"Gimana Chandra, tanya istrimu itu, apa dia sanggup menerima syarat dari Ibu?" bu Hesti menatap seraya penuh penekanan.
"Ya Bu, kami setuju." jawab Chandra tegas.Nadira mengerutkan kening ketika suaminya memberikan jawaban tanpa bertanya dulu padanya, namun setelah memberikan jawaban Chandra dengan erat menggenggam tangan Nadira, meskipun tatapan matanya mengarah pada ibu Hesti."Oke kalau gitu, aku dan Nadira mau istirahat dulu," pamit Chandra mengajak Nadira pergi."Mau ke mana si Chandra, kok buru-buru banget. Kamu mending temenin Ibu belanja dulu ke supermarket, ya," ajak bu Hesti dengan semangat."Bu, kenapa nggak besok aja sama Mbak Anita, Mbak Anita kan di rumah terus," tolak Chandra."Chandra, kamu kenapa si? Dua hari nikah sama Nadira aja kamu udah berubah banget gitu sikapnya sama Ibu, Ibu kecewa sama kamu," mata bu Hesti menganak sungai."Bukan seperti itu Bu, tapi aku dan Nadira harus istirahat cepet karena besok pagi-pagi kami mau pergi ke kantor. Jadi kami harus istirahat lebih awal." jelas Chandra. Ia terkesan jahat karena bu Hesti tiba-tiba menangis di hadapan Nadira.Nadira menghentikan langkahnya dan menahan suaminya, tatapan Nadira seolah ingin bahwa suaminya itu menuruti keinginan sang ibu yang merengek seperti bayi, sementara Anita dan Roy hanya bisa menatap bu Hesti bingung."Bu, Chandra dan Nadira itu akan pergi ke kantor besok pagi, jadi mereka butuh waktu istirahat," ucap Roy, membantu adiknya itu lolos dari jeratan sang ibu."Tapi ini masih sore, masih ada waktu untuk mereka jika ingin istirahat, lagian sebelum Nadira menjadi istri Chandra, kita sering kan ngobrol malam di sini sampai larut," bu Hesti menimpali."Tapi sekarang sudah berbeda Bu, aku sudah memiliki istri dan aku bertanggung jawab atas perasaannya. Sudah ya Bu, tolong jangan bersikap seolah aku jahat pada Ibu." tegas Chandra nekat, ia membawa Nadira pergi menuju ke kamar.***Keesokan paginya, sebelum keluar dari kamar Nadira membersihkan tempat tidur dan juga kamar mandi yang mereka pakai, sementara Chandra sendiri menyapu lantai dan melipat baju kotor yang hendak mereka bawa ke laundry, setelah semua siap, mereka pun bergegas keluar.Bu Hesti sudah berada di depan pintu kamar Chandra, spontan kehadirannya membuat sepasang suami itu terkejut karena kedatangan sang ibu yang tiba-tiba."Ibu, kenapa Ibu ada di kamarku?" tanya Chandra heran."Ibu mau ngasih kamu ini, kamu mau ke kantor kan? Ini bekal untuk kamu," ucap bu Hesti dengan semangat memberikan sebuah kotak di tangannya."Cuma satu Bu? Buat Nadira mana?" Chandra menerima kotak itu penuh tanya."Iya cuma satu aja, soalnya Nadira di kantor itu kan jadi sekertaris, pasti dia akan makan di luar sama atasannya, jadi Ibu pikir Nadira tidak perlu bawa bekal." jawab bu Hesti dengan tanpa menatap wajah ayu Nadira.Chandra menghela nafas panjang, ingin rasanya memprotes tetapi Nadira sudah keburu menahan. Nadira masih tersenyum menanggapi ibu mertua nya yang begitu dingin padanya tetapi tidak dengan suaminya itu.Nadira mengajak Chandra untuk segera pamit, tidak mau berlama-lama menghadap ibu mertua yang terlihat sangat tidak menyukai nya itu. Di perjalanan Nadira hanya diam saja, tidak ada pembicaraan antara Chandra dengan dirinya hingga membuat Chandra merasa semakin bersalah.Chandra menggenggam erat tangan Nadira dan mengecupnya, Nadira tersenyum tipis menanggapi sentuhan sayang sang suami."Sayang, maafin sifat ibuku ya, selama ini ibu memang sangat bergantung dan manja denganku, apalagi saat mas Roy menikah dengan mbak Anita, setiap hari ibu bersikap begitu manja," ucap Chandra, rasa bersalahnya tidak bisa ia sembunyikan terhadap ibunya."Ya Mas, nggak papa kok, aku ngerti. Mungkin aku juga harus membutuhkan banyak waktu untuk bisa mendapatkan kamu sepenuhnya, aku tidak menyalahkan siapa-siapa," lirih Nadira dengan besar hati."Ya ampun, aku memang tidak salah memilih pasangan, kamu adalah wanita terbaik Nadira, aku sangat mencintaimu." Chandra mengucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh.Nadira hanya membalasnya dengan senyuman, meskipun sebenarnya ia sangat terluka dengan sikap dan sindiran sang ibu mertua, namun Nadira masih berusaha tetap menghormati hubungan mereka. Tak lama kemudian mobil taksi yang membawa mereka itu akhirnya tiba di depan kantor, Chandra dan Nadira pun keluar untuk segera melakukan tugas mereka masing-masing, meskipun mereka satu kantor. Tetapi mereka tidak satu ruangan, Nadira naik ke lantai atas melalui lift karena ruangannya berada di samping ruangan pemilik perusahaan tersebut, sementara Chandra sendiri berada di lantai bawah sebagai karyawan biasa.***Saat makan siang, Nadira menuruni lift bersama beberapa teman yang mengajaknya makan siang di luar kantor, karena Nadira tidak membawa bekal seperti halnya Chandra, akhirnya Nadira pun bersedia."Aku ke ruangan mas Chandra dulu ya, mau ngajakin dia makan di luar juga," ucap Nadira pamit pada teman-temannya."Oke Nad, kita tunggu di luar ya." jawab salah satu dari mereka.Nadira melempar senyum. Dan ia pun segera menemui sang suami yang saat itu hendak membuka kotak makanan yang ia bawa dari rumah, saat mengetahui istrinya datang, Chandra dengan cepat menyambutnya."Sayang,""Mas, kamu lagi mau makan ya? Ya udah kalau gitu, kamu lanjut dulu,""Kamu mau makan bareng sama aku di sini? Yuk kita makan masakan Ibu bareng-bareng,""Tapi, apa kamu kenyang Mas kalau makan bareng sama aku,""Pasti kenyang sayang, yuk duduk."Chandra menuntun istrinya duduk di ruangan yang tidak begitu lebar itu. Saat hendak menyuapi Nadira, tiba-tiba ponsel Chandra berdering, Chandra pun mengurangkan suapan pertamanya untuk Nadira, saat ia tahu bahwa yang menelponnya adalah bu Hesti. Nadira terdiam di samping Chandra, menunggu suaminya selesai bicara pada ibunya.[Ya bu, ada apa?][Chandra, ini sudah waktunya makan siang, jangan lupa habiskan bekal yang ibu bawakan itu sendiri ya, Nadira pasti makan di luar kan sama temen-temennya? Jadi kamu habiskan bekalnya ya][I-iya bu, ya sudah kalau gitu, aku makan dulu]TuuutSambungan telepon itu dimatikan begitu saja oleh Chandra yang tidak enak hati dengan Nadira, sudah pasti Nadira mendengar ucapan ibunya, karena Chandra memang sengaja menyalakan speakernya tadi.Nadira menghela nafas, ingin melakukan adegan romantis saja bersama suami, harus gagal karena bu Hesti memerintahkan suaminya untuk menghabiskan makanannya seorang diri."Ya udah Mas, kamu makan saja, biar aku makan di luar," ucap Nadira, hendak bangkit meninggalkan Chandra."Tunggu sayang, mau ke mana? Omongan ibu jangan dimasukan ke hati ya, yuk kita makan aja, lagian ini banyak banget sayang, aku nggak habis nanti," ajak Chandra membujuk Nadira agar bersedia duduk bersamanya."Mas, aku nggak mau mengurangi jatah makan kamu, ibu pasti sudah paham banget sama porsi makan kamu, jadi nggak papa kok aku makan di luar aja ya." jawab Nadira menolak, dengan halus.Nadira menutup pintu dan dengan cepat punggung wanita yang ia cintai itu menghilang dari pandangan.1 bulan kemudianNadira dan Chandra berangkat seperti biasa, mereka pun bekerja seperti hari-hari sebelumnya, bekerja keras dan telaten adalah tekat keduanya, setelah menikah mereka memutuskan untuk menunda kehamilan, agar mereka dapat segera pindah dan tinggal berdua di rumah impian yang mereka incar. Hari ini adalah hari gajian bagi semua karyawan, Nadira dan Chandra pun ikut menanti giliran mendapatkan panggilan, keduanya saling berpegangan tangan karena ini kali pertama mereka mendapat gaji di perusahaan yang sama. "Mas, gimana kalau setelah kita mendapatkan gaji nanti, gaji ku di tabung, sementara gaji kamu untuk sehari-hari kita bersama keluarga?" usul Nadira dengan semangat. "Boleh sayang, uang mu adalah uang mu, dan uang ku adalah uang mu, aku akan memberikan semua gaji ku padamu," ucap Chandra melempar senyum. "Terima kasih Mas, aku berjanji akan menggunakan uang itu dengan baik, aku tidak akan boros nantinya." sambung Nadira melempar senyum. Chandra tentu saja senang me
"Nadira, Ibu memang seperti itu saat bersama dengan Chandra. Ibu se-sayang itu dengan putra bungsunya, kamu yang sabar ya," ucap Roy, ketika menatap adik iparnya yang terlihat sedih. "Lagian kamu si Nadira, harusnya kamu itu tahu kalau Chandra itu milik ibunya, jadi kamu jangan berlebihan sebagai istri, nanti ibu bisa murka sama kamu!" celetuk Anita menimpali. "Terima kasih Kak, Mbak, sudah memberitahuku, tapi selama aku tinggal di sini, aku juga tidak pernah melampaui batas, aku berusaha untuk mengerti jika mas Chandra adalah milik ibunya, tapi di sini aku juga seorang istri yang berhak atas suami ku. Aku masih menahan diri agar tidak melayani mas Chandra di meja makan, tapi apa salahnya jika suamiku sendiri yang meminta." jelas Nadira mengutarakan haknya. Nadira pamit dan masuk ke dalam kamar, tanpa menyuapkan makanan sedikit pun ke mulut, sama halnya dengan bu Hesti yang meninggalkan meja makan tanpa menikmati makanan yang sudah ia hidangkan. Roy menatap lekat istrinya, ia terl
"I-ibu," sontak Nadira bangun dari tidurnya. "Enak banget ya kamu, suaminya udah berangkat kerja, tapi kamu masih aja tiduran di kamar, nggak ada pikiran apa kamu bersih-bersih rumah bantuin kakak ipar kamu itu!" marah bu Hesti. "Ya Bu, aku akan bangun. Sebenarnya aku lagi nggak enak badan, karena jadwal aku berangkat jam sembilan nanti, aku berpikir mau melanjutkan istirahat dulu di rumah," ucap Nadira mencoba menjelaskan. "Alasan saja! Sana bantu-bantu Anita, Ibu nggak mau tahu ya, setelah pulang dari supermarket, Ibu harus melihat semua rumah ini dalam keadaan rapi, enak saja tidur. Semua yang ada di rumah ini juga sudah bangun dan bekerja!" celetuk bu Hesti tidak terima dengan sikap menantunya. Nadira hanya terdiam, menunggu sampai ibu mertuanya itu keluar dari kamar. Tidak bisa dihindari lagi, ia harus keluar dari kamar itu lalu melakukan pekerjaan rumah, kedatangan Zahra disambut oleh Anita yang sudah mendapatkan tugas dari ibu mertuanya sebelum ia pergi. "Nih, kamu di suru
"Dok, bagaimana keadaan adik ipar saya?" tanya Roy panik. "Pasien hanya mengalami kelelahan, ada baiknya jika pasien istirahat total di rumah. Dan saya akan memberikan resep obat yang harus ditebus di Apotek, ya," ucap dokter Linda memberitahu. "Baik Dok, terima kasih banyak." jawab Roy lega. Tak lama kemudian, Roy menerima sebuah resep obat yang disodorkan oleh dokter Linda. Tak menunggu waktu lama, Roy pun pergi meninggalkan rumah untuk segera menebus obat, di perjalanan Roy memberitahukan Chandra tentang keadaan Nadira. Mendengar kabar bahwa Nadira jatuh pingsan membuat Chandra sangat tidak tenang, ia pun memilih untuk meminta izin agar ia bisa pulang lebih cepat. Setibanya di rumah, Chandra segera menuju kamar pribadinya bersama Nadira. Di sana ia melihat Nadira sedang terbaring dengan bibir pucatnya. Melihat keadaan sang istri yang sangat memperihatinkan membuat Chandra merasa bersalah. "Sayang, bangun sayang, maafkan aku, seharusnya aku tidak meninggalkan mu tadi, maafkan
"Ada apa Chandra, kenapa lo ajak gue ke sini?" tanya Roy, sambil menikmati sebatang rokok di tangannya. "Gue bingung sama sikap ibu dan juga mbak Anita, Kak. Kenapa ya, mereka itu kayaknya nggak suka banget sama Nadira," keluh Chandra pada sang kakak. "Kalau soal itu gue juga nggak bisa jawab Ndra, gue juga bingung, kenapa ibu sikapnya kayak gitu ke lo, perasaan dulu saat gue nikah sama Anita, ibu nggak kayak gitu." jawab Roy pun ikut bertanya-tanya. Tatapan Chandra mengarah ke langit, saat ia mengajak Roy duduk di lantai atas, menikmati hembusan angin malam di temani dengan cemilan ringan. Saat itu Chandra sudah memastikan bahwa Nadira telah istirahat di kamar, ia ingin mencari solusi agar kehidupan rumah tangga nya bersama dengan Nadira tetap berjalan dengan baik. Roy ikut merasa bersalah pada Chandra, atas perbuatan sang istri yang sudah kelewatan pada adik iparnya itu, ia ikut memikirkan tentang solusi yang tepat agar Nadira tetap merasa baik saat tinggal bersama keluarga suam
"Bu, aku dan Nadira sudah sepakat, kalau kami akan mencari apartemen atau kontrakan untuk kami tinggal," ucap Chandra setelah cukup lama ibunya diam. "Apa! Jadi kamu dan Nadira akan pergi dari rumah ini?!" bu Hesti terkejut mendengar keputusan Chandra. "Ya Bu, kami ingin mandiri, kami ingin suatu saat bisa membeli rumah yang kami impikan, kami ingin membina rumah tangga kami dengan cara kami," seru Chandra membenarkan. "Tidak Chandra, Ibu tidak setuju! Mana bisa kamu pergi dari rumah ini dan meninggalkan Ibu." tolak bu Hesti tidak setuju. Chandra membalas tatapan ibunya, menjelaskan bahwa keinginannya itu adalah suatu cara untuk membuat semuanya baik, baik untuk Nadira dan juga ibunya, agar tidak tersiksa satu sama lain lantaran sama-sama menyayanginya. Tetapi tetap saja, bu Hesti menolak keras dan tidak mau ditinggalkan oleh Chandra selaku putra kesayangan yang ia miliki. "Roy saja yang sudah menikah hampir lima tahun tidak pernah punya niat mau meninggalkan Ibu, Chandra. Kenap
"Puas kamu, puas karena telah membuat putraku memilih pergi dari rumah yang selama ini telah membesarkannya, puas!" bentak bu Hesti ketika Nadira hendak berangkat bekerja. "M-maksud Ibu apa? Bu, aku sama sekali tidak berniat seperti itu," ucap Nadira dengan suara gemetar. "Bohong! Kamu adalah wanita yang sangat licik, Nadira. Kamu bersikap sangat baik pada Chandra di depan ku, tetapi di belakang kamu merayu dia agar bersedia meninggalkan ibunya, benar-benar jahat." hardik bu Hesti marah. Nadira menggelengkan kepala, ia tidak membenarkan tuduhan sang ibu mertua terhadap dirinya, tuduhan itu begitu menyakitkan bagi Nadira. Pagi ini Chandra berangkat lebih dulu, dan membiarkan Nadira membantu Anita di rumah karena Nadira memiliki jam masuk kantor yang berbeda dengan Chandra. Hingga membuat bu Hesti dengan sesuka hati mencerca dan memarahi dengan segala tuduhannya. Anita ikut yang mendengar ibu mertuanya sedang memarahi adik ipar, justru ikut berkobar dan menyerang Nadira. Nampaknya
[Halo pak][Halo, Chandra.. Di mana Nadira? Kenapa sampai sekarang dia belum datang, ada meeting pagi ini di luar kantor][Ya pak, saya juga bingung, ibu saya bilang kalau Nadira sudah jalan dari rumah, tapi kenapa belum tiba juga, saya akan coba cari tahu dulu ya pak][Ya sudah kalau begitu, cepat tolong beritahu dan suruh Nadira ke ruangan saya langsung jika sudah sampai!]TuuutPanggilan telepon dari atasan Nadira itu akhirnya berakhir, perasaan Chandra mulai tidak karuan, ia menatap bu Hesti dan juga Anita, rasanya sangat ganjal sekali saat ia menemukan tas milik Nadira berada di lantai, dan ia sangat yakin sekali jika salah satu dari mereka mengetahui, atau bisa jadi mereka semua tahu tentang keberadaan Nadira. Tatapan Chandra pun penuh selidik ke arah bu Hesti dan juga Anita, hal itu membuat mereka semakin terlihat tegang. "C-Chandra, kenapa kamu menatap kami seperti itu," bu Hesti bersuara dengan nada gemetar. "Bu, aku mohon tolong jawab dengan jujur, di mana Nadira? Tadi at
"Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
Chandra dan Nadira pun masuk ke dalam ruangan Chandra dan melihatnya yang tengah duduk di atas ranjang.Seketika Chandra pun menoleh ke arah Nadira dan Chandra yang mulai mendekatinya."Bagaimana kabarmu, Chandra?" tanya Wildan pada Chandra."Emmmm k-kabarku baik," jawab Chandra terbata.Ia masih tak percaya melihat kedatangan Chandra yang tiba-tiba apalagi ia datang bersama dengan Nadira.Mata Chandra pun sedikit melirik ke arah tangan Nadira yang tampak menggandeng tangan Wildan."Syukurlah kalau begitu. Aku sempat terkejut mengetahui keadaanmu yang cukup parah begini. Maaf ya karena aku baru bisa menjenguk mu," ucap Wildan lagi."I-iya, tidak apa-apa, kok. Tapi kenapa kamu datang ke sini? Apa kamu tidak bekerja?" tanya Chandra."Aku meliburkan diri untuk hari ini karena aku ingin menjenguk mu."Tak akan Wilda pun melepaskan pegangan tangan Nadira dan menoleh ke arah Nadira."Apa bisa aku bicara berdua saja dengan Chandra?" tanya Wildan pada Nadira."T-tapi, Mas." Nadira yang takut
"Sekali lagi aku tanya padamu, Nadira! Apa kamu masih mencintai Chandra?" tanya Wildan dengan nada suara bergetar.Nadira hanya bisa tertunduk di hadapan Wildan. Tangannya gemetaran dan kedua matanya berkaca-kaca.Perlahan butiran kristal dari kedua mata Nadira jatuh membasahi pipinya. "Aku minta maaf mas jika aku sudah membuatmu marah tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku ini padamu.""Jadi maksud mu?" tanya Wildan cepat."Aku memang masih mencintai mas Wildan tapi aku sama sekali tidak pernah berpikir untuk menjalin hubungan kembali dengan mas Wildan. Aku tahu ini sangat menyakiti dirimu tapi asal kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk kembali dengan mas Chandra."Nadira meraih tangan Wildan perlahan. Tampak tak ada perlawanan dari Wildan saat itu. Tangan kekar Wildan kini ada digenggaman Nadira. Perlahan Nadia mengangkat tangan Wildan dan menariknya hingga ke dalam dadanya."Aku pastikan bahwa aku tidak akan kembali pada mas Chandra, Mas. Tolong kamu percaya padaku. Ini sem
Di dalam kamarnya, Nadira terus memandangi hasil tes miliknya yang ternyata cocok untuk didonorkan pada Chandra."Bagaimana caranya aku membujuk mas Chandra agar mau menerima donor dariku, ya. Aku ingin mas Chandra segera sembuh," batin Nadira.Nadira sangat terkejut saat tiba-tiba Wildan memanggilnya dari luar kamarnya. Terdengar suara ketukan pintu kamarnya beberapa kali."Nadira, apa kamu sudah tidur?" tanya Wildan sembari mengetuk pintu kamar Nadira yang masih belum terbuka.Dengan cepat, Nadira pun bangkit dari duduknya dan segera menyembunyikan hasil tes yang sedari tadi ia pandangi.Rasa paniknya saat itu membuat Nadira tak bisa berpikir dengan jernih. Ia menindih surat hasil tesnya dengan menggunakan bantal dan berharap agar Wildan tak melihatnya.Setelah menutup aurat itu dengan banyak, Nadira pun kemudian menghampiri pintu dan membukanya perlahan.Terpampang dengan jelas wajah tampan Wildan yang saat itu masih sedikit basah seperti habis mandi. Rambutnya masih acak-acakan da
Keesokannya Nadira kembali ke rumah sakit untuk menemui Chandra. Kali ini Wilda menemaninya hingga masuk ke dalam dan bertemu dengan Hesti dan Roy."Nadira," ucap Hesti menyambut kedatangan Nadira dengan senyum di wajahnya."Bu, Mas. Ini aku bawakan kalian makanan, kalian makan dulu, ya. Pasti kalian belum makan, kan," ucap Nadira.Tiba-tiba Hesti memeluk erat tubuh Nadira hingga membuatnya sedikit bingung."Terima kasih, ya, Nadira. Kamu sangat baik pada kamu. Aku benar-benar merasa bersalah padamu karena sudah selalu berbuat jahat padamu, dulu," ucap Hesti.Perlahan Nadira pun mengusap pundak Hesti dengan sangat lembut. "Tidak apa-apa, Bu. Sudah ibu tidak usah pikirkan hal itu lagi, ya. Lebih baik sekarang ibu dan mas Roy makan supaya kalian tidak sakit," ucap Nadira.Hesti dan Roy pun tersenyum semringah pada Nadira namun tidak dengan Wildan yang hanya termenung menatap mereka dengan tatapan yang sedikit sendu."Sepertinya mereka berdua sudah akur. Apa ini adalah pertanda bahwa Nad
Wildan menatap kosong Nadira yang tengah mencoba baju pengantin yang telah mereka pesan sejak jauh-jauh hari.Kini Wildan merasakan sesuatu yang berbeda melihat ekspresi di wajah Nadira yang tampak tak begitu bersemangat."Nadira, apa benar dugaan ku selama ini bahwa kamu masih mencintai Chandra?" batin Wildan bertanya-tanya.Pertanyaan semacam itu terus saja bermain di kepalanya meski ia berkali-kali berusaha menghilangkannya tapi tetap tak bisa.Nadira yang tengah mencoba gaun pernikahannya pun tak sengaja melihat Wildan yang sedang melamun."Mas Wildan kenapa ya, kok dari tadi melamun terus?" tanya Nadia pada dirinya sendiri.Ia pun kemudian memberanikan dirinya untuk mendekati Wildan. Mas," ucap Nadira pelan.Wildan pun terperanjat mendengar suara Nadira saat itu. Ia langsung menoleh ke arah Nadira yang saat itu telah berdiri di hadapannya."Kamu kenapa kok dari tadi aku lihat melamun terus. Apa kamu sedang ada masalah? Atau kamu tidak enak badan?" tanya Nadira memegang lengan tang