pesan whatsapp pada ponsel di sampingnya.Yulia segera meraih ponselnya dan detik berikutnya dia terkejut membaca pesan dari Romi. Dengan tangan gemetar, Yulia menelepon Romi. Tapi ternyata hanya nada sambung yang terdengar. Yulia segera masuk ke dalam kamar. Tanpa dihiraukannya perutnya yang terasa mual, Yulia mengambil jaket anti peluru dan semprotan merica cabe. Tidak lupa pula pisau lipat, dia selipkan di dalam tas selempangnya. Baru saja Yulia hendak mengendarai motor, ponsel nya berdering nyaring. Karena Yulia telah memakai helm, tanpa membaca nama penelepon, dia segera mendekatkan ponsel ke telinganya. "Halo, Yang, ada apa? Apa ada yang mengancam kamu sekarang? Aku berangkat ke tempat yang telah kamu tunjukkan sekarang."Tidak terdengar suara apapun. Hanya sunyi. "Halo, halo! Yang, kamu kenapa? Apa aku perlu langsung memanggil polisi?" tanya Yulia panik. Kemudian terdengar helaan nafas panjang. "Ini Roy, Mbak."
Semua penjahat itu menoleh serentak ake arah Roy dan Yulia yang baru datang.Serentak mereka melepaskan Romi yang terjatuh dan langsung kabur menuju mobil masing-masing.Yulia segera berlari menuju ke arah Romi yang terjatuh, sedangkan Roy segera menangkap salah satu dari para penjahat itu. "Hei, kalian mau kabur kemana? Ngaku dulu kalian disuruh siapa?!"Bugh!Plakkk! Blugh!Roy menghadiahi penjahat itu dengan beberapa pukulan. Sedangkan beberapa penjahat yang lain segera melarikan diri. Penjahat yang tertangkap itu tetap terdiam dan berusaha melindungi wajahnya dari pukulan Roy dengan menggunakan kedua tangan. "Kamu disuruh siapa, ha?! Ngomong yang jujur!"Roy mencengkram kerah penjahat itu dan mendekatkannya ke mobil Romi. Ditekannya leher si penjahat dengan sikunya, sehingga penjahat tidak bisa bergerak kemanapun. "Katakan padaku! Siapa yang menyuruh kamu!"Bukannya ketakutan, penjahat itu malah tertawa menyeringai dan meledek Roy."Walaupun lu tembak gue, gue enggak akan ngo
"Setelah polisi mendatangi rumah yang diduga markas mereka, ternyata rumah itu telah kosong. Ditinggalkan oleh penghuninya.""Apa?""Iya, benar. Rumahnya sudah kosong melompong.""Lalu apa kata polisi?"Sebelum Roy sempat menjawab, Romi telah lebih dulu meraih ponsel yang dipegang Yulia. "Halo. Kamu masih di kantor polisi?""Masih. Masih di halaman nya. Mau pulang ini. Ada apa? Kamu mau nitip apa? Apa mau dijenguk sama dibawakan oleh-oleh?" tanya Roy dengan ekspresi geli. Romi pun tak kalah geli. "Buat apa, Roy? Nggak usah kesini. Di sini sudah ada Yulia yang baik banget dan setia untukku. Kalau ditambah kamu, nanti kondisiku malah memburuk."Roy tertawa. "Eh, tapi kok kayaknya mbak Yulia jadi agak gemuk ya? Cocok berarti mekaniknya," ledek Roy, meskipun di hatinya masih ada sedikit rasa cemburu. "Tentu saja. Kan Yulia hamil kembar."Roy terperanjat. Ada rasa bahagia dan kecewa menyelusup di dalam dadanya. Karena dia bukan ayah dari janin yang ada di dalam perut Yulia. "Wah, sela
Suster itu terperanjat. "Bapak dan Ibu harap tenang dulu. Ibu tetap duduk dan jangan kemana-mana. Saya akan langsung mengambil kursi roda dan mengantar Ibu ke UGD." Yulia mengangguk, dan perawat itupun pergi dari hadapan Yulia dan Romi. Yulia memegangi perutnya dan mendesis kesakitan, membuat Romi semakin bingung. "Yang? Sakit banget ya? Aku gendong ke UGD ya?" Yulia melambaikan tangannya dan memberi isyarat tidak usah pada Romi. "Kamu kan juga terluka. Lihat saja, ada beberapa jahitan di wajah kamu. Dan beberapa warna ungu di tubuh kamu, untung saja setelah dilakukan rontgen, kamu tidak mengalami perdarahan atau luka dalam, Yang," tukas Yulia masih memegangi perutnya. "Jangan mencemaskan aku! Kondisi kamu seperti ini pasti karena stres memikirkan aku. Memikirkan masalah yang sedang kita hadapi. Iya kan?" "Sst, kamu jangan ngomong kayak gitu. Kita ini suami istri. Masalah kamu juga menjadi masalah aku. Begitu juga sebaliknya. Aku akan bertahan Sayang. Begitupun anak-anak kita. P