“Wil memanipulasi Farah dan mereka jadinya tidur bersama,” jelas Tiara yang terlihat sangat sedih. “Dia hamil Aju dan berakhir menikahi lelaki yang sama sekali tidak dia sukai di usia yang sangat muda.” “Bukankah itu bisa dibilang pemerkosaan?” tanya Aiden dengan kening berkerut. “Kenapa tidak dilaporkan?"“Tidak bisa karena saat itu Farah sudah cukup umur dan dalam pengaruh obat. Apalagi William membuatnya terlihat seperti Farah yang menggoda duluan dan terus memberi sugesti seperti itu.” “Lalu karena terbebani, si Farah ini pada akhirnya mudah terpengaruh dengan kata-kata?” tebak Aiden dengan sangat akurat. “Dia pada akhirnya sadar, tapi sudah terlambat. Aju sudah cukup besar saat itu dan dia sangat sayang pada putrinya.” Tiara mendesah pelan, sebelum melanjutkan. “Lalu anak itu juga terlalu baik. Dia pikir William bisa berubah suatu saat nanti. Karenanya tidak keberatan punya anak kedua, tapi lelaki biadab itu malah melakukan hal yang benar-benar hanya karena dia salah paham d
“Dia mengalami amnesia disiosiatif.” Dokter menjelaskan, setelah cukup lama memeriksa Aju. “Baru dugaan karena ini bukan ranah saya, tapi kalau mau saya bisa merujuk ke dokter yang lebih ahli.” “Amnesia disosiatif?” Tentu saja Tiara akan bertanya karena dia memang tidak mengerti, begitu pula dengan Aiden dan Ray yang mengerutkan kening. Rupanya itu adalah salah satu jenis penyakit hilang ingatan akibat trauma. Dijelaskan seperti itu membuat semua orang langsung paham karena Aju memang baru saja mengalami kejadian yang traumatis. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali selama dia hidup. “Karena ini kemungkinan besar menyangkut trauma, akan lebih baik jika langsung dirujuk ke psikiater. Akan saya rujuk ke dokter spesialis saraf juga untuk berjaga-jaga.” Tentu saja mereka hanya bisa mengangguk setuju. Saran dari dokter jelas akan lebih baik dan benar. Itu pun mereka segera membuat janji temu, agar semuanya lekas selesai. Dokter saraf ada
“Paman yang menyeramkan?” tanya Beni dengan mata melotot. “Kau ini sedang bersandiwara atau apa sih?” “Maaf, tapi siapa pun kamu.” Tiara langsung maju menghalangi Beni yang ingin menjangkau Aju. “Kami sedang buru-buru, jadi kami tidak bisa mengobrol banyak.” Setelah mengatakan hal itu, Tiara langsung menarik tangan Aju. Aiden dan Ray kemudian mengikuti dua perempuan itu, tak lupa menyempatkan diri untuk menatap Beni dengan sinis. Hal yang tentu saja membuat Beni jadi bingung. “Kenapa kita lari?” Aju masih sempat protes, ketika dia diminta untuk masuk ke mobil. “Apa orang tadi penjahat.” “Ya, dia penjahat.” Aiden tidak segan untuk mengiyakan. “Jadi sebaiknya kita lari karena dia mengincarmu.” “Aju takut.” Tanpa diduga, perempuan dewasa yang berlagak seperti anak kecil itu, tiba-tiba saja memeluk lengan Aiden. “Aju tidak mau diculik.” “Baiklah.” Aiden berdehem sebentar karena kaget. “Kau tidak akan diculik karena aku akan melindungimu.” “Menjijikkan.” Melihat pemandangan yang m
“Kau bilang punya rumah aman,” desis Kira ketika sudah sampai di tempat yang dia tuju. “Tapi apa ini? Kau membawa Aju ke rumah kakekmu?” “Di sini aman.” Aiden tetap kukuh dengan pendiriannya. “Setidaknya, keluarga Aju tidak akan datang ke sini dan mengacau." “Tapi kakekmu jelas saja akan mengacau. Apa kau tidak lihat tampangnya sekarang?” Aiden menoleh dan menatap pada pria tua yang duduk di sofa tunggal seorang diri. Tatapan mata Raja jelas tidak begitu menyenangkan, tapi itu rupanya tidak membuat Aju ketakutan. Berbeda saat bertemu dengan Beni di rumah sakit tadi. “Kakek matanya sakit?” tanya Aju dengan polosnya. “Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?” Raja jelas saja akan menghardik, tapi rupanya yang dihardik juga terlihat santai saja. “Soalnya, mata Kakek melotot begitu. Sama seperti Papa waktu lagi sakit.” Tanpa terduga, Aju menceritakan masa lalunya yang tidak pernah didengar siapa pun. “Memangnya papamu kenapa?” Raja jadi penasaran dan pada akhirnya bertanya juga,
“APA KALIAN SEMUA SUDAH TULI?” Sisilia kembali berteriak dan membuat Aju bersembunyi di belakang tubuh Aiden. Hal yang membuat si tamu makin marah. “KAU PEREMPUAN JALANG.” Sisilia yang masih marah, langsung saja menerjang maju. Niatnya sih Sisilia ingin menampar perempuan yang membuatnya marah. Sayang sekali, ada yang menghalangi jalannya. Bukan Aiden, melainkan Raja. Lelaki tua itu tiba-tiba saja beranjak dan berdiri di depan sang cucu yang sedang melindungi Aju. “Kakek ngapain sih?” tanya Sisilia masih terlihat sangat marah. “Minggir dong.” “Justru kamu yang harus minggir,” desis Raja dengan ekspresi yang mengeras. “Kok Kakek gitu sih?” Bukannya sadar diri, Sisilia malah merajuk. “Itu cucu Kakek lagi menyembunyikan selingkuhannya. Harusnya tuh diusir, bukan malah dibela.” “Cukup Sisilia!” Walau sudah cukup tua, tapi rupanya suara Raja masih cukup menggelegar. “Harusnya kamu yang pergi dari sini!” lanjut sang kakek dengan wajah yang sudah mulai memerah. “Kenapa malah aku y
“Kakak Kira. Ini kenapa sih?” Aju menunjukkan ponsel yang selama ini dia pakai. Ponsel yang memang miliknya, sebelum mentalnya kembali menjadi anak kecil lagi. “Hah? Kenapa bisa ada komentar seperti ini?” Kira yang menemani sang artis untuk mengerjakan pekerjaan endorse dan yang penting saja, langsung memekik kesal. “Apa ada masalah?” Raja yang juga menemani, ikut-ikutan bersuara. “Ada yang bilangin Aju gila.” Sang selebriti dengan mental anak kecil itu mulai mencebik kesal. “Katanya kelainan jiwa dan bi ... apa begitu.” “Bipolar?” “Ya, itu. Padahal Aju kan tidak begitu kan, Kek?” Kening Raja berkerut melihat perempuan yang kini merajuk itu. Rasanya dia belum pernah menyebarkan soal Aju yang sekarang ini sedang kehilangan ingatan, tapi kenapa banyak gosip aneh beredar? Masa iya hanya karena belakangan ini dia bertingkah imut? “Maaf, Pak Raja ....” “Saya tidak melakukan apa-apa.” Sang ka
“Apa adikku sudah lahir?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika dia baru bangun tidur. “Hah? Adik?” Jelas saja semua orang yang mendengar akan menjadi kaget. “Iya, adik.” Aju mengangguk dengan pelan karena masih merasa lemas. “Kata Mama, sebentar lagi lahir. Makanya Mama gak kelihatan karena melahirkan kan?” Kening semua orang berkerut. Di sana ada Aiden dan Kakek Raja saja karena Kira pergi mengurus beberapa proyek yang harus ditunda karena merasa Aju perlu istirahat yang lebih banyak lagi. Tapi yang jelas, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang Aju maksud. “Maaf, tapi apa Aju tidak salah?” Kali ini, Kakek Raja mencoba bertanya dengan hati-hati. Jangan sampai Aju jadi sakit kepala dan pingsan lagi. “Tidak.” Aju tentu akan menggeleng. “Rasanya baru beberapa minggu lalu Mama bilang begitu.” “Kalau begitu, apa Aju mengenal kami?” Kali ini, Aiden yang bertanya. Dia sedang mengetes memori Aju. “Kakak
“Kau barusan bilang apa?” tanya Kira dengan kedua mata membulat. “Ada SMS yang masuk ke ponsel Aju. Ada penarikan dana yang tidak diketahui asalnya,” jawab Aiden dengan desahan pelan. “Bagaimana mungkin? ATM dan mobile banking kan ada di tangan Aju.” Tentu saja Kira akan sangat terkejut mendengar itu. “Makanya aku menelepon pihak bank, tapi mereka tidak mau memberikan informasi. Mau menyuruh Aju juga nanti dia bingung harus bicara apa.” Aiden lagi-lagi mendesah lelah. “Tapi aku sudah tanya pengacara.” “Lalu? Pengacaranya bilang apa?” “Kemungkinan besar, pihak keluarga Aju menggunakan surat wali pengampu.” “Apa pula itu?” Kira yang buta hukum, jelas saja akan bertanya. “Intinya itu surat yang menyatakan kalau Aju punya cacat mental dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Jadinya, ada wali yang ditunjuk untuk itu.” Aiden mencoba untuk menjelaskan secara singkat, agar mudah dipahami. “B
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa