Maaf teman-teman. Karena kesibukan kantor dan acara keluarga yang gaka da habisnya, judul ini akan slow update.
“Halo, Kak.” Aiden kembali memanggil, setelah hanya mendengar suara teriakan tidak jelas dari ujung sambungan teleponnya. “Sialan.” Tidak mendapat respons, Aiden langsung melompat turun dari ranjang. Lelaki muda itu dengan cepat berlari turun dan menyambar kunci mobil yang di simpat di dekat pintu masuk garasi. Aiden tidak lagi melihat kunci mobil yang mana yang dia ambil karena sibuk melacak keberadaan Aju lewat aplikasi maps. Kebetulan, dulu mereka pernah setuju agar bisa saling mencari lokasi masing-masing lewat aplikasi. Siapa sangka kalau Aiden akan menggunakannya sekarang dan dalam keadaan terdesak. Untung saja lokasi ponsel Aju masih aktif, jadi dengan mudah ditemukan. “Halo. Apa bisa tolong periksa unit 1208 sekarang juga?” Merasa kalau tempatnya terlalu jauh, Aiden memutuskan untuk menelepon ke resepsionis lebih dulu. Setidaknya, dengan begitu akan ada satpam atau pegawai yang bisa memeriksa kondisi Aju. Dan untung saja orang dari pihak apartemen bisa diajak bekerja s
“Kapan sih kau punya pacar, Wil?” Tiara mengatakan itu pada salah seorang sahabatnya. “Kau sendiri kapan punya pacar?” Lelaki dengan seragam SMA penuh coretan yang dipanggil Wil itu menjawab dengan acuh. “Sampai kapan kau mau terjebak di antara aku dan Delon?” “Hei, aku tidak terjebak dengan kalian ya.” Tiara muda yang juga berseragam putih abu-abu penuh coretan, langsung protes. “Aku kan sudah punya pacar loh.” “Si Gala-Gala itu?” Kini giliran Delon yang berbicara. Kemeja putihnya juga sama saja dengan dua sahabatnya yang lain. “Kalian akhirnya jadian juga?” “Ya. Setelah aku bosan menolaknya, pada akhirnya kami pacaran juga.” Tiara mendesah pelan, seolah apa yang dia katakan adalah beban yang sangat berat. “Cih. Bilang saja kau hanya sok jual mahal.” Wil tidak keberatan berdecih, bahkan meludah. “Dari awal kau kan sebenarnya suka pada dia.” “Iya. Aku memang suka wajah tampannya dan sifat cool yang seperti cowok-cowok tsundere di komik, sudah itu saja.” Tiara mengedikkan bahuny
“Wil memanipulasi Farah dan mereka jadinya tidur bersama,” jelas Tiara yang terlihat sangat sedih. “Dia hamil Aju dan berakhir menikahi lelaki yang sama sekali tidak dia sukai di usia yang sangat muda.” “Bukankah itu bisa dibilang pemerkosaan?” tanya Aiden dengan kening berkerut. “Kenapa tidak dilaporkan?"“Tidak bisa karena saat itu Farah sudah cukup umur dan dalam pengaruh obat. Apalagi William membuatnya terlihat seperti Farah yang menggoda duluan dan terus memberi sugesti seperti itu.” “Lalu karena terbebani, si Farah ini pada akhirnya mudah terpengaruh dengan kata-kata?” tebak Aiden dengan sangat akurat. “Dia pada akhirnya sadar, tapi sudah terlambat. Aju sudah cukup besar saat itu dan dia sangat sayang pada putrinya.” Tiara mendesah pelan, sebelum melanjutkan. “Lalu anak itu juga terlalu baik. Dia pikir William bisa berubah suatu saat nanti. Karenanya tidak keberatan punya anak kedua, tapi lelaki biadab itu malah melakukan hal yang benar-benar hanya karena dia salah paham d
“Dia mengalami amnesia disiosiatif.” Dokter menjelaskan, setelah cukup lama memeriksa Aju. “Baru dugaan karena ini bukan ranah saya, tapi kalau mau saya bisa merujuk ke dokter yang lebih ahli.” “Amnesia disosiatif?” Tentu saja Tiara akan bertanya karena dia memang tidak mengerti, begitu pula dengan Aiden dan Ray yang mengerutkan kening. Rupanya itu adalah salah satu jenis penyakit hilang ingatan akibat trauma. Dijelaskan seperti itu membuat semua orang langsung paham karena Aju memang baru saja mengalami kejadian yang traumatis. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali selama dia hidup. “Karena ini kemungkinan besar menyangkut trauma, akan lebih baik jika langsung dirujuk ke psikiater. Akan saya rujuk ke dokter spesialis saraf juga untuk berjaga-jaga.” Tentu saja mereka hanya bisa mengangguk setuju. Saran dari dokter jelas akan lebih baik dan benar. Itu pun mereka segera membuat janji temu, agar semuanya lekas selesai. Dokter saraf ada
“Paman yang menyeramkan?” tanya Beni dengan mata melotot. “Kau ini sedang bersandiwara atau apa sih?” “Maaf, tapi siapa pun kamu.” Tiara langsung maju menghalangi Beni yang ingin menjangkau Aju. “Kami sedang buru-buru, jadi kami tidak bisa mengobrol banyak.” Setelah mengatakan hal itu, Tiara langsung menarik tangan Aju. Aiden dan Ray kemudian mengikuti dua perempuan itu, tak lupa menyempatkan diri untuk menatap Beni dengan sinis. Hal yang tentu saja membuat Beni jadi bingung. “Kenapa kita lari?” Aju masih sempat protes, ketika dia diminta untuk masuk ke mobil. “Apa orang tadi penjahat.” “Ya, dia penjahat.” Aiden tidak segan untuk mengiyakan. “Jadi sebaiknya kita lari karena dia mengincarmu.” “Aju takut.” Tanpa diduga, perempuan dewasa yang berlagak seperti anak kecil itu, tiba-tiba saja memeluk lengan Aiden. “Aju tidak mau diculik.” “Baiklah.” Aiden berdehem sebentar karena kaget. “Kau tidak akan diculik karena aku akan melindungimu.” “Menjijikkan.” Melihat pemandangan yang m
“Kau bilang punya rumah aman,” desis Kira ketika sudah sampai di tempat yang dia tuju. “Tapi apa ini? Kau membawa Aju ke rumah kakekmu?” “Di sini aman.” Aiden tetap kukuh dengan pendiriannya. “Setidaknya, keluarga Aju tidak akan datang ke sini dan mengacau." “Tapi kakekmu jelas saja akan mengacau. Apa kau tidak lihat tampangnya sekarang?” Aiden menoleh dan menatap pada pria tua yang duduk di sofa tunggal seorang diri. Tatapan mata Raja jelas tidak begitu menyenangkan, tapi itu rupanya tidak membuat Aju ketakutan. Berbeda saat bertemu dengan Beni di rumah sakit tadi. “Kakek matanya sakit?” tanya Aju dengan polosnya. “Kenapa kau mengatakan hal seperti itu?” Raja jelas saja akan menghardik, tapi rupanya yang dihardik juga terlihat santai saja. “Soalnya, mata Kakek melotot begitu. Sama seperti Papa waktu lagi sakit.” Tanpa terduga, Aju menceritakan masa lalunya yang tidak pernah didengar siapa pun. “Memangnya papamu kenapa?” Raja jadi penasaran dan pada akhirnya bertanya juga,
“APA KALIAN SEMUA SUDAH TULI?” Sisilia kembali berteriak dan membuat Aju bersembunyi di belakang tubuh Aiden. Hal yang membuat si tamu makin marah. “KAU PEREMPUAN JALANG.” Sisilia yang masih marah, langsung saja menerjang maju. Niatnya sih Sisilia ingin menampar perempuan yang membuatnya marah. Sayang sekali, ada yang menghalangi jalannya. Bukan Aiden, melainkan Raja. Lelaki tua itu tiba-tiba saja beranjak dan berdiri di depan sang cucu yang sedang melindungi Aju. “Kakek ngapain sih?” tanya Sisilia masih terlihat sangat marah. “Minggir dong.” “Justru kamu yang harus minggir,” desis Raja dengan ekspresi yang mengeras. “Kok Kakek gitu sih?” Bukannya sadar diri, Sisilia malah merajuk. “Itu cucu Kakek lagi menyembunyikan selingkuhannya. Harusnya tuh diusir, bukan malah dibela.” “Cukup Sisilia!” Walau sudah cukup tua, tapi rupanya suara Raja masih cukup menggelegar. “Harusnya kamu yang pergi dari sini!” lanjut sang kakek dengan wajah yang sudah mulai memerah. “Kenapa malah aku y
“Kakak Kira. Ini kenapa sih?” Aju menunjukkan ponsel yang selama ini dia pakai. Ponsel yang memang miliknya, sebelum mentalnya kembali menjadi anak kecil lagi. “Hah? Kenapa bisa ada komentar seperti ini?” Kira yang menemani sang artis untuk mengerjakan pekerjaan endorse dan yang penting saja, langsung memekik kesal. “Apa ada masalah?” Raja yang juga menemani, ikut-ikutan bersuara. “Ada yang bilangin Aju gila.” Sang selebriti dengan mental anak kecil itu mulai mencebik kesal. “Katanya kelainan jiwa dan bi ... apa begitu.” “Bipolar?” “Ya, itu. Padahal Aju kan tidak begitu kan, Kek?” Kening Raja berkerut melihat perempuan yang kini merajuk itu. Rasanya dia belum pernah menyebarkan soal Aju yang sekarang ini sedang kehilangan ingatan, tapi kenapa banyak gosip aneh beredar? Masa iya hanya karena belakangan ini dia bertingkah imut? “Maaf, Pak Raja ....” “Saya tidak melakukan apa-apa.” Sang ka