Home / Pernikahan / Surat Cerai Dari Ibu Mertua / Part 4, Bekal Untuk Chandra

Share

Part 4, Bekal Untuk Chandra

"Gimana Chandra, tanya istrimu itu, apa dia sanggup menerima syarat dari Ibu?" bu Hesti menatap seraya penuh penekanan.

"Ya Bu, kami setuju." jawab Chandra tegas.

Nadira mengerutkan kening ketika suaminya memberikan jawaban tanpa bertanya dulu padanya, namun setelah memberikan jawaban Chandra dengan erat menggenggam tangan Nadira, meskipun tatapan matanya mengarah pada ibu Hesti.

"Oke kalau gitu, aku dan Nadira mau istirahat dulu," pamit Chandra mengajak Nadira pergi.

"Mau ke mana si Chandra, kok buru-buru banget. Kamu mending temenin Ibu belanja dulu ke supermarket, ya," ajak bu Hesti dengan semangat.

"Bu, kenapa nggak besok aja sama Mbak Anita, Mbak Anita kan di rumah terus," tolak Chandra.

"Chandra, kamu kenapa si? Dua hari nikah sama Nadira aja kamu udah berubah banget gitu sikapnya sama Ibu, Ibu kecewa sama kamu," mata bu Hesti menganak sungai.

"Bukan seperti itu Bu, tapi aku dan Nadira harus istirahat cepet karena besok pagi-pagi kami mau pergi ke kantor. Jadi kami harus istirahat lebih awal." jelas Chandra. Ia terkesan jahat karena bu Hesti tiba-tiba menangis di hadapan Nadira.

Nadira menghentikan langkahnya dan menahan suaminya, tatapan Nadira seolah ingin bahwa suaminya itu menuruti keinginan sang ibu yang merengek seperti bayi, sementara Anita dan Roy hanya bisa menatap bu Hesti bingung.

"Bu, Chandra dan Nadira itu akan pergi ke kantor besok pagi, jadi mereka butuh waktu istirahat," ucap Roy, membantu adiknya itu lolos dari jeratan sang ibu.

"Tapi ini masih sore, masih ada waktu untuk mereka jika ingin istirahat, lagian sebelum Nadira menjadi istri Chandra, kita sering kan ngobrol malam di sini sampai larut," bu Hesti menimpali.

"Tapi sekarang sudah berbeda Bu, aku sudah memiliki istri dan aku bertanggung jawab atas perasaannya. Sudah ya Bu, tolong jangan bersikap seolah aku jahat pada Ibu." tegas Chandra nekat, ia membawa Nadira pergi menuju ke kamar.

***

Keesokan paginya, sebelum keluar dari kamar Nadira membersihkan tempat tidur dan juga kamar mandi yang mereka pakai, sementara Chandra sendiri menyapu lantai dan melipat baju kotor yang hendak mereka bawa ke laundry, setelah semua siap, mereka pun bergegas keluar.

Bu Hesti sudah berada di depan pintu kamar Chandra, spontan kehadirannya membuat sepasang suami itu terkejut karena kedatangan sang ibu yang tiba-tiba.

"Ibu, kenapa Ibu ada di kamarku?" tanya Chandra heran.

"Ibu mau ngasih kamu ini, kamu mau ke kantor kan? Ini bekal untuk kamu," ucap bu Hesti dengan semangat memberikan sebuah kotak di tangannya.

"Cuma satu Bu? Buat Nadira mana?" Chandra menerima kotak itu penuh tanya.

"Iya cuma satu aja, soalnya Nadira di kantor itu kan jadi sekertaris, pasti dia akan makan di luar sama atasannya, jadi Ibu pikir Nadira tidak perlu bawa bekal." jawab bu Hesti dengan tanpa menatap wajah ayu Nadira.

Chandra menghela nafas panjang, ingin rasanya memprotes tetapi Nadira sudah keburu menahan. Nadira masih tersenyum menanggapi ibu mertua nya yang begitu dingin padanya tetapi tidak dengan suaminya itu.

Nadira mengajak Chandra untuk segera pamit, tidak mau berlama-lama menghadap ibu mertua yang terlihat sangat tidak menyukai nya itu. Di perjalanan Nadira hanya diam saja, tidak ada pembicaraan antara Chandra dengan dirinya hingga membuat Chandra merasa semakin bersalah.

Chandra menggenggam erat tangan Nadira dan mengecupnya, Nadira tersenyum tipis menanggapi sentuhan sayang sang suami.

"Sayang, maafin sifat ibuku ya, selama ini ibu memang sangat bergantung dan manja denganku, apalagi saat mas Roy menikah dengan mbak Anita, setiap hari ibu bersikap begitu manja," ucap Chandra, rasa bersalahnya tidak bisa ia sembunyikan terhadap ibunya.

"Ya Mas, nggak papa kok, aku ngerti. Mungkin aku juga harus membutuhkan banyak waktu untuk bisa mendapatkan kamu sepenuhnya, aku tidak menyalahkan siapa-siapa," lirih Nadira dengan besar hati.

"Ya ampun, aku memang tidak salah memilih pasangan, kamu adalah wanita terbaik Nadira, aku sangat mencintaimu." Chandra mengucapkan kalimat itu dengan sungguh-sungguh.

Nadira hanya membalasnya dengan senyuman, meskipun sebenarnya ia sangat terluka dengan sikap dan sindiran sang ibu mertua, namun Nadira masih berusaha tetap menghormati hubungan mereka. Tak lama kemudian mobil taksi yang membawa mereka itu akhirnya tiba di depan kantor, Chandra dan Nadira pun keluar untuk segera melakukan tugas mereka masing-masing, meskipun mereka satu kantor. Tetapi mereka tidak satu ruangan, Nadira naik ke lantai atas melalui lift karena ruangannya berada di samping ruangan pemilik perusahaan tersebut, sementara Chandra sendiri berada di lantai bawah sebagai karyawan biasa.

***

Saat makan siang, Nadira menuruni lift bersama beberapa teman yang mengajaknya makan siang di luar kantor, karena Nadira tidak membawa bekal seperti halnya Chandra, akhirnya Nadira pun bersedia.

"Aku ke ruangan mas Chandra dulu ya, mau ngajakin dia makan di luar juga," ucap Nadira pamit pada teman-temannya.

"Oke Nad, kita tunggu di luar ya." jawab salah satu dari mereka.

Nadira melempar senyum. Dan ia pun segera menemui sang suami yang saat itu hendak membuka kotak makanan yang ia bawa dari rumah, saat mengetahui istrinya datang, Chandra dengan cepat menyambutnya.

"Sayang,"

"Mas, kamu lagi mau makan ya? Ya udah kalau gitu, kamu lanjut dulu,"

"Kamu mau makan bareng sama aku di sini? Yuk kita makan masakan Ibu bareng-bareng,"

"Tapi, apa kamu kenyang Mas kalau makan bareng sama aku,"

"Pasti kenyang sayang, yuk duduk."

Chandra menuntun istrinya duduk di ruangan yang tidak begitu lebar itu. Saat hendak menyuapi Nadira, tiba-tiba ponsel Chandra berdering, Chandra pun mengurangkan suapan pertamanya untuk Nadira, saat ia tahu bahwa yang menelponnya adalah bu Hesti. Nadira terdiam di samping Chandra, menunggu suaminya selesai bicara pada ibunya.

[Ya bu, ada apa?]

[Chandra, ini sudah waktunya makan siang, jangan lupa habiskan bekal yang ibu bawakan itu sendiri ya, Nadira pasti makan di luar kan sama temen-temennya? Jadi kamu habiskan bekalnya ya]

[I-iya bu, ya sudah kalau gitu, aku makan dulu]

Tuuut

Sambungan telepon itu dimatikan begitu saja oleh Chandra yang tidak enak hati dengan Nadira, sudah pasti Nadira mendengar ucapan ibunya, karena Chandra memang sengaja menyalakan speakernya tadi.

Nadira menghela nafas, ingin melakukan adegan romantis saja bersama suami, harus gagal karena bu Hesti memerintahkan suaminya untuk menghabiskan makanannya seorang diri.

"Ya udah Mas, kamu makan saja, biar aku makan di luar," ucap Nadira, hendak bangkit meninggalkan Chandra.

"Tunggu sayang, mau ke mana? Omongan ibu jangan dimasukan ke hati ya, yuk kita makan aja, lagian ini banyak banget sayang, aku nggak habis nanti," ajak Chandra membujuk Nadira agar bersedia duduk bersamanya.

"Mas, aku nggak mau mengurangi jatah makan kamu, ibu pasti sudah paham banget sama porsi makan kamu, jadi nggak papa kok aku makan di luar aja ya." jawab Nadira menolak, dengan halus.

Nadira menutup pintu dan dengan cepat punggung wanita yang ia cintai itu menghilang dari pandangan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status