Pov Mois. Sepeninggal Wirna dan dua orang anak buahnya, Mois masih duduk di kursi dengan mengangkat sebelah kaki. Ia tersenyum puas dan tak hentinya tersenyum sendiri dengan gumaman memaki Wirna. "Puas sudah aku memberi pelajaran kepada laki-laki brengsek itu. Enak saja dia mempermainkan wanita. Apa ia pikir dia lahir dari botol bapaknya? Uhh... rasain kau Wirna! Jalanilah karmamu dengan ikhlas dan lapang dada. Tuhan yang maha kuasa telah mengabulkan sumpah palsumu kepada Amelia.""Amelia..? ""Hm... kemana wanita konyol itu? Hehehe.. Seandainya dia tahu apa yang sudah aku lakukan kepada laki-laki sialan itu, pasti dia akan berterima kasih kepadaku. Yah Amelia pasti berterima kasih karena aku sudah membabat habis benalu yang menggerogoti kehidupannya. Yah.. begitu.. hahhaa.. ! ""Bang Mois...! "Mois tersentak kaget begitu tiba-tiba datang suara lantang membentak. Ia sampai berdiri dari duduknya. "Oh, kamu Vista. Ngagetin Abang saja kamu!" Mois memberengut begitu ia tahu bahwa Vist
Pov Wirna"Dimana aku? " hanya pertanyaan itu yang sanggup aku ucapkan ketika aku merasakan telapak kakiku menginjak permukaan yang cukup panas. Sementara aku merasa terik sinar matahari menimpa tubuhku yang langsung membuat sekujur badanku berkeringat. "Hm, kau masih di atas dunia Bro. Kami belum mengirimmu ke neraka. Bos kami adalah manusia yang baik dan penuh kasih sayang sehingga dirinya melarang kami untuk membunuhmu." terdengar suara serak seorang laki-laki menjawab pertanyaanku. Jantungku tercekat mendengar penuturan kejam lelaki itu. Ada dendam apa dirinya kepadaku sehingga ia tega mencampakkan aku yang buta ke tempat panas seperti ini. "Apakah aku berada di tengah gurun? ""Hahahhahaha... "Pertanyaanku mungkin terdengar konyol sehingga beberapa orang yang berada disana tertawa terpingkal-pingkal. "Hei laki-laki buta tak berguna! Apakah kamu pikir kamu sedang berada ditanah suci untuk menunaikan ibadah haji? Oh tentu saja tidak. Kamu tengah menjalankan hukumanmu karena ka
Adzan subuh berkumandang. Tiada terasa pagi sudah datang menjelang. Aku menggeliat di atas tempat tidur. Hari ini aku cukup lelah karena seharian penuh memasak untuk pernikahan seorang anak pengusaha. Dan tentu saja pembayarannya cukup lumayan. Pokoknya sepadanlah dengan tenaga yang telah aku keluarkan. Adzan berlalu kini berganti qomad. Aku masih saja bermalas diri di atas pembaringan. Bahkan ada ide gila di hatiku untuk melewatkan sholat subuh begitu saja. Aah... mungkin setan dan iblis tengah membisikkan rayuan neraka ke pikiranku. Ku sentakkan selimut yang menutupi tubuhku dan ku enyahkan ke samping. Aku segera duduk dan bergegas menuju kamar mandiku untuk berwudhu. Tak lama kemudian aku telah khusuk berdoa di atas sejadah. Tidak lupa kupanjatkan doa agar Kang Wirna diberikan kesehatan dan keselamatan. Karena seminggu sudah ia pergi tanpa memberi kabar sepatah kata pun. Mengingat semua itu aku jadi sedih dan mulai menangis. Bagaimana pun tidak dapat kuingkari kalau aku masih me
Pov Wirna"Dimana aku? "Kembali hanya pertanyaan itu yang sanggup aku ucapkan dikala mataku terbuka dan pandanganku membentur bayangan luas berwarna putih. Aku tentu saja sangat yakin bahwa aku sudah mati. Karena kalau aku masih hidup, tentu tidak mungkin aku bisa melihat hamparan warna putih yang terpampang di depanku. Oh, aku pasti tengah berada di alam barzah, begitulah pikirku. "Alhamdulillah, semua berjalan dengan sangat baik." tiba-tiba kudengar suara berat berkata dan helaan nafas lega beberapa orang yang aku perkirakan berada di belakang layar putih tersebut. "Ooh, suara siapa itu? Apakah suara malaikat kubur?" hatiku mendesah sangat galau. Aku semakin melebarkan mata memandang ke arah layar putih yang sepertinya sengaja di bentangkan di ujung pembaringanku. "Oh ternyata aku belum mati." Hatiku bersorak girang begitu aku merasa jarum infus tertancap di punggung tanganku. Apalagi aku menyadari bahwa penglihatanku sudah normal kembali bahkan lebih baik dari semula. Bahkan ak
Pov Wirna"Kamu boleh menempati kamar ini selama kamu mau. Saya akan memberikan jadwal pekerjaan yang akan kamu mulai besok pagi. Untuk pekerjaanmu itu, saya akan memberikan upah yang cukup lumayan setiap bulan." ucap Dr. Fredy begitu kami masuk ke sebuah kamar yang terdapat di rumah megah yang sangat mewah. Kakiku cukup gemetar ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Bagaimana tidak? Rumah nan luas serta megah ini lebih tepat disebut ruangan syurga yang belum pernah aku kunjungi bahkan aku lihat seumur hidupku. Dr. Fredy ternyata sangat kaya raya. Namun walau pun kaya, beliau sangat ramah dan rendah hati. Bahkan ia mau mengantarkan diriku yang lebih pantas disebut pengemis ini, ke lantai dua rumah mewah tersebut."Te.. terima kasih, Dok! Dokter baik sekali. Semoga Allah membalas semua budi baik Dokter." jawabku menunduk haru. Mataku berkaca-kaca menahan sesak dan bahagia di dalam dada. "Sama-sama, Wirna. Semoga hari-harimu ke depan lebih bahagia dan menyenangkan." sahut
Pekanbaru, di kediaman Dr. Fredy. Wirna terlihat sangat semangat melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kebersihan di tempat praktek Dr. Fredy. Tempat praktek itu cukup luas dan menyerupai klinik. Ada beberapa kamar rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien yang mengalami masalah penglihatan atau mata. Kebanyakan dari mereka melakukan operasi katarak dan ada juga beberapa yang menderita penyakit mata yang lebih parah. "Selamat siang, Dok!" sapa Wirna sembari membungkukkan badan begitu Dr. Fredy datang menghampirinya. "Selamat siang juga Wirna. Saya lihat kamu sangat bersemangat." jawab Dr. Fredy tersenyum senang. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa Dok." ucap Wirna malu dan sungkan. "Bagus! Saya puas dengan apa yang telah kamu lakukan disini. Tempat ini semakin bersih semenjak kehadiran kamu." tambah Dr. Fredy sambil menepuk bahu Wirna. Wajah Wirna bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Ia hanya membungkuk malu. "Kamu pasti belum makan siang. Ayo..! Kebetulan saya juga a
Pengakuan Dosa 2Wirna makin tertunduk diam. Ungkapan Dr. Fredy membuatnya semakin tersudut. "Izinkan saya melanjutkan cerita saya, Dok." ucap Wirna pelan. Ia meletakkan sendok di atas piring sebagai tanda ia sudah selesai makan. Nafsu makannya hilang berganti kesedihan di hatinya. Dr. Fredy mengangguk dan mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan. "Keputusan saya meninggalkan Amelia adalah pelanggaran sumpah yang nyata. Saya kembali ke kampung halaman karena itu adalah perintah keras dari keluarga saya, Dok." lanjut Wirna. "Mengapa? Apa dasarnya keluargamu ingin memisahkan kalian? Bukankah mereka tahu kalau kamu mempunyai istri?" selidik Dr. Fredy. Wirna menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya. "Mereka terpengaruh dengan fitnahan yang dilakukan teman-teman saya sendiri. Teman-teman saya mengarang cerita bohong bahwa Amelia telah mendukuni saya. Karena itu keluarga saya bersikeras memisahkan saya dengan Amelia dan memaksa saya kembali kepada mantan istri saya yang sebe
Dr. Fredy baru saja selesai melakukan operasi mata terhadap seorang pasiennya. Ia bergegas masuk ke ruang kerjanya setelah menanggalkan jubah dokter yang sebelumnya ia kenakan. "Selamat sore, Dok!" Dua orang lelaki berperawakan tinggi dan agak gemuk menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya. Ternyata kedua tamunya itu adalah aparat kepolisian yang berpangkat cukup tinggi. "Selamat sore juga Komandan! Maaf lama menunggu." jawab Dr. Fredy ramah dan menyalami kedua tamunya tersebut. "Silahkan duduk kembali." Dr. Fredy mengatur tangan untuk mempersilahkan. "Ah tidak mengapa, Dok. Kami tahu Dokter tentu saja sibuk melayani para pasien." sahut lelaki yang disapa komandan tadi, lalu keduanya kembali menghempaskan bokong mereka di sofa. "Langsung saja Dok, kami ingin mengucapkan terima kasih atas informasi yang telah Dokter berikan tentang saudara Wirna yang merupakan korban penculikan yang tengah di selidiki kepolisian kota Batam. Dan rekaman suara yang berisi keteran