Pov Wirna"Kamu boleh menempati kamar ini selama kamu mau. Saya akan memberikan jadwal pekerjaan yang akan kamu mulai besok pagi. Untuk pekerjaanmu itu, saya akan memberikan upah yang cukup lumayan setiap bulan." ucap Dr. Fredy begitu kami masuk ke sebuah kamar yang terdapat di rumah megah yang sangat mewah. Kakiku cukup gemetar ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Bagaimana tidak? Rumah nan luas serta megah ini lebih tepat disebut ruangan syurga yang belum pernah aku kunjungi bahkan aku lihat seumur hidupku. Dr. Fredy ternyata sangat kaya raya. Namun walau pun kaya, beliau sangat ramah dan rendah hati. Bahkan ia mau mengantarkan diriku yang lebih pantas disebut pengemis ini, ke lantai dua rumah mewah tersebut."Te.. terima kasih, Dok! Dokter baik sekali. Semoga Allah membalas semua budi baik Dokter." jawabku menunduk haru. Mataku berkaca-kaca menahan sesak dan bahagia di dalam dada. "Sama-sama, Wirna. Semoga hari-harimu ke depan lebih bahagia dan menyenangkan." sahut
Pekanbaru, di kediaman Dr. Fredy. Wirna terlihat sangat semangat melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kebersihan di tempat praktek Dr. Fredy. Tempat praktek itu cukup luas dan menyerupai klinik. Ada beberapa kamar rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien yang mengalami masalah penglihatan atau mata. Kebanyakan dari mereka melakukan operasi katarak dan ada juga beberapa yang menderita penyakit mata yang lebih parah. "Selamat siang, Dok!" sapa Wirna sembari membungkukkan badan begitu Dr. Fredy datang menghampirinya. "Selamat siang juga Wirna. Saya lihat kamu sangat bersemangat." jawab Dr. Fredy tersenyum senang. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa Dok." ucap Wirna malu dan sungkan. "Bagus! Saya puas dengan apa yang telah kamu lakukan disini. Tempat ini semakin bersih semenjak kehadiran kamu." tambah Dr. Fredy sambil menepuk bahu Wirna. Wajah Wirna bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Ia hanya membungkuk malu. "Kamu pasti belum makan siang. Ayo..! Kebetulan saya juga a
Pengakuan Dosa 2Wirna makin tertunduk diam. Ungkapan Dr. Fredy membuatnya semakin tersudut. "Izinkan saya melanjutkan cerita saya, Dok." ucap Wirna pelan. Ia meletakkan sendok di atas piring sebagai tanda ia sudah selesai makan. Nafsu makannya hilang berganti kesedihan di hatinya. Dr. Fredy mengangguk dan mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan. "Keputusan saya meninggalkan Amelia adalah pelanggaran sumpah yang nyata. Saya kembali ke kampung halaman karena itu adalah perintah keras dari keluarga saya, Dok." lanjut Wirna. "Mengapa? Apa dasarnya keluargamu ingin memisahkan kalian? Bukankah mereka tahu kalau kamu mempunyai istri?" selidik Dr. Fredy. Wirna menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya. "Mereka terpengaruh dengan fitnahan yang dilakukan teman-teman saya sendiri. Teman-teman saya mengarang cerita bohong bahwa Amelia telah mendukuni saya. Karena itu keluarga saya bersikeras memisahkan saya dengan Amelia dan memaksa saya kembali kepada mantan istri saya yang sebe
Dr. Fredy baru saja selesai melakukan operasi mata terhadap seorang pasiennya. Ia bergegas masuk ke ruang kerjanya setelah menanggalkan jubah dokter yang sebelumnya ia kenakan. "Selamat sore, Dok!" Dua orang lelaki berperawakan tinggi dan agak gemuk menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya. Ternyata kedua tamunya itu adalah aparat kepolisian yang berpangkat cukup tinggi. "Selamat sore juga Komandan! Maaf lama menunggu." jawab Dr. Fredy ramah dan menyalami kedua tamunya tersebut. "Silahkan duduk kembali." Dr. Fredy mengatur tangan untuk mempersilahkan. "Ah tidak mengapa, Dok. Kami tahu Dokter tentu saja sibuk melayani para pasien." sahut lelaki yang disapa komandan tadi, lalu keduanya kembali menghempaskan bokong mereka di sofa. "Langsung saja Dok, kami ingin mengucapkan terima kasih atas informasi yang telah Dokter berikan tentang saudara Wirna yang merupakan korban penculikan yang tengah di selidiki kepolisian kota Batam. Dan rekaman suara yang berisi keteran
Dunia terasa berbalik arah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Amelia. Jelang seminggu lagi pernikahan dirinya dengan Mois, ia dikejutkan ketika satu rombongan polisi datang menangkap calon suaminya itu. Mois tidak berkutik begitu polisi menjadikan dirinya sebagai tersangka atas kejahatan penculikan yang ia lakukan terhadap Wirna. Dan saat itu Amelia hanya bisa membelalakkan mata, dirinya tidak menyangka kalau Mois yang telah melakukan semua itu. "Kang Wirna sengaja disingkirkan!" ucap hati Amelia yang terlihat merenung di taman kecil yang ada di samping rumahnya. Amelia duduk sendirian disana karena memang hanya dirinya sendiri yang ada di rumah saat itu. Sementara Dean dan Haris pergi menghabiskan waktu dengan bermain game di sebuah pusat game online. Mereka berdua memang mempunyai hobi yang sama yaitu main game. "Ooh." Terdengar Amelia melenguh sedih. Hatinya gundah gulana disertai kebingungan yang luar biasa. Bagaimana pun, Mois telah melakukan perbuatan yang sungguh buruk te
Amelia tergagap mendapat pelukan yang begitu mendadak dari Wirna. Ia perlahan mendorong tubuh Wirna dengan wajah memerah karena malu disaksikan begitu banyak orang disana dan tentunya ia tidak mau membuat hati Mois terluka. "Tidak baik begitu!" ucap Amelia dingin. Ia tidak lagi memanggil Wirna dengan panggikan 'Abi' yang biasa ia lakukan semenjak mereka terikat hubungan suami istri. "Ami! Mengapa bicara seperti itu? Ami tidak senang melihat Abi sudah sembuh dan bisa melihat lagi?" suara Wirna mengeras namun Amelia berlalu begitu saja bahkan menabrak bahu lelaki itu sebelah kiri. Amelia bergabung duduk di sofa tamu yang ada di dalam ruangan tersebut. "Saudara Wirna! Sebaiknya urusan saudara dengan Ibu Amelia diselesaikan nanti saja. Kami mengundang saudara kesini untuk memberikan keterangan atas penculikan dan penelantaran yang saudara alami." tegur seorang polisi berpangkat cukup tinggi. Dr. Fredy juga memberi isyarat agar Wirna tenang. Wirna mengangguk dan dengan langkah gontai
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos