"Setelah polisi mendatangi rumah yang diduga markas mereka, ternyata rumah itu telah kosong. Ditinggalkan oleh penghuninya.""Apa?""Iya, benar. Rumahnya sudah kosong melompong.""Lalu apa kata polisi?"Sebelum Roy sempat menjawab, Romi telah lebih dulu meraih ponsel yang dipegang Yulia. "Halo. Kamu masih di kantor polisi?""Masih. Masih di halaman nya. Mau pulang ini. Ada apa? Kamu mau nitip apa? Apa mau dijenguk sama dibawakan oleh-oleh?" tanya Roy dengan ekspresi geli. Romi pun tak kalah geli. "Buat apa, Roy? Nggak usah kesini. Di sini sudah ada Yulia yang baik banget dan setia untukku. Kalau ditambah kamu, nanti kondisiku malah memburuk."Roy tertawa. "Eh, tapi kok kayaknya mbak Yulia jadi agak gemuk ya? Cocok berarti mekaniknya," ledek Roy, meskipun di hatinya masih ada sedikit rasa cemburu. "Tentu saja. Kan Yulia hamil kembar."Roy terperanjat. Ada rasa bahagia dan kecewa menyelusup di dalam dadanya. Karena dia bukan ayah dari janin yang ada di dalam perut Yulia. "Wah, sela
Suster itu terperanjat. "Bapak dan Ibu harap tenang dulu. Ibu tetap duduk dan jangan kemana-mana. Saya akan langsung mengambil kursi roda dan mengantar Ibu ke UGD." Yulia mengangguk, dan perawat itupun pergi dari hadapan Yulia dan Romi. Yulia memegangi perutnya dan mendesis kesakitan, membuat Romi semakin bingung. "Yang? Sakit banget ya? Aku gendong ke UGD ya?" Yulia melambaikan tangannya dan memberi isyarat tidak usah pada Romi. "Kamu kan juga terluka. Lihat saja, ada beberapa jahitan di wajah kamu. Dan beberapa warna ungu di tubuh kamu, untung saja setelah dilakukan rontgen, kamu tidak mengalami perdarahan atau luka dalam, Yang," tukas Yulia masih memegangi perutnya. "Jangan mencemaskan aku! Kondisi kamu seperti ini pasti karena stres memikirkan aku. Memikirkan masalah yang sedang kita hadapi. Iya kan?" "Sst, kamu jangan ngomong kayak gitu. Kita ini suami istri. Masalah kamu juga menjadi masalah aku. Begitu juga sebaliknya. Aku akan bertahan Sayang. Begitupun anak-anak kita. P
Yulia dan Romi berpandangan. "Eureka!""Apa yang akan kamu lakukan sekarang, Yang?""Kamu jangan menanyakan hal itu Yang, kamu fokus dong pada kehamilan kamu."Yulia mendengus. "Tapi aku juga ingin tahu tentang rencana kamu, Yang. Ya? Plis!""Big no! Aku tidak akan membiarkan kamu dalam bahaya."Yulia menghela nafas panjang. "Oke. Oke. Baiklah. Sekarang aku akan fokus dengan kehamilan ku. Aku enggak akan kepo dengan urusan Riana dan Dimas. Tapi aku minta tolong juga agar kamu selalu hati-hati kalau menyelidiki mereka. Aku tidak ingin anak-anakku lahir tanpa melihat ayahnya." Yulia merajuk. "Sst, kamu ini ngomong apa sih? Anak kita insyallah akan lahir sehat lancar dan selamat semua. Aku juga akan menemani persalinan kamu."Romi menggenggam erat tangan Yulia dan menciumnya perlahan. "Janji?""Aku berjanji!""Baiklah Yang. Aku juga akan selalu mendoakan untuk kebaikan kita semua.""Aamiin."Yulia dan Romi sesaat berpandangan dengan penuh cinta. Dan panggilan nama dari petugas apotek
Romi nyaris berlari ke arah restoran depan kafenya. Dan sesampai di sana, dijumpai nya begitu banyak konsumen memadati kafe itu. Sebenarnya lebih cocok disebut warung daripada kafe. Karena memang hanya terdiri dari beberapa lesehan dan meja-meja persegi panjang berkaki pendek. Rukonya cukup besar. Dan hanya menyediakan soto ayam, soto babat, bakso dan aneka es. Sangat jauh berbeda dari segi tempat dan variasi menu. Ada logo besar di atas dindingnya. Dewi Fortuna.Ada beberapa payung besar di luar kafe lengkap dengan meja dan kursinya. Untuk berjaga-jaga kalau di bagian dalam warung sudah kehabisan tempat duduk untuk konsumen. Romi termangu di depan warung baru itu saat ada sebuah suara mengagetkannya. "Selamat datang, Pak. Mau pesan apa? Mumpung ada promo makan gratis ini. Dan ini hari terakhir, Pak," sapa salah seorang pramusaji yang membawa nampan melewati Romi dan memberikan pesanan pada pengunjung di hadapannya. Romi berpikir sejenak. "Oh, ya. Boleh. Tolong soto ayam satu, ya
Romi terhenyak menatap foto Silvia. Bergegas Romi mengirim pesan pada Andi. [Ndi, tolong selidiki juga apakah ada pasien bernama Dewi Fortuna di klinik itu. Setelah ini kukirim fotonya.]Romi memotret pigura yang tergantung di hadapannya. Dan setelah melingkari foto Dewi, Romi segera mengirimkannya kepada Andi. [Oke Bos. Tunggu informasi dari saya lebih lanjut.]Romi lalu menyimpan ponselnya ke saku celana. Lalu bergegas menuju ke salah seorang pramusaji sambil membawa mangkoknya."Permisi Mbak, saya mau bayar. Tapi mau saya bawa pulang. Mendadak tadi ada telepon penting, dan saya tidak bisa makan di sini."Romi mengulurkan mangkok nya ke arah pramusaji di depannya. Dan gadis itu dengan cekatan menuang bakso dan es teh milik Romi dari mangkok ke dalam plastik serta melengkapi nya dengan bumbu. Romi mengucapkan terimakasih dan segera membayar pesanannya. Lelaki itu bergegas masuk ke dalam mobilnya dan memacunya menuju laboratorium."Awas saja kalau ternyata Dewi adalah orang yang sa
Romi dan Yulia serentak mendekat ke arah ponsel Albert. Dan tak lama kemudian Romi terlihat terkejut walaupun dia masih merasa ragu. "Ini mirip sekali dengan Dewi, pemilik warung di depan kafeku."Yulia mendelik mendengar perkataan sang suami. "Ap-a? Warung baru? Dewi? Kok kamu nggak cerita, Yang?" tanya Yulia. Romi tersenyum sambil mengusap perut istrinya. "Aku nggak mau kamu mikir berat, Yang. Aku nggak mau kamu stres. Cukup kiranya kamu dan anak kita kemarin dalam posisi yang berbahaya. Jadi sekarang aku tidak ingin kamu mikir hal selain kehamilan kamu."Albert menoleh pada Yulia. "Jadi, kamu hamil?"Yulia mengangguk dan tersenyum. "Iya. Masih berusia 20 minggu.""Wah selamat ya. Romi benar, kamu jangan memikirkan hal ini. Biar kami para lelaki yang menyelesaikan nya."Yulia mengangguk meskipun dalam hatinya dia tidak setuju. "Kalau kamu yakin, kita bisa melaporkan nya pada polisi, kan?""Atas kasus apa? Tuduhan membunuh? Tidak mungkin? Kita tidak punya bukti. Kecuali ..,""Kecu
"Oke. Jadi informasi apa yang telah kamu dapatkan?""Dewi itu juga menjalani operasi plastik di klinik yang sama dengan Silvia!""Apa?""Ya benar. Saya telah menghack sistem komputer di rumah sakit tempat Riana melakukan operasi plastik. Dan menemukan Dewi ada diantara pesertanya. Hanya melakukan pencabutan gigi geraham dan pemasangan implan pada hidung. Tidak melakukan operasi plastik total seperti Riana atau Silvia."Romi tercengang. "Bagus. Terimakasih infonya.""Apa ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?""Kamu ajak tiga orang teman kamu untuk mencari dan mengawasi rumah Riana dan Dewi. Lalu laporkan padaku.""Oke. Siap Bos."Romi menutup ponselnya dan memandang ke arah Yulia. "Kenapa, Yang? Kok mandangnya aneh gitu?""Tadi siapa yang telepon? Cerita yang lengkap, Mas. Insyallah kandungan ku tidak apa-apa."Romi berpikir sejenak. Lalu mengangguk. Selanjutnya dia menceritakan apa yang dilaporkan oleh Andi."Kok kamu nggak lapor polisi sih, Mas? Malah menyelidiki sendiri?"Romi mem
Romi tersenyum saat melihat konsumen di kafenya membludak. Seluruh staf tampak antusias mengantar minuman yang dipesan oleh konsumen karena lauk dan nasi sudah disajikan secara prasmanan. Romi mendekat ke arah Dion yang sedang duduk di belakang kasir dengan takjub melihat ke arah kerumunan konsumen di belakangnya. "Bos, keren idenya. Warung kita mendadak ramai. Tapi ..,""Tapi apa? Katakan saja apapun yang ada di hatimu.""Tapi bagaimana kalau mereka ingin membungkus untuk dibawa pulang makanan yang tidak habis? Kan dendanya tidak berlaku?"Romi tersenyum. "Enggak bisa begitu. Kafe dan resto ini memang dikhususkan untuk makan di tempat bukan untuk dibawa pulang kalau tidak habis. Apa sudah ada diantara para konsumen yang membayar?" tanya Romi. Doin menggeleng. "Belum lah Bos. Warung ini kan baru saja buka. Mereka juga masih antri mengambil makanan."Romi hanya manggut-manggut. "Ya sudah.""Eh, Bos tunggu!" Seruan dari Dion mengagetkan Romi. "Ada apa sih?""Saya ingin mengajukan id