Aku terhenyak pada sebuah kenyataan yang sangat tidak kuduga sama sekali. Kang Wirna diculik? Tapi buat apa? Apakah Kang Wirna mempunyai musuh yang sangat menaruh dendam kepadanya? Oh, sungguh ini diluar nalarku. "Ma, apa yang terjadi? "Tiba-tiba Dean datang membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arah pintu dimana anak lelakiku itu baru saja muncul. Ia menenteng sebuah helm petanda ia datang dengan mengendarai sepeda motor. "Om Wirna diculik. " jawabku tanpa semangat. Aku cukup lelah sejak pagi berkeliaran di rumah sakit. Lalu aku memutuskan untuk pulang dengan membawa Haris ikut serta. Aku tidak tega melihat anak itu jadi gelandangan ditinggal ayahnya. "Lapor polisi saja, Ma! " usul Dean sambil menghempaskan bokongnya di atas sofa. Helm ia letakkan di atas meja. "Kita lihat saja dulu. Mama tidak mau terburu-buru mengambil keputusan. " jawabku setengah merenung. "Tapi Ma! ""Ssstt.. ! " kuletakkan telunjuk dibibir agar Dean berhenti mendesakku. Dan anak itu kemudian diam. Ia pah
Pov Mois. Sepeninggal Wirna dan dua orang anak buahnya, Mois masih duduk di kursi dengan mengangkat sebelah kaki. Ia tersenyum puas dan tak hentinya tersenyum sendiri dengan gumaman memaki Wirna. "Puas sudah aku memberi pelajaran kepada laki-laki brengsek itu. Enak saja dia mempermainkan wanita. Apa ia pikir dia lahir dari botol bapaknya? Uhh... rasain kau Wirna! Jalanilah karmamu dengan ikhlas dan lapang dada. Tuhan yang maha kuasa telah mengabulkan sumpah palsumu kepada Amelia.""Amelia..? ""Hm... kemana wanita konyol itu? Hehehe.. Seandainya dia tahu apa yang sudah aku lakukan kepada laki-laki sialan itu, pasti dia akan berterima kasih kepadaku. Yah Amelia pasti berterima kasih karena aku sudah membabat habis benalu yang menggerogoti kehidupannya. Yah.. begitu.. hahhaa.. ! ""Bang Mois...! "Mois tersentak kaget begitu tiba-tiba datang suara lantang membentak. Ia sampai berdiri dari duduknya. "Oh, kamu Vista. Ngagetin Abang saja kamu!" Mois memberengut begitu ia tahu bahwa Vist
Pov Wirna"Dimana aku? " hanya pertanyaan itu yang sanggup aku ucapkan ketika aku merasakan telapak kakiku menginjak permukaan yang cukup panas. Sementara aku merasa terik sinar matahari menimpa tubuhku yang langsung membuat sekujur badanku berkeringat. "Hm, kau masih di atas dunia Bro. Kami belum mengirimmu ke neraka. Bos kami adalah manusia yang baik dan penuh kasih sayang sehingga dirinya melarang kami untuk membunuhmu." terdengar suara serak seorang laki-laki menjawab pertanyaanku. Jantungku tercekat mendengar penuturan kejam lelaki itu. Ada dendam apa dirinya kepadaku sehingga ia tega mencampakkan aku yang buta ke tempat panas seperti ini. "Apakah aku berada di tengah gurun? ""Hahahhahaha... "Pertanyaanku mungkin terdengar konyol sehingga beberapa orang yang berada disana tertawa terpingkal-pingkal. "Hei laki-laki buta tak berguna! Apakah kamu pikir kamu sedang berada ditanah suci untuk menunaikan ibadah haji? Oh tentu saja tidak. Kamu tengah menjalankan hukumanmu karena ka
Adzan subuh berkumandang. Tiada terasa pagi sudah datang menjelang. Aku menggeliat di atas tempat tidur. Hari ini aku cukup lelah karena seharian penuh memasak untuk pernikahan seorang anak pengusaha. Dan tentu saja pembayarannya cukup lumayan. Pokoknya sepadanlah dengan tenaga yang telah aku keluarkan. Adzan berlalu kini berganti qomad. Aku masih saja bermalas diri di atas pembaringan. Bahkan ada ide gila di hatiku untuk melewatkan sholat subuh begitu saja. Aah... mungkin setan dan iblis tengah membisikkan rayuan neraka ke pikiranku. Ku sentakkan selimut yang menutupi tubuhku dan ku enyahkan ke samping. Aku segera duduk dan bergegas menuju kamar mandiku untuk berwudhu. Tak lama kemudian aku telah khusuk berdoa di atas sejadah. Tidak lupa kupanjatkan doa agar Kang Wirna diberikan kesehatan dan keselamatan. Karena seminggu sudah ia pergi tanpa memberi kabar sepatah kata pun. Mengingat semua itu aku jadi sedih dan mulai menangis. Bagaimana pun tidak dapat kuingkari kalau aku masih me
Pov Wirna"Dimana aku? "Kembali hanya pertanyaan itu yang sanggup aku ucapkan dikala mataku terbuka dan pandanganku membentur bayangan luas berwarna putih. Aku tentu saja sangat yakin bahwa aku sudah mati. Karena kalau aku masih hidup, tentu tidak mungkin aku bisa melihat hamparan warna putih yang terpampang di depanku. Oh, aku pasti tengah berada di alam barzah, begitulah pikirku. "Alhamdulillah, semua berjalan dengan sangat baik." tiba-tiba kudengar suara berat berkata dan helaan nafas lega beberapa orang yang aku perkirakan berada di belakang layar putih tersebut. "Ooh, suara siapa itu? Apakah suara malaikat kubur?" hatiku mendesah sangat galau. Aku semakin melebarkan mata memandang ke arah layar putih yang sepertinya sengaja di bentangkan di ujung pembaringanku. "Oh ternyata aku belum mati." Hatiku bersorak girang begitu aku merasa jarum infus tertancap di punggung tanganku. Apalagi aku menyadari bahwa penglihatanku sudah normal kembali bahkan lebih baik dari semula. Bahkan ak
Pov Wirna"Kamu boleh menempati kamar ini selama kamu mau. Saya akan memberikan jadwal pekerjaan yang akan kamu mulai besok pagi. Untuk pekerjaanmu itu, saya akan memberikan upah yang cukup lumayan setiap bulan." ucap Dr. Fredy begitu kami masuk ke sebuah kamar yang terdapat di rumah megah yang sangat mewah. Kakiku cukup gemetar ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Bagaimana tidak? Rumah nan luas serta megah ini lebih tepat disebut ruangan syurga yang belum pernah aku kunjungi bahkan aku lihat seumur hidupku. Dr. Fredy ternyata sangat kaya raya. Namun walau pun kaya, beliau sangat ramah dan rendah hati. Bahkan ia mau mengantarkan diriku yang lebih pantas disebut pengemis ini, ke lantai dua rumah mewah tersebut."Te.. terima kasih, Dok! Dokter baik sekali. Semoga Allah membalas semua budi baik Dokter." jawabku menunduk haru. Mataku berkaca-kaca menahan sesak dan bahagia di dalam dada. "Sama-sama, Wirna. Semoga hari-harimu ke depan lebih bahagia dan menyenangkan." sahut
Pekanbaru, di kediaman Dr. Fredy. Wirna terlihat sangat semangat melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kebersihan di tempat praktek Dr. Fredy. Tempat praktek itu cukup luas dan menyerupai klinik. Ada beberapa kamar rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien yang mengalami masalah penglihatan atau mata. Kebanyakan dari mereka melakukan operasi katarak dan ada juga beberapa yang menderita penyakit mata yang lebih parah. "Selamat siang, Dok!" sapa Wirna sembari membungkukkan badan begitu Dr. Fredy datang menghampirinya. "Selamat siang juga Wirna. Saya lihat kamu sangat bersemangat." jawab Dr. Fredy tersenyum senang. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa Dok." ucap Wirna malu dan sungkan. "Bagus! Saya puas dengan apa yang telah kamu lakukan disini. Tempat ini semakin bersih semenjak kehadiran kamu." tambah Dr. Fredy sambil menepuk bahu Wirna. Wajah Wirna bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Ia hanya membungkuk malu. "Kamu pasti belum makan siang. Ayo..! Kebetulan saya juga a
Pengakuan Dosa 2Wirna makin tertunduk diam. Ungkapan Dr. Fredy membuatnya semakin tersudut. "Izinkan saya melanjutkan cerita saya, Dok." ucap Wirna pelan. Ia meletakkan sendok di atas piring sebagai tanda ia sudah selesai makan. Nafsu makannya hilang berganti kesedihan di hatinya. Dr. Fredy mengangguk dan mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan. "Keputusan saya meninggalkan Amelia adalah pelanggaran sumpah yang nyata. Saya kembali ke kampung halaman karena itu adalah perintah keras dari keluarga saya, Dok." lanjut Wirna. "Mengapa? Apa dasarnya keluargamu ingin memisahkan kalian? Bukankah mereka tahu kalau kamu mempunyai istri?" selidik Dr. Fredy. Wirna menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya. "Mereka terpengaruh dengan fitnahan yang dilakukan teman-teman saya sendiri. Teman-teman saya mengarang cerita bohong bahwa Amelia telah mendukuni saya. Karena itu keluarga saya bersikeras memisahkan saya dengan Amelia dan memaksa saya kembali kepada mantan istri saya yang sebe
"Apa-apaan sih kamu, Wirna..?? Dasar laki-laki tak berguna!" teriak Sarmini langsung mendorong tubuh Wirna hingga laki-laki itu hilang keseimbangan dan jatuh ke tanah. Sarmini naik pitam lalu memungut sepotong kayu yang kebetulan ada ditempat itu lalu ia mengayunkan kayu itu ke kepala Wirna. "Plaaak...!"Kayu tersebut mendarat dengan keras namun bukan mengenai kepala Wirna tapi malah menghantam bahu Amelia yang lebih dulu menjatuhkan diri memeluk dan melindungi tubuh Wirna yang tak berdaya di tanah hingga pukulan Sarmini mengenai bahunya. "Oough..!" Amelia mengaduh tertahan. "Amii..! Oh ...!" Wirna berteriak keras lalu segera bangkit sembari memeluk tubuh Amelia dan mengusap bahu wanita yang ia cintai itu. Lalu dengan mata membesar ia menatap Sarmini yang masih mengayun-ayunkan sepotong kayu ditangannya. "Apa sih kamu? Segitu kasarnya tak punya perasaan!" bentak Wirna sambil menunjuk wajah Sarmini. Beberapa orang yang sudah berkerumun di tempat itu mulai bergerak melerai dan sala
Kematian Haris membuat Wirna sangat terpukul. Ia tidak hentinya menyalahkan diri sendiri. Hal itu membuat Amelia menjadi iba. Bagaimana pun mereka berdua pernah saling mencintai walau hanya delapan bulan saja berumah tangga. Namun kasih sayang bukanlah tergantung lama atau singkatnya tempo bersama. Walau Amelia sudah tidak lagi mencintai Wirna, namun ia masih menyayangi layaknya kepada insan yang tengah ditimpa musibah. "Sudahlah! Jangan menangis lagi. Haris sudah tenang di alamnya." bisik Amelia lirih. Ia berdiri disamping Wirna yang masih berjongkok di sisi tanah yang masih berwarna merah yang telah mengubur jasad Haris. "Pergilah dan tinggalkan aku sendiri!" sahut Wirna juga lirih namun terdengar jelas oleh Amelia. Suara itu benar-benar mengandung luka yang dalam. "Baiklah, aku akan pergi!" sahut Amelia lalu memutar tubuh perlahan dan mulai melangkah meninggalkan pusara Haris dan tanpa ia sadari Sarmini mengikutinya dari belakang. "Kau benar-benar telah berhasil menghancurkan
"Bapak.. Ibu.." tersendat dan terbata-bata Haris memanggil Wirna dan Sarmini yang berada di samping tempat tidurnya. Kedua orang tuanya itu juga menangis sangat sedih menyaksikan penderitaan anak sulung mereka. "Haris, maafkan Bapak. Bapak yang bersalah Haris. huhuhu..." Wirna menggenggam kadang membelai tangan kanan Haris. Lelaki itu terlihat sangat terpukul didera penyesalan yang tiada berguna. Dalam hati ia yakin kalau apa yang terjadi kepada Haris saat ini adalah tebusan sumpah yang pernah ia ucapkan sendiri. Sementara itu mata Haris hanya memandang kosong ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. Sedangkan Sarmini mengelus lengan kiri Haris yang cacat. Hati ibu mana yang tidak teriris melihat putranya tak berdaya dan tergolek penuh luka. Kepala Haris diperban dengan selang terpasang dihidung dan beberapa peralatan medis lainnya yang menempel ditubuh kecil Haris. 'Pak, Bu. Berhentilah bertengkar. Setelah Haris pergi, tolong jaga Riski sebaik mungkin. Haris lelah dan ingin
Kepergian Mois membawa Amelia meninggalkan rumah sakit meninggalkan kekesalan dan kekecewaan di hati Salma. Entah sudah berapa kali wanita muda itu memaki-maki sendiri. "Nggak abis pikir deh sama pikiran Bang Mois. Kok dia malah lebih tertarik kepada perempuan tua itu dibanding aku yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Huh..! Dunia sekarang emang makin edan, makin banyak saja lelaki muda yang lebih memilih pasangan lebih tua. Haah... gagal sudah usahaku untuk mendapatkan Bang Mois. Padahal aku sudah menyukainya sejak pertama bertemu di saat persiapan pesta pernikahanku dengan Mas Farzan empat tahun lalu. Andaikan aku lebih dulu mengenal Bang Mois tentu aku akan menolak ajakan Mas Farzan untuk menikah." Salma terus saja mengoceh dan bersungut-sungut di pojok sebuah ruangan rumah sakit yang mulai tenang. Tidak ada lagi gerombolan orang-orang berkerumun seakan tidak pernah ada keributan disana. Orang-Orang yang tadi berkerumun telah kembali ke urusan masing-masing. Ada yang kembali k
"Jangan berbuat sekasar itu! Kelewatan!" bentak lelaki yang tiba-tiba saja muncul itu terdengar berdesis bagaikan ular cobra yang siap menyemburkan bisanya. Suasana yang tadi riuh dan panas mendadak sunyi serta mencekam. Semua mata tertuju ke arah Sarmini dan lelaki asing yang terlihat bertatapan disertai pertentangan bathin. "Siapa kamu?" tanya Sarmini juga mendesis. Matanya menyipit dan ia berusaha melepaskan tangannya yang masih dicengkram lelaki dihadapannya tersebut. Namun si lelaki asing semakin memperkuat cengkramannya hingga Sarmini makin meringis. "Siapa aku tidaklah penting. Tapi jika kamu masih menyakiti Amelia, maka aku akan selalu muncul. Ingat itu!" ancam si lelaki tersebut lalu melemparkan tangan Sarmini ke samping. "Siapa laki-laki ini? Ia sangat tampan dan masih muda. Jangan-jangan dirinya adalah adik kandung Amelia." hati Sarmini bertanya-tanya seraya memandangi lelaki yang baru saja melepaskan cengkraman ditangannya. "Tapi mengapa ia terlihat seperti mencintai
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn