“Dia mengalami amnesia disiosiatif.” Dokter menjelaskan, setelah cukup lama memeriksa Aju. “Baru dugaan karena ini bukan ranah saya, tapi kalau mau saya bisa merujuk ke dokter yang lebih ahli.”
“Amnesia disosiatif?” Tentu saja Tiara akan bertanya karena dia memang tidak mengerti, begitu pula dengan Aiden dan Ray yang mengerutkan kening. Rupanya itu adalah salah satu jenis penyakit hilang ingatan akibat trauma. Dijelaskan seperti itu membuat semua orang langsung paham karena Aju memang baru saja mengalami kejadian yang traumatis. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali selama dia hidup. “Karena ini kemungkinan besar menyangkut trauma, akan lebih baik jika langsung dirujuk ke psikiater. Akan saya rujuk ke dokter spesialis saraf juga untuk berjaga-jaga.” Tentu saja mereka hanya bisa mengangguk setuju. Saran dari dokter jelas akan lebih baik dan benar. Itu pun mereka segera membuat janji temu, agar semuanya lekas selesai. Dokter saraf ada“Paman yang menyeramkan?” tanya Beni dengan mata melotot. “Kau ini sedang bersandiwara atau apa sih?” “Maaf, tapi siapa pun kamu.” Tiara langsung maju menghalangi Beni yang ingin menjangkau Aju. “Kami sedang buru-buru, jadi kami tidak bisa mengobrol banyak.” Setelah mengatakan hal itu, Tiara langsung menarik tangan Aju. Aiden dan Ray kemudian mengikuti dua perempuan itu, tak lupa menyempatkan diri untuk menatap Beni dengan sinis. Hal yang tentu saja membuat Beni jadi bingung. “Kenapa kita lari?” Aju masih sempat protes, ketika dia diminta untuk masuk ke mobil. “Apa orang tadi penjahat.” “Ya, dia penjahat.” Aiden tidak segan untuk mengiyakan. “Jadi sebaiknya kita lari karena dia mengincarmu.” “Aju takut.” Tanpa diduga, perempuan dewasa yang berlagak seperti anak kecil itu, tiba-tiba saja memeluk lengan Aiden. “Aju tidak mau diculik.” “Baiklah.” Aiden berdehem sebentar karena kaget. “Kau tidak akan diculik karena aku akan melindungimu.” “Menjijikkan.” Melihat pemandangan yang m
“Kau bilang punya rumah aman,” desis Kira ketika sudah sampai di tempat yang dia tuju. “Tapi apa ini? Kau membawa Aju ke rumah kakekmu?” “Di sini aman.” Aiden tetap kukuh dengan pendiriannya. “Setidaknya, keluarga Aju tidak akan datang ke sini dan mengacau." “Tapi kakekmu jelas saja akan mengacau. Apa kau tidak lihat tampangnya sekarang?” Aiden menoleh dan menatap pada pria tua yang duduk di sofa tunggal seorang diri. Tatapan mata Raja jelas tidak begitu menyenangkan, tapi itu rupanya tidak membuat Aju ketakutan. Berbeda saat bertemu dengan Beni di rumah sakit tadi. “Kakek matanya sakit?” tanya Aju dengan polosnya. “Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?” Raja jelas saja akan menghardik, tapi rupanya yang dihardik juga terlihat santai saja. “Soalnya, mata Kakek melotot begitu. Sama seperti Papa waktu lagi sakit.” Tanpa terduga, Aju menceritakan masa lalunya yang tidak pernah didengar siapa pun. “Memangnya papamu kenapa?” Raja jadi penasaran dan pada akhirnya bertanya juga,
“APA KALIAN SEMUA SUDAH TULI?” Sisilia kembali berteriak dan membuat Aju bersembunyi di belakang tubuh Aiden. Hal yang membuat si tamu makin marah. “KAU PEREMPUAN JALANG.” Sisilia yang masih marah, langsung saja menerjang maju. Niatnya sih Sisilia ingin menampar perempuan yang membuatnya marah. Sayang sekali, ada yang menghalangi jalannya. Bukan Aiden, melainkan Raja. Lelaki tua itu tiba-tiba saja beranjak dan berdiri di depan sang cucu yang sedang melindungi Aju. “Kakek ngapain sih?” tanya Sisilia masih terlihat sangat marah. “Minggir dong.” “Justru kamu yang harus minggir,” desis Raja dengan ekspresi yang mengeras. “Kok Kakek gitu sih?” Bukannya sadar diri, Sisilia malah merajuk. “Itu cucu Kakek lagi menyembunyikan selingkuhannya. Harusnya tuh diusir, bukan malah dibela.” “Cukup Sisilia!” Walau sudah cukup tua, tapi rupanya suara Raja masih cukup menggelegar. “Harusnya kamu yang pergi dari sini!” lanjut sang kakek dengan wajah yang sudah mulai memerah. “Kenapa malah aku y
“Kakak Kira. Ini kenapa sih?” Aju menunjukkan ponsel yang selama ini dia pakai. Ponsel yang memang miliknya, sebelum mentalnya kembali menjadi anak kecil lagi. “Hah? Kenapa bisa ada komentar seperti ini?” Kira yang menemani sang artis untuk mengerjakan pekerjaan endorse dan yang penting saja, langsung memekik kesal. “Apa ada masalah?” Raja yang juga menemani, ikut-ikutan bersuara. “Ada yang bilangin Aju gila.” Sang selebriti dengan mental anak kecil itu mulai mencebik kesal. “Katanya kelainan jiwa dan bi ... apa begitu.” “Bipolar?” “Ya, itu. Padahal Aju kan tidak begitu kan, Kek?” Kening Raja berkerut melihat perempuan yang kini merajuk itu. Rasanya dia belum pernah menyebarkan soal Aju yang sekarang ini sedang kehilangan ingatan, tapi kenapa banyak gosip aneh beredar? Masa iya hanya karena belakangan ini dia bertingkah imut? “Maaf, Pak Raja ....” “Saya tidak melakukan apa-apa.” Sang ka
“Apa adikku sudah lahir?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika dia baru bangun tidur. “Hah? Adik?” Jelas saja semua orang yang mendengar akan menjadi kaget. “Iya, adik.” Aju mengangguk dengan pelan karena masih merasa lemas. “Kata Mama, sebentar lagi lahir. Makanya Mama gak kelihatan karena melahirkan kan?” Kening semua orang berkerut. Di sana ada Aiden dan Kakek Raja saja karena Kira pergi mengurus beberapa proyek yang harus ditunda karena merasa Aju perlu istirahat yang lebih banyak lagi. Tapi yang jelas, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang Aju maksud. “Maaf, tapi apa Aju tidak salah?” Kali ini, Kakek Raja mencoba bertanya dengan hati-hati. Jangan sampai Aju jadi sakit kepala dan pingsan lagi. “Tidak.” Aju tentu akan menggeleng. “Rasanya baru beberapa minggu lalu Mama bilang begitu.” “Kalau begitu, apa Aju mengenal kami?” Kali ini, Aiden yang bertanya. Dia sedang mengetes memori Aju. “Kakak
“Kau barusan bilang apa?” tanya Kira dengan kedua mata membulat. “Ada SMS yang masuk ke ponsel Aju. Ada penarikan dana yang tidak diketahui asalnya,” jawab Aiden dengan desahan pelan. “Bagaimana mungkin? ATM dan mobile banking kan ada di tangan Aju.” Tentu saja Kira akan sangat terkejut mendengar itu. “Makanya aku menelepon pihak bank, tapi mereka tidak mau memberikan informasi. Mau menyuruh Aju juga nanti dia bingung harus bicara apa.” Aiden lagi-lagi mendesah lelah. “Tapi aku sudah tanya pengacara.” “Lalu? Pengacaranya bilang apa?” “Kemungkinan besar, pihak keluarga Aju menggunakan surat wali pengampu.” “Apa pula itu?” Kira yang buta hukum, jelas saja akan bertanya. “Intinya itu surat yang menyatakan kalau Aju punya cacat mental dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Jadinya, ada wali yang ditunjuk untuk itu.” Aiden mencoba untuk menjelaskan secara singkat, agar mudah dipahami. “B
“Sialan! Kenapa dia malah jadi makin sulit ditemui?” “Kenapa kau bertanya padaku?” Sisilia menghardik lelaki yang duduk di kursi penumpang mobil belakang bersamanya. “Kan kau yang membuat masalah, tapi kenapa malah mencariku?” “Jadi sekarang kau menyalahkanku?” Tatapan tajam lelaki itu membuat Sisilia merinding. Dia tidak sengaja mengatakan kenyataan yang malah membuat situasi jadi makin mencekam. Padahal hanya ada mereka berdua saja di dalam mobil yang terparkir di salah satu gedung apartemen. “Aku bukannya menyalahkan Kak Damian, tapi memang penjagaan di sekitar perempuan itu meningkat setelah kejadian kali lalu itu.” Kali ini, Sisilia berusaha mengatakannya dengan lebih pelan. Untung saja kali ini Damian tidak protes atau memberikan wajah menakutkan. Lelaki yang memakai topi dan jaket hoodie itu hanya bisa mendesah pelan. Sedikit banyak, dia menyesali kelakuannya yang menyebabkan dirinya kena masalah dan kesulitan bertemu Aju. “Kalau begitu, harusnya kau bisa melakukan sesua
“Sialan!” Aiden tidak henti-hentinya mengumpat. “Kenapa dia bisa ada di sana?” “Siapa yang ada di sana?” Sebagai manajer, tentu saja Kira akan bertanya. “Damian.” “Lah? Lantas kenapa tidak kau hajar saja dia? Sekalian bawa ke kantor polisi.” “Kak Kira pikir itu gampang?” tanya Aiden dengan mata membulat. “Keadaan Aju sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak bisa meninggalkan dia bersama kakek tua yang tidak bisa apa-apa dan mengejar Damian.” “Siapa yang kau sebut kakek tua?” Tidak terima diejek, Raja memukul kepala sang cucu. “Kenapa Kakek harus marah sih?” tanya Aiden dengan nada kesal. “Yang kukatakan kan kenyataan.” “Kakek memang sudah tua, tapi bukan berarti tidak berguna!” hardik Raja benar-benar emosi. “Kau pikir siapa yang menjalankan perusahaan, sejak papamu tidak ada? Lagi pula, ada Lisa dan Dono. Kau pikir apa gunanya asisten dan sopirku?” “Bisa kalian semua berhenti bertengkar?” tanya Tiara ikutan menjadi kesal. “Apa kalian tidak lihat kalau Aju sedang diperiksa?” S