“Sungguh?” Sisilia tidak kuasa menahan pekikannya. “Aku benar-benar akan bertunangan dengan Aiden?”
“Papa tidak tahu apa yang merasuki Aiden. Yang jelas, Papa harap kau tidak membuat keributan apa pun lagi. Mengerti?” Tentu saja Sisilia tidak mendengar apa yang papanya katakan karena dia sudah terlalu senang. Tapi rupanya, kesenangan itu tidak ingin dia simpan sendiri. Sisilia ingin membaginya dengan seseorang yang selama beberapa waktu ini membantunya. “Aku akan bertunangan dengan Aiden,” pekik Sisilia dengan ponsel menempel di telinga. “Selamat, tapi apakah kau tidak ingin mengatakan sesuatu padaku?” tanya Damian di seberang sambungan telepon. “Tentu saja tidak,” jawab Sisilia dengan santainya. “Aku sama sekali tidak ingin mengatakan hal lain, selain tentang pertunanganku.” “Wah, benar-benar tidak tahu diri ya.” Damian terkekeh pelan. “Padahal aku loh yang memberikan informasi soal surat kontrak itu pada wart“Sudah dengar soal si Angelina Julie?” Seorang perawat berbicara. “Yang katanya pelihara lelaki muda itu?” tanya perawat yang lain. “Iya. Heran aja sih. Kenapa perempuan secantik itu sampai harus pelihara laki-laki, maksudku memangnya dia tidak laku sampai segitunya?” “Atau bisa saja dia perempuan yang gila melakukan itu kan? Walau mungkin punya pacar, tapi dia tidak cukup dengan satu lelaki.” Aju mendesah pelan mendengar bisikan yang tidak terdengar seperti bisikan itu. Suaranya cukup keras, sampai dirinya yang melintas saja bisa mendengar. Atau mungkin telinganya saja yang terlalu sensitif? Melihat Mey dan Kira tampak baik-baik saja, pasti begitu kan? “Kau kenapa?” Mey yang menanyakan itu karena sang manajer sudah menghilang. Kira berjalan lebih dulu untuk mengambil mobil. “Aku tidak tahu kau tuli atau apa, tapi di sekitar kita sangat berisik.” Suara Aju tidak terdengar jelas karena menggunakan masker, tapi
“Coba lihat dia. Kenapa dia masih ada di sini sih? Memangnya Nyonya Tiara tidak mengganti modelnya?” Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Aju, ketika akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Hari ini dia sudah mendapat jadwal untuk melanjutkan pemotretan dengan Fleur, tapi sepertinya tidak disambut dengan baik. “Aju, kau kenapa?” Tiara yang juga ikut datang hari ini, menyapa perempuan yang menjadi modelnya itu. “Apa masih kurang sehat?” “Tidak kok, Tante.” Tentu saja, Aju akan menggeleng. “Hanya agak canggung saja setelah lama tidur di rumah sakit.” “Coba lihat itu.” Suara bisik-bisik yang terlalu keras, kembali terdengar. “Dia sepertinya dekat dengan Nyonya Tiara. Jangan-jangan, anaknya Nyonya Tiara juga jadi korban.” “KALIAN INI.” Tiara yang mendengar percakapan pegawainya, langsung berteriak untuk menegur. “Apa kalian segitu senggangnya ya? Tidakkah kalian harus bekerja?” Walau tidak semua orang yang ada d
“Hai, Aiden.” Yang empunya nama langsung mengernyit mendengar suara manja yang bergema di rumahnya. Lebih tepatnya, rumah sang kakek. Jujur saja, itu membuat Aiden sangat kesal. “Kau mau ke mana pagi-pagi begini?” Sisilia bertanya dengan raut wajah ceria. “Kantor.” Aiden menjawab singkat, hanya demi kesopanan. “Ini kan masih libur. Kenapa malah ke kantor?” Jelas saja Sisilia merasa bingung. “Yang libur itu kampus. Bukan kantor.” Aiden menghindar dengan berjalan cepat ke teras. Dia sudah rapi untuk pergi bersama sang kakek ke kantor, untuk belajar beberapa hal. Setelahnya mungkin dia akan berguru pada ayahnya Sisilia. Lalu sekarang, sang kakek sudah menunggu di dalam mobil. “Kenapa kau?” tanya Raja pada cucunya, lewat jendela yang terbuka. “Bukannya kita akan ke kantor?” tanya Aiden dengan wajah bingung. “Apa kau buta?” tanya pria tua yang duduk di dalam mobil itu denga
“APA-APAAN INI.” Sisilia melempar ponsel tiga boba terbarunya ke atas sebuah meja. “Kenapa lagi dengan ponselmu?” Damian mengambil benda pipih yang berlayar hitam itu, kemudian membolak-baliknya untuk melihat ada apa dengan benda itu. “Apa ini rusak? Mau kubelikan yang baru? Memangnya kau tidak sanggup beli yang baru?” Lelaki blasteran itu memberi pertanyaan secara berurutan dan membuat tamunya kesal. “Bukan itu, Sialan.” Sisilia tampak makin geram. “Coba lihat apa yang baru saja diposting oleh Aiden di media sosialnya.” “Tapi aku tidak berteman dengan dia, aku juga tidak punya media sosial dan ponselmu juga terkunci. Aku harus melihat di mana?” Mendengar perkataan lelaki blasteran di depannya, Sisilia makin menggeram kesal. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain merebut ponselnya, membukanya dan memperlihatkan apa yang ingin dia perlihatkan. Sebenarnya, apa yang diunggah Aiden bukanlah hal spesial. Hanya s
“Haus banget sih.” Aju terbangun dari tidurnya dengan leher kering. Perempuan itu tentu saja akan meraih botol minum yang biasanya ada di atas nakas, dekat dengan ranjang. Namun kali ini, dia tidak menemukannya sama sekali. “Oh, iya. Kan ini di apartemen.” Perempuan dengan piama itu mendesah pelan ketika menyadari apartemennya tidak selengkap di rumah. Karena Kira juga masih tidur, alhasil Aju memilih untuk turun dari ranjang saja. Toh dia sudah terlanjur bangun dan perlu ke toilet juga. Sekalian saja mengambil air untuk diminum di dapur. “Hm? Kok ada suara sih?” Ketika mengambil air minum dalam botol kemasan yang tadi sempat dia beli dan ditaruh di area dapur. Aju berpikir kalau yang tadi didengarnya hanyalah khayalan saja. Siapa sangka kalau suara itu makin terdengar saja. Walau terdengar sangat samar, tapi bisa dipastikan itu adalah suara langkah kaki yang seperti diseret. “Siapa di sana?” tanya Aju yang menatap ke area ruang tamu yang memang agak gelap karena hanya area
“Halo, Kak.” Aiden kembali memanggil, setelah hanya mendengar suara teriakan tidak jelas dari ujung sambungan teleponnya. “Sialan.” Tidak mendapat respons, Aiden langsung melompat turun dari ranjang. Lelaki muda itu dengan cepat berlari turun dan menyambar kunci mobil yang di simpat di dekat pintu masuk garasi. Aiden tidak lagi melihat kunci mobil yang mana yang dia ambil karena sibuk melacak keberadaan Aju lewat aplikasi maps. Kebetulan, dulu mereka pernah setuju agar bisa saling mencari lokasi masing-masing lewat aplikasi. Siapa sangka kalau Aiden akan menggunakannya sekarang dan dalam keadaan terdesak. Untung saja lokasi ponsel Aju masih aktif, jadi dengan mudah ditemukan. “Halo. Apa bisa tolong periksa unit 1208 sekarang juga?” Merasa kalau tempatnya terlalu jauh, Aiden memutuskan untuk menelepon ke resepsionis lebih dulu. Setidaknya, dengan begitu akan ada satpam atau pegawai yang bisa memeriksa kondisi Aju. Dan untung saja orang dari pihak apartemen bisa diajak bekerja s
“Kapan sih kau punya pacar, Wil?” Tiara mengatakan itu pada salah seorang sahabatnya. “Kau sendiri kapan punya pacar?” Lelaki dengan seragam SMA penuh coretan yang dipanggil Wil itu menjawab dengan acuh. “Sampai kapan kau mau terjebak di antara aku dan Delon?” “Hei, aku tidak terjebak dengan kalian ya.” Tiara muda yang juga berseragam putih abu-abu penuh coretan, langsung protes. “Aku kan sudah punya pacar loh.” “Si Gala-Gala itu?” Kini giliran Delon yang berbicara. Kemeja putihnya juga sama saja dengan dua sahabatnya yang lain. “Kalian akhirnya jadian juga?” “Ya. Setelah aku bosan menolaknya, pada akhirnya kami pacaran juga.” Tiara mendesah pelan, seolah apa yang dia katakan adalah beban yang sangat berat. “Cih. Bilang saja kau hanya sok jual mahal.” Wil tidak keberatan berdecih, bahkan meludah. “Dari awal kau kan sebenarnya suka pada dia.” “Iya. Aku memang suka wajah tampannya dan sifat cool yang seperti cowok-cowok tsundere di komik, sudah itu saja.” Tiara mengedikkan bahuny
“Wil memanipulasi Farah dan mereka jadinya tidur bersama,” jelas Tiara yang terlihat sangat sedih. “Dia hamil Aju dan berakhir menikahi lelaki yang sama sekali tidak dia sukai di usia yang sangat muda.” “Bukankah itu bisa dibilang pemerkosaan?” tanya Aiden dengan kening berkerut. “Kenapa tidak dilaporkan?"“Tidak bisa karena saat itu Farah sudah cukup umur dan dalam pengaruh obat. Apalagi William membuatnya terlihat seperti Farah yang menggoda duluan dan terus memberi sugesti seperti itu.” “Lalu karena terbebani, si Farah ini pada akhirnya mudah terpengaruh dengan kata-kata?” tebak Aiden dengan sangat akurat. “Dia pada akhirnya sadar, tapi sudah terlambat. Aju sudah cukup besar saat itu dan dia sangat sayang pada putrinya.” Tiara mendesah pelan, sebelum melanjutkan. “Lalu anak itu juga terlalu baik. Dia pikir William bisa berubah suatu saat nanti. Karenanya tidak keberatan punya anak kedua, tapi lelaki biadab itu malah melakukan hal yang benar-benar hanya karena dia salah paham d
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa