Adzan subuh berkumandang. Tiada terasa pagi sudah datang menjelang. Aku menggeliat di atas tempat tidur. Hari ini aku cukup lelah karena seharian penuh memasak untuk pernikahan seorang anak pengusaha. Dan tentu saja pembayarannya cukup lumayan. Pokoknya sepadanlah dengan tenaga yang telah aku keluarkan. Adzan berlalu kini berganti qomad. Aku masih saja bermalas diri di atas pembaringan. Bahkan ada ide gila di hatiku untuk melewatkan sholat subuh begitu saja. Aah... mungkin setan dan iblis tengah membisikkan rayuan neraka ke pikiranku. Ku sentakkan selimut yang menutupi tubuhku dan ku enyahkan ke samping. Aku segera duduk dan bergegas menuju kamar mandiku untuk berwudhu. Tak lama kemudian aku telah khusuk berdoa di atas sejadah. Tidak lupa kupanjatkan doa agar Kang Wirna diberikan kesehatan dan keselamatan. Karena seminggu sudah ia pergi tanpa memberi kabar sepatah kata pun. Mengingat semua itu aku jadi sedih dan mulai menangis. Bagaimana pun tidak dapat kuingkari kalau aku masih me
Pov Wirna"Dimana aku? "Kembali hanya pertanyaan itu yang sanggup aku ucapkan dikala mataku terbuka dan pandanganku membentur bayangan luas berwarna putih. Aku tentu saja sangat yakin bahwa aku sudah mati. Karena kalau aku masih hidup, tentu tidak mungkin aku bisa melihat hamparan warna putih yang terpampang di depanku. Oh, aku pasti tengah berada di alam barzah, begitulah pikirku. "Alhamdulillah, semua berjalan dengan sangat baik." tiba-tiba kudengar suara berat berkata dan helaan nafas lega beberapa orang yang aku perkirakan berada di belakang layar putih tersebut. "Ooh, suara siapa itu? Apakah suara malaikat kubur?" hatiku mendesah sangat galau. Aku semakin melebarkan mata memandang ke arah layar putih yang sepertinya sengaja di bentangkan di ujung pembaringanku. "Oh ternyata aku belum mati." Hatiku bersorak girang begitu aku merasa jarum infus tertancap di punggung tanganku. Apalagi aku menyadari bahwa penglihatanku sudah normal kembali bahkan lebih baik dari semula. Bahkan ak
Pov Wirna"Kamu boleh menempati kamar ini selama kamu mau. Saya akan memberikan jadwal pekerjaan yang akan kamu mulai besok pagi. Untuk pekerjaanmu itu, saya akan memberikan upah yang cukup lumayan setiap bulan." ucap Dr. Fredy begitu kami masuk ke sebuah kamar yang terdapat di rumah megah yang sangat mewah. Kakiku cukup gemetar ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah ini. Bagaimana tidak? Rumah nan luas serta megah ini lebih tepat disebut ruangan syurga yang belum pernah aku kunjungi bahkan aku lihat seumur hidupku. Dr. Fredy ternyata sangat kaya raya. Namun walau pun kaya, beliau sangat ramah dan rendah hati. Bahkan ia mau mengantarkan diriku yang lebih pantas disebut pengemis ini, ke lantai dua rumah mewah tersebut."Te.. terima kasih, Dok! Dokter baik sekali. Semoga Allah membalas semua budi baik Dokter." jawabku menunduk haru. Mataku berkaca-kaca menahan sesak dan bahagia di dalam dada. "Sama-sama, Wirna. Semoga hari-harimu ke depan lebih bahagia dan menyenangkan." sahut
Pekanbaru, di kediaman Dr. Fredy. Wirna terlihat sangat semangat melaksanakan tugasnya sebagai tenaga kebersihan di tempat praktek Dr. Fredy. Tempat praktek itu cukup luas dan menyerupai klinik. Ada beberapa kamar rawat inap yang diperuntukkan bagi pasien yang mengalami masalah penglihatan atau mata. Kebanyakan dari mereka melakukan operasi katarak dan ada juga beberapa yang menderita penyakit mata yang lebih parah. "Selamat siang, Dok!" sapa Wirna sembari membungkukkan badan begitu Dr. Fredy datang menghampirinya. "Selamat siang juga Wirna. Saya lihat kamu sangat bersemangat." jawab Dr. Fredy tersenyum senang. "Saya hanya melakukan apa yang saya bisa Dok." ucap Wirna malu dan sungkan. "Bagus! Saya puas dengan apa yang telah kamu lakukan disini. Tempat ini semakin bersih semenjak kehadiran kamu." tambah Dr. Fredy sambil menepuk bahu Wirna. Wajah Wirna bersemu merah mendapat pujian seperti itu. Ia hanya membungkuk malu. "Kamu pasti belum makan siang. Ayo..! Kebetulan saya juga a
Pengakuan Dosa 2Wirna makin tertunduk diam. Ungkapan Dr. Fredy membuatnya semakin tersudut. "Izinkan saya melanjutkan cerita saya, Dok." ucap Wirna pelan. Ia meletakkan sendok di atas piring sebagai tanda ia sudah selesai makan. Nafsu makannya hilang berganti kesedihan di hatinya. Dr. Fredy mengangguk dan mengunyah makanan di mulutnya dengan pelan. "Keputusan saya meninggalkan Amelia adalah pelanggaran sumpah yang nyata. Saya kembali ke kampung halaman karena itu adalah perintah keras dari keluarga saya, Dok." lanjut Wirna. "Mengapa? Apa dasarnya keluargamu ingin memisahkan kalian? Bukankah mereka tahu kalau kamu mempunyai istri?" selidik Dr. Fredy. Wirna menghela nafas panjang dan melanjutkan ceritanya. "Mereka terpengaruh dengan fitnahan yang dilakukan teman-teman saya sendiri. Teman-teman saya mengarang cerita bohong bahwa Amelia telah mendukuni saya. Karena itu keluarga saya bersikeras memisahkan saya dengan Amelia dan memaksa saya kembali kepada mantan istri saya yang sebe
Dr. Fredy baru saja selesai melakukan operasi mata terhadap seorang pasiennya. Ia bergegas masuk ke ruang kerjanya setelah menanggalkan jubah dokter yang sebelumnya ia kenakan. "Selamat sore, Dok!" Dua orang lelaki berperawakan tinggi dan agak gemuk menyambut kedatangannya dengan berdiri dari tempat duduknya. Ternyata kedua tamunya itu adalah aparat kepolisian yang berpangkat cukup tinggi. "Selamat sore juga Komandan! Maaf lama menunggu." jawab Dr. Fredy ramah dan menyalami kedua tamunya tersebut. "Silahkan duduk kembali." Dr. Fredy mengatur tangan untuk mempersilahkan. "Ah tidak mengapa, Dok. Kami tahu Dokter tentu saja sibuk melayani para pasien." sahut lelaki yang disapa komandan tadi, lalu keduanya kembali menghempaskan bokong mereka di sofa. "Langsung saja Dok, kami ingin mengucapkan terima kasih atas informasi yang telah Dokter berikan tentang saudara Wirna yang merupakan korban penculikan yang tengah di selidiki kepolisian kota Batam. Dan rekaman suara yang berisi keteran
Dunia terasa berbalik arah. Setidaknya itulah yang dirasakan oleh Amelia. Jelang seminggu lagi pernikahan dirinya dengan Mois, ia dikejutkan ketika satu rombongan polisi datang menangkap calon suaminya itu. Mois tidak berkutik begitu polisi menjadikan dirinya sebagai tersangka atas kejahatan penculikan yang ia lakukan terhadap Wirna. Dan saat itu Amelia hanya bisa membelalakkan mata, dirinya tidak menyangka kalau Mois yang telah melakukan semua itu. "Kang Wirna sengaja disingkirkan!" ucap hati Amelia yang terlihat merenung di taman kecil yang ada di samping rumahnya. Amelia duduk sendirian disana karena memang hanya dirinya sendiri yang ada di rumah saat itu. Sementara Dean dan Haris pergi menghabiskan waktu dengan bermain game di sebuah pusat game online. Mereka berdua memang mempunyai hobi yang sama yaitu main game. "Ooh." Terdengar Amelia melenguh sedih. Hatinya gundah gulana disertai kebingungan yang luar biasa. Bagaimana pun, Mois telah melakukan perbuatan yang sungguh buruk te
Amelia tergagap mendapat pelukan yang begitu mendadak dari Wirna. Ia perlahan mendorong tubuh Wirna dengan wajah memerah karena malu disaksikan begitu banyak orang disana dan tentunya ia tidak mau membuat hati Mois terluka. "Tidak baik begitu!" ucap Amelia dingin. Ia tidak lagi memanggil Wirna dengan panggikan 'Abi' yang biasa ia lakukan semenjak mereka terikat hubungan suami istri. "Ami! Mengapa bicara seperti itu? Ami tidak senang melihat Abi sudah sembuh dan bisa melihat lagi?" suara Wirna mengeras namun Amelia berlalu begitu saja bahkan menabrak bahu lelaki itu sebelah kiri. Amelia bergabung duduk di sofa tamu yang ada di dalam ruangan tersebut. "Saudara Wirna! Sebaiknya urusan saudara dengan Ibu Amelia diselesaikan nanti saja. Kami mengundang saudara kesini untuk memberikan keterangan atas penculikan dan penelantaran yang saudara alami." tegur seorang polisi berpangkat cukup tinggi. Dr. Fredy juga memberi isyarat agar Wirna tenang. Wirna mengangguk dan dengan langkah gontai