“Kakak Kira. Ini kenapa sih?” Aju menunjukkan ponsel yang selama ini dia pakai. Ponsel yang memang miliknya, sebelum mentalnya kembali menjadi anak kecil lagi. “Hah? Kenapa bisa ada komentar seperti ini?” Kira yang menemani sang artis untuk mengerjakan pekerjaan endorse dan yang penting saja, langsung memekik kesal. “Apa ada masalah?” Raja yang juga menemani, ikut-ikutan bersuara. “Ada yang bilangin Aju gila.” Sang selebriti dengan mental anak kecil itu mulai mencebik kesal. “Katanya kelainan jiwa dan bi ... apa begitu.” “Bipolar?” “Ya, itu. Padahal Aju kan tidak begitu kan, Kek?” Kening Raja berkerut melihat perempuan yang kini merajuk itu. Rasanya dia belum pernah menyebarkan soal Aju yang sekarang ini sedang kehilangan ingatan, tapi kenapa banyak gosip aneh beredar? Masa iya hanya karena belakangan ini dia bertingkah imut? “Maaf, Pak Raja ....” “Saya tidak melakukan apa-apa.” Sang ka
“Apa adikku sudah lahir?” Tiba-tiba saja Aju bertanya, ketika dia baru bangun tidur. “Hah? Adik?” Jelas saja semua orang yang mendengar akan menjadi kaget. “Iya, adik.” Aju mengangguk dengan pelan karena masih merasa lemas. “Kata Mama, sebentar lagi lahir. Makanya Mama gak kelihatan karena melahirkan kan?” Kening semua orang berkerut. Di sana ada Aiden dan Kakek Raja saja karena Kira pergi mengurus beberapa proyek yang harus ditunda karena merasa Aju perlu istirahat yang lebih banyak lagi. Tapi yang jelas, mereka sama sekali tidak mengerti apa yang Aju maksud. “Maaf, tapi apa Aju tidak salah?” Kali ini, Kakek Raja mencoba bertanya dengan hati-hati. Jangan sampai Aju jadi sakit kepala dan pingsan lagi. “Tidak.” Aju tentu akan menggeleng. “Rasanya baru beberapa minggu lalu Mama bilang begitu.” “Kalau begitu, apa Aju mengenal kami?” Kali ini, Aiden yang bertanya. Dia sedang mengetes memori Aju. “Kakak
“Kau barusan bilang apa?” tanya Kira dengan kedua mata membulat. “Ada SMS yang masuk ke ponsel Aju. Ada penarikan dana yang tidak diketahui asalnya,” jawab Aiden dengan desahan pelan. “Bagaimana mungkin? ATM dan mobile banking kan ada di tangan Aju.” Tentu saja Kira akan sangat terkejut mendengar itu. “Makanya aku menelepon pihak bank, tapi mereka tidak mau memberikan informasi. Mau menyuruh Aju juga nanti dia bingung harus bicara apa.” Aiden lagi-lagi mendesah lelah. “Tapi aku sudah tanya pengacara.” “Lalu? Pengacaranya bilang apa?” “Kemungkinan besar, pihak keluarga Aju menggunakan surat wali pengampu.” “Apa pula itu?” Kira yang buta hukum, jelas saja akan bertanya. “Intinya itu surat yang menyatakan kalau Aju punya cacat mental dan tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Jadinya, ada wali yang ditunjuk untuk itu.” Aiden mencoba untuk menjelaskan secara singkat, agar mudah dipahami. “B
“Sialan! Kenapa dia malah jadi makin sulit ditemui?” “Kenapa kau bertanya padaku?” Sisilia menghardik lelaki yang duduk di kursi penumpang mobil belakang bersamanya. “Kan kau yang membuat masalah, tapi kenapa malah mencariku?” “Jadi sekarang kau menyalahkanku?” Tatapan tajam lelaki itu membuat Sisilia merinding. Dia tidak sengaja mengatakan kenyataan yang malah membuat situasi jadi makin mencekam. Padahal hanya ada mereka berdua saja di dalam mobil yang terparkir di salah satu gedung apartemen. “Aku bukannya menyalahkan Kak Damian, tapi memang penjagaan di sekitar perempuan itu meningkat setelah kejadian kali lalu itu.” Kali ini, Sisilia berusaha mengatakannya dengan lebih pelan. Untung saja kali ini Damian tidak protes atau memberikan wajah menakutkan. Lelaki yang memakai topi dan jaket hoodie itu hanya bisa mendesah pelan. Sedikit banyak, dia menyesali kelakuannya yang menyebabkan dirinya kena masalah dan kesulitan bertemu Aju. “Kalau begitu, harusnya kau bisa melakukan sesua
“Sialan!” Aiden tidak henti-hentinya mengumpat. “Kenapa dia bisa ada di sana?” “Siapa yang ada di sana?” Sebagai manajer, tentu saja Kira akan bertanya. “Damian.” “Lah? Lantas kenapa tidak kau hajar saja dia? Sekalian bawa ke kantor polisi.” “Kak Kira pikir itu gampang?” tanya Aiden dengan mata membulat. “Keadaan Aju sedang tidak baik-baik saja. Aku tidak bisa meninggalkan dia bersama kakek tua yang tidak bisa apa-apa dan mengejar Damian.” “Siapa yang kau sebut kakek tua?” Tidak terima diejek, Raja memukul kepala sang cucu. “Kenapa Kakek harus marah sih?” tanya Aiden dengan nada kesal. “Yang kukatakan kan kenyataan.” “Kakek memang sudah tua, tapi bukan berarti tidak berguna!” hardik Raja benar-benar emosi. “Kau pikir siapa yang menjalankan perusahaan, sejak papamu tidak ada? Lagi pula, ada Lisa dan Dono. Kau pikir apa gunanya asisten dan sopirku?” “Bisa kalian semua berhenti bertengkar?” tanya Tiara ikutan menjadi kesal. “Apa kalian tidak lihat kalau Aju sedang diperiksa?” S
“Apa-apaan ini?” Sisilia bertanya dengan ekspresi kesal dan kedua tangan terlipat di depan dada. “Apanya?” “Kenapa lelaki sialan ini ikut dengan kita?” desis perempuan yang kesabarannya sudah habis itu. “Bukankah dia hanya jadi sopir saja?” “Hei.” Mendengar dirinya diejek, Ray tentu tidak akan tinggal diam. “Aku ini sahabat baiknya Aiden loh. Masa dibilangi sopir sih?” “Ya memang sopir!” hardik Sisilia benar-benar tidak bisa lagi menutupi rasa kesalnya. “Seharusnya kau pergi setelah mengantarkan kami berdua ke sini.” “Sayang sekali, tapi Ray tidak akan pergi.” Pusing mendengar suara melengking perempuan yang dia ajak kencan, Aiden pada akhirnya menengahi. “Dia akan bersama dengan kita.” “Loh, masa kencan bertiga sih?” Tentu saja Sisilia akan protes. “Kalau kau tidak mau kencan bertiga, aku akan pulang.” Aiden tentu tidak segan mengancam. “Iya deh, iya.” Walau dengan kaki mengentak, Sisilia pada akhirnya setuju juga. “Tapi kau tidak boleh dekat-dekat. Aku tidak ingin kau
Aiden berlarian di lorong rumah sakit. Tidak peduli kalau nanti dia akan dimarahi perawat yang bertugas. Toh, ini bukan pertama kali baginya, terutama sejak Aju jadi langganan di rumah sakit ini. “Apa yang terjadi?” Aiden mendorong pintu rumah sakit dengan kasar, sampai membuat orang-orang yang ada di dalam tersentak. “Aiden.” Tiara langsung bangun dan menghampiri lelaki yang baru datang itu, sembari menempelkan jari telunjuk di depan bibir. “Jangan ribut.” “Maaf, tapi ada apa? Apa maksudnya tadi yang di telepon?” tanya Aiden dengan suara lebih pelan dan mata menatap ke arah ranjang pasien. Ada Aju yang tertidur di sana. “Sepertinya kita gagal.” Kali ini, Kira yang berbicara. “Aju bukannya bertambah baik, tapi malah kembali mengalami kemunduran.” “Maksudnya?” Jelas saja Aiden akan bingung dengan pernyataan itu. “Dia kembali jadi anak-anak.” Kali ini, Tiara yang menjelaskan dengan suara pelan. “Bahkan lebih parah dari sebelumnya. Dia tidak mengingat kita semua.”Kedua bola mata
“Apa Aiden masih marah?” tanya Aju dengan hati-hati. “Menurutmu?” Bukannya menjawab, Kira malah balik memberikan pertanyaan dengan nada kesal. “Jangan diambil hati.” Tiara mengelus lengan sang selebriti yang tengah cemberut itu. “Dia hanya perlu sedikit waktu.” “Siapa pun akan marah sih.” Kini Kira malah makin memojokkan rekannya. “Aku saja sudah menolak ketika kau ingin mempermainkan Aiden, tapi malah dipaksa. Padahal dia adalah orang yang paling khawatir denganmu, tapi malah dipermainkan. Orang sabar itu kalau marah seram loh.” Kepala Aju makin tertunduk ketika mendengar ceramah dari sang manajer. Dia mengaku salah, tapi niatnya tidak jahat. Aju hanya ingin sedikit mengerjai Aiden. Siapa yang sangka akan ketahuan secepat itu dan membuat Aiden benar-benar marah, sampai meninggalkannya begitu saja di rumah sakit. Padahal hari ini Aju sudah keluar dari rumah sakit. Padahal sang selebriti berharap bisa dijemput oleh lelaki yang amat dia sukai itu, tapi semuanya berantakan gara-gar