Pengakuan Dosa 2Wirna makin tertunduk diam. Ungkapan Dr. Fredy membuatnya semakin tersudut. "Izinkan saya melanjutkan cerita saya, Dok." ucap Wirna pelan. Ia meletakkan sendok di atas piring sebagai tanda ia sudah selesai makan. Nafsu makannya hilang berganti kesedihan di hatinya. Dr. Fredy mengangguk dan mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan. "Keputusan saya meninggalkan Amelia adalah pelanggaran sumpah yang nyata. Saya kembali ke kampung halaman karena itu adalah perintah keras dari keluarga saya, Dok." lanjut Wirna. "Mengapa? Apa dasarnya keluargamu ingin memisahkan kalian? Bukankah mereka tahu kalau kamu mempunyai istri?" selidik Dr. Fredy. Wirna menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya. "Mereka terpengaruh dengan fitnahan yang dilakukan teman-teman saya sendiri. Teman-teman saya mengarang cerita bohong bahwa Amelia telah mendukuni saya. Karena itu keluarga saya bersikeras memisahkan saya dengan Amelia dan memaksa saya kembali kepada mantan istri saya yang sebe
Dr. Fredy baru saja selesai melakukan operasi mata terhadap seorang pasiennya. Ia bergegas masuk ke ruang kerjanya setelah menanggalkan jubah dokter yang sebelumnya ia kenakan. "Selamat sore, Dok!" Dua orang lelaki berperawakan tinggi dan agak gemuk menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya. Ternyata kedua tamunya itu adalah aparat kepolisian yang berpangkat cukup tinggi. "Selamat sore juga Komandan! Maaf lama menunggu." jawab Dr. Fredy ramah dan menyalami kedua tamunya tersebut. "Silahkan duduk kembali." Dr. Fredy mengatur tangan untuk mempersilahkan. "Ah tidak mengapa, Dok. Kami tahu Dokter tentu saja sibuk melayani para pasien." sahut lelaki yang disapa komandan tadi, lalu keduanya kembali menghempaskan bokong mereka di sofa. "Langsung saja Dok, kami ingin mengucapkan terima kasih atas informasi yang telah Dokter berikan tentang saudara Wirna yang merupakan korban penculikan yang tengah di selidiki kepolisian kota Batam. Dan rekaman suara yang berisi keteran
Dunia terasa berbalik arah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Amelia. Jelang seminggu lagi pernikahan dirinya dengan Mois, ia dikejutkan ketika satu rombongan polisi datang menangkap calon suaminya itu. Mois tidak berkutik begitu polisi menjadikan dirinya sebagai tersangka atas kejahatan penculikan yang ia lakukan terhadap Wirna. Dan saat itu Amelia hanya bisa membelalakkan mata, dirinya tidak menyangka kalau Mois yang telah melakukan semua itu. "Kang Wirna sengaja disingkirkan!" ucap hati Amelia yang terlihat merenung di taman kecil yang ada di samping rumahnya. Amelia duduk sendirian disana karena memang hanya dirinya sendiri yang ada di rumah saat itu. Sementara Dean dan Haris pergi menghabiskan waktu dengan bermain game di sebuah pusat game online. Mereka berdua memang mempunyai hobi yang sama yaitu main game. "Ooh." Terdengar Amelia melenguh sedih. Hatinya gundah gulana disertai kebingungan yang luar biasa. Bagaimana pun, Mois telah melakukan perbuatan yang sungguh buruk te
Amelia tergagap mendapat pelukan yang begitu mendadak dari Wirna. Ia perlahan mendorong tubuh Wirna dengan wajah memerah karena malu disaksikan begitu banyak orang disana dan tentunya ia tidak mau membuat hati Mois terluka. "Tidak baik begitu!" ucap Amelia dingin. Ia tidak lagi memanggil Wirna dengan panggikan 'Abi' yang biasa ia lakukan semenjak mereka terikat hubungan suami istri. "Ami! Mengapa bicara seperti itu? Ami tidak senang melihat Abi sudah sembuh dan bisa melihat lagi?" suara Wirna mengeras namun Amelia berlalu begitu saja bahkan menabrak bahu lelaki itu sebelah kiri. Amelia bergabung duduk di sofa tamu yang ada di dalam ruangan tersebut. "Saudara Wirna! Sebaiknya urusan saudara dengan Ibu Amelia diselesaikan nanti saja. Kami mengundang saudara kesini untuk memberikan keterangan atas penculikan dan penelantaran yang saudara alami." tegur seorang polisi berpangkat cukup tinggi. Dr. Fredy juga memberi isyarat agar Wirna tenang. Wirna mengangguk dan dengan langkah gontai
"Duduklah Kang!" Amelia mempersilahkan Wirna yang masih berdiri kaku. Mereka seperti orang baru kenal saja. "Iya!" sahut Wirna singkat kemudian duduk di sebuah sofa di ruang tamu rumah Amelia. Amelia juga melakukan hal yang sama. Ia menduduki sebuah sofa yang posisinya berhadapan dengan Wirna. Diantara mereka berdua dipisahkan oleh sebuah meja kaca yang tidak begitu lebar. Beberapa detik berlalu begitu saja. Belum ada yang memulai untuk bicara. "Aku sangat senang melihatmu sudah sembuh sekarang, Kang. Dan aku mohon maaf atas semua perbuatan yang telah dilakukan oleh Mois terhadapmu." akhirnya Amelia bicara juga dan memecah kebuntuan diantara mereka berdua. Ucapan Amelia yang kaku membuat wajah Wirna memerah. Tampaknya ia sangat tidak suka dengan kalimat yang diucapkan oleh Amelia. Bukan kalimat itu yang ia harapkan keluar dari bibir Amelia. "Aku...? Kang..? Sejak kapan Ami memanggil Abi seperti itu? Sejak Ami sudah pandai berselingkuh dengan lelaki jahanam itu, hah?" hardik Wirn
Sirene ambulan meraung memecah terik panas matahari sore itu. Tubuh kecil Haris tergolek tidak berdaya di atas bangsal ambulan tersebut. Pakaian yang membungkus tubuhnya sebagian besar telah dibasahi darah. Bau anyir memenuhi kabin bagian belakang mobil penyelamat yang terus melaju kencang membelah keramaian jalan. "Haris..., bangun Nak..! Bapak tidak mau melihatmu seperti ini, huhuhu.." Wirna tiada hentinya meratapi nasib malang yang menimpa putra sulungnya tersebut. Ia tertunduk lesu di samping kanan bangsal tempat tubuh Haris tergolek lemah dan tak sadarkan diri. Tidak berbeda dengan Wirna, Amelia juga melakukan hal yang sama. Wanita yang sudah menganggap Haris seperti anak kandungnya itu tiada hentinya menangis. Ia terduduk lesu disebelah kiri Haris. Amelia tidak sanggup lagi berkata-kata, hanya seribu rasa berkecamuk di dalam hatinya. Ada rasa penyesalan mengapa ia tidak menyadari dari semula kalau pembicaraannya dengan Wirna akan di dengar Haris dan akan membuat bocah polos
Pintu ruang tahanan terbuka lebar. Mois dikawal menuju sebuah ruangan tempat ia diizinkan untuk menerima tamu. "Pasti Amelia yang datang." terka hati Mois dengan menyunggingkan senyum bahagia dibibirnya. Dirinya sangat merindukan wanita yang dicintanya itu. "Silahkan!" ucap petugas polisi yang mengantar Mois ke ruang khusus tersebut. "Terima kasih!" sahut Mois mengangguk sopan. Pintu segera ditutup si petugas dan terdengar bunyi dari lubang kunci tanda pintu tersebut dikunci sang petugas dari luar. Mois membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sepasang kursi tamu yang ada di dalam ruang yang tidak begitu besar itu. Disana hanya ada dua buah kursi dengan posisi berhadapan yang dibatasi oleh sebuah meja yang tidak begitu lebar. Agak tercenung Mois melihat seorang wanita yang duduk menunggunya disana. Wanita itu bukan Amelia yang ia kira, tapi seorang perempuan bertubuh ramping dan terlihat lebih muda. Rambutnya tergerai indah berwarna coklat coca-cola. Bergegas Mois mendekat dan l
Hari itu Amelia tidak datang ke kantor polisi untuk menemui Mois. Kabar dari rumah sakit membuat Amelia harus membatalkan rencananya untuk menemui calon suaminya yang sudah lima hari mendekam di dalam tahanan tersebut. Kasus Mois akan segera naik ke persidangan jika berita acara sudah dianggap sempurna. Dengan bergegas Amelia berjalan di koridor rumah sakit tempat Haris mendapat perawatan. Di sana sudah ada Wirna yang juga terlihat menunggu resah. "Ami!" sapa Wirna langsung menyambut kedatangan Amelia dengan sikap mesra. Ia kembali merengkuh bahu wanita itu dan berjalan bersama menuju ruang dokter. "Bagaimana keadaan Haris, Bi?" tanya Amelia cemas. Entah karena hatinya telah mencair terhadap Wirna atau hanya terbawa keadaan saja, tapi yang jelas sikap Amelia sangat jauh melunak kini terhadap Wirna. Mereka terlihat sangat kompak dan akur bahkan sepintas terlihat mesra layaknya seperti dulu sebelum mereka berpisah. "Ayolah kita ke ruangan Dokter! Abi juga belum sampai kesana. Tadi p