Akhirnya Wildan pun keluar dan langsung disambut oleh Nadira dan juga Hesti yang sudah cukup lama menunggu di depan ruangan Chandra."Emmm M-mas, kamu sudah selesai?" tanya Nadira yang sedikit melirik ke arah Chandra dari pintu yang belum ditutup dengan sempurna oleh Wildan.Nadira merasa cukup lega saat melihat Chandra yang baik-baik dan masih duduk di atas ranjang.Meski sebenarnya Nadira tak ingin berprasangka buruk pada Wildan, tapi rasa khawatir dan cemas terus saja membelenggu di dalam hatinya saat Wildan dan Chandra berada di dalam satu ruangan yang sama."Iya aku sudah selesai. Emmm terima kasih karena kalian sudah mengizinkan aku berbicara berdua dengan Chandra," ucap Wildan."Iya santai saja, Wildan." Roy langsung menanggapi ucapan Wildan saat itu." Oh iya, Nadira, kita pulang sekarang yuk," ajak Wildan."Emmm t-tapi, Mas ...." Nadira menghentikan sejenak ucapannya."Nggak mungkin aku nolak ajakan mas Wildan pun pulang. Nanti yang ada mas Wildan malah berpikir bahwa aku leb
"Apa kamu serius mau mendonorkan ginjalmu pada Chandra?" tanya Hesti pada Nadira dengan kedua mata yang masih berkaca-kaca.Nadira pun mengangguk pelan. Sekilas Nadira melirik ke arah Wildan meski ia tak memberikan respon apapun."Baiklah kalau memang sudah ada pendonornya maka operasi untuk pak Chandra akan segera kami siapkan," ucap dokter yang menangani Chandra.Tak lama dokter dan perawat yang menangani Chandra pun lantas pergi meninggalkan mereka."Bu, mas Roy, aku tinggal sebentar ya. Aku mau bicara dulu dengan mas Wildan," ucap Nadira berpamitan.Setelah Hesti dan Roy mengizinkan, Nadira pun langsung berjalan menjauhi mereka bersama dengan Wildan.Sesaat Nadira masih terdiam dan belum mampu mengatakan sepatah kata apapun pada Wildan begitupun dengan Wildan yang masih terdiam.Perlahan Nadira memberanikan dirinya menggapai tangan Wildan. Kedua matanya mencoba menatap pada Wildan yang berdiri di depannya."Mas, aku mau minta izin padamu untuk mendonorkan satu ginjal ku pada mas C
Nadira telah tiba di rumah sakit dan tengah bersiap untuk melakukan operasi. Ditemani oleh Hesti dan Roy, Nadira duduk di sebuah kursi tunggu menanti jadwal operasi yang akan dilaksanakan beberapa jam lagi."Wildan nggak ikut ke sini, Nadira?" tanya Roy pada Nadira.Seketika lamunan Nadira pun buyar mendengar pertanyaan dari Roy saat itu."Iya Nadira, nak Wildan kok nggak ikut menemani kamu di sini. Apa jangan-jangan dia marah karena kamu akan mendonorkan ginjal mu untuk Chandra?" tanya Hesti.Nadira pun segera meraih tangan Hesti yang saat itu berada di pangkuannya. Nadira mencoba menenangkan dan meluruskan pikiran Hesti yang sempat berpikir jauh tentang Wildan."Nggak begitu, Bu. Mas Wildan sama sekali nggak marah kok. Tadi dia bilang sedang ada urusan sebentar dan nanti dia akan kembali ke sini setelah urusannya selesai.""Kamu yakin dia tidak marah? Ibu takut dia marah. Ibu sudah sangat berhutang budi padanya. Ibu tidak ingin membuat nak Wildan kecewa," ucap Hesti."Nggak kok, Bu.
"Alhamdulillah pak, bu, operasinya berjalan dengan lancar meski tadi ada sedikit kendala karena ibu Nadira mengalami pendarahan tapi kami berhasil mengatasinya," ucao sang dokter."Syukurlah kalau begitu. Terima kasih banyak, dok. Terima kasih banyak atas kerja keras dokter semuanya yang sudah menangani operasi ini," ucap Wildan.Hatinya merasa sangat lega mendengar bahwa Nadira baik-baik saja. Begitu juga dengan Hesti dan juga Roy yang kini terlihat sedikit semringah."Lalu apa kita boleh melihat mereka, sok?" tanya Wildan yang sudah tak sabar untuk melihat Nadira."Emmm untuk saat ini sebaiknya jangan dijenguk dulu, ya. Kami akan memindahkan mereka ke ruangan perawatan dan nanti di sana kalian baru bisa menjenguknya," ucap sang dokter."Baik kalau begitu, dok. Sekali lagi terima kasih banyak." Roy menjabat tangan sang dokter begitupun dengan Wildan."Baik Pak sama-sama. Kalau begitu saya permisi dulu." Sang dokter pun kemudian melangkahkan kakinya pergi meninggalkan mereka.Tak lama
Di sebuah gedung, baru saja terjadi pesta pernikahan antara Nadira Astuti dengan Chandra Winata. Dua sejoli yang begitu amat saling mencintai itu kini akhirnya resmi menjadi suami istri. Para tamu undangan yang hadir kian sepi karena waktu yang hampir larut malam, Chandra pun mengajak Nadira pergi ke hotel yang sudah ia pesan untuk menginap, akan ada malam pertama yang tidak ingin ia lewatkan setelah tiga tahun menjalin hubungan jarak jauh dengan Nadira. "Sayang, aku sudah siapkan hotel untuk menginap kita beberapa hari ke depan, kita pamit dulu yuk, sama keluarga ku," ajak Chandra yang tak lepas menggandeng tangan Nadira. "Ya Mas, ayo." jawab Nadira patuh. Di sudut sana, sudah ada keluarga Chandra, ia memiliki satu orang kakak laki-laki yang sudah memiliki istri, dan juga seorang ibu yang telah membesarkannya selama ini. Langkah kaki Chandra dan juga Nadira berhenti tepat di antara mereka, mereka tersenyum menyambut kehadiran pengantin dengan bahagia, namun tidak dengan bu Hesti
Nadira masuk ke kamar suaminya, dengan rasa kecewa yang teramat. Ia merebahkan tubuh dan meringkuk seorang diri, yang ia rasakan tentu saja rasa kesal, karena ibu mertuanya bersikap tidak wajar seperti itu pada putranya. Nadira gelisah, pikirannya melalang buana, bayangan akan ketidak nyamanan semakin menghantui pikirannya jika ia dan suami masih tetap tinggal di sana bersama mertuanya. "Huh,"Nadira merasa gerah, padahal suhu di kamar AC itu seharusnya cukup membuat dirinya terasa dingin dan nyaman, ia turun dari ranjang, berjalan ke sana ke mari untuk mencari ketenangan, namun bukan malah tenang ia justru semakin berpikir buruk saja. "Ah, tidak-tidak, aku tidak boleh berpikir buruk seperti ini! Benar, mungkin ibu mertua sedang kelelahan karena baru saja menyelesaikan tugas menikahkan putra bungsu nya, banyak sekali acara yang terjadi hingga sampai di titik ini, aku tidak boleh buruk sangka."Nadira akhirnya berdamai dengan dirinya sendiri, ia terus berusaha membujuk dan merayu ha
"Nadira, sini!"Anita memanggil Nadira dengan suara lantang, wanita yang baru sehari tinggal bersama ibu mertua dan kakak iparnya itu segera menghampiri. "Ada apa Mbak?" tanya Nadira setelah berhadapan dengan Anita. "Ini catatan dan tugas kamu selaku adik ipar di sini, setelah menikah dengan putra dari ibu Hesti, kita diwajibkan untuk membersihkan rumah ini, ibu tidak pernah memelihara pembantu, jadi semua pekerjaan rumah, kita bagi tugas," Anita memberikan penjelasan seraya memberikan catatan di sebuah kertas. "Jadi kita yang harus membersihkan semua ruangan di rumah ini, Mbak? Tapi Mbak, aku ada kerjaan di luar rumah, pekerjaan di kantor bersama mas Chandra," ucap Nadira keberatan. "Nadira, tugas seorang istri itu ada di dalam rumah, jadi kamu tidak perlu bekerja bersama Chandra, biarkan Chandra bekerja keras untuk membiayai kebutuhan kita sebagai istri, jadi aku harap kamu tidak protes! Sejak aku menikah dengan mas Roy, salon kecantikan ku saja aku serahkan pada ibu mertua, jad
"Gimana Chandra, tanya istrimu itu, apa dia sanggup menerima syarat dari Ibu?" bu Hesti menatap seraya penuh penekanan. "Ya Bu, kami setuju." jawab Chandra tegas. Nadira mengerutkan kening ketika suaminya memberikan jawaban tanpa bertanya dulu padanya, namun setelah memberikan jawaban Chandra dengan erat menggenggam tangan Nadira, meskipun tatapan matanya mengarah pada ibu Hesti. "Oke kalau gitu, aku dan Nadira mau istirahat dulu," pamit Chandra mengajak Nadira pergi. "Mau ke mana si Chandra, kok buru-buru banget. Kamu mending temenin Ibu belanja dulu ke supermarket, ya," ajak bu Hesti dengan semangat. "Bu, kenapa nggak besok aja sama Mbak Anita, Mbak Anita kan di rumah terus," tolak Chandra. "Chandra, kamu kenapa si? Dua hari nikah sama Nadira aja kamu udah berubah banget gitu sikapnya sama Ibu, Ibu kecewa sama kamu," mata bu Hesti menganak sungai. "Bukan seperti itu Bu, tapi aku dan Nadira harus istirahat cepet karena besok pagi-pagi kami mau pergi ke kantor. Jadi kami harus