“Sudah dengar soal si Angelina Julie?” Seorang perawat berbicara.
“Yang katanya pelihara lelaki muda itu?” tanya perawat yang lain. “Iya. Heran aja sih. Kenapa perempuan secantik itu sampai harus pelihara laki-laki, maksudku memangnya dia tidak laku sampai segitunya?” “Atau bisa saja dia perempuan yang gila melakukan itu kan? Walau mungkin punya pacar, tapi dia tidak cukup dengan satu lelaki.” Aju mendesah pelan mendengar bisikan yang tidak terdengar seperti bisikan itu. Suaranya cukup keras, sampai dirinya yang melintas saja bisa mendengar. Atau mungkin telinganya saja yang terlalu sensitif? Melihat Mey dan Kira tampak baik-baik saja, pasti begitu kan? “Kau kenapa?” Mey yang menanyakan itu karena sang manajer sudah menghilang. Kira berjalan lebih dulu untuk mengambil mobil. “Aku tidak tahu kau tuli atau apa, tapi di sekitar kita sangat berisik.” Suara Aju tidak terdengar jelas karena menggunakan masker, tapi“Coba lihat dia. Kenapa dia masih ada di sini sih? Memangnya Nyonya Tiara tidak mengganti modelnya?” Bisik-bisik kembali terdengar di telinga Aju, ketika akhirnya dia memutuskan untuk bekerja. Hari ini dia sudah mendapat jadwal untuk melanjutkan pemotretan dengan Fleur, tapi sepertinya tidak disambut dengan baik. “Aju, kau kenapa?” Tiara yang juga ikut datang hari ini, menyapa perempuan yang menjadi modelnya itu. “Apa masih kurang sehat?” “Tidak kok, Tante.” Tentu saja, Aju akan menggeleng. “Hanya agak canggung saja setelah lama tidur di rumah sakit.” “Coba lihat itu.” Suara bisik-bisik yang terlalu keras, kembali terdengar. “Dia sepertinya dekat dengan Nyonya Tiara. Jangan-jangan, anaknya Nyonya Tiara juga jadi korban.” “KALIAN INI.” Tiara yang mendengar percakapan pegawainya, langsung berteriak untuk menegur. “Apa kalian segitu senggangnya ya? Tidakkah kalian harus bekerja?” Walau tidak semua orang yang ada d
“Hai, Aiden.” Yang empunya nama langsung mengernyit mendengar suara manja yang bergema di rumahnya. Lebih tepatnya, rumah sang kakek. Jujur saja, itu membuat Aiden sangat kesal. “Kau mau ke mana pagi-pagi begini?” Sisilia bertanya dengan raut wajah ceria. “Kantor.” Aiden menjawab singkat, hanya demi kesopanan. “Ini kan masih libur. Kenapa malah ke kantor?” Jelas saja Sisilia merasa bingung. “Yang libur itu kampus. Bukan kantor.” Aiden menghindar dengan berjalan cepat ke teras. Dia sudah rapi untuk pergi bersama sang kakek ke kantor, untuk belajar beberapa hal. Setelahnya mungkin dia akan berguru pada ayahnya Sisilia. Lalu sekarang, sang kakek sudah menunggu di dalam mobil. “Kenapa kau?” tanya Raja pada cucunya, lewat jendela yang terbuka. “Bukannya kita akan ke kantor?” tanya Aiden dengan wajah bingung. “Apa kau buta?” tanya pria tua yang duduk di dalam mobil itu denga
“APA-APAAN INI.” Sisilia melempar ponsel tiga boba terbarunya ke atas sebuah meja. “Kenapa lagi dengan ponselmu?” Damian mengambil benda pipih yang berlayar hitam itu, kemudian membolak-baliknya untuk melihat ada apa dengan benda itu. “Apa ini rusak? Mau kubelikan yang baru? Memangnya kau tidak sanggup beli yang baru?” Lelaki blasteran itu memberi pertanyaan secara berurutan dan membuat tamunya kesal. “Bukan itu, Sialan.” Sisilia tampak makin geram. “Coba lihat apa yang baru saja diposting oleh Aiden di media sosialnya.” “Tapi aku tidak berteman dengan dia, aku juga tidak punya media sosial dan ponselmu juga terkunci. Aku harus melihat di mana?” Mendengar perkataan lelaki blasteran di depannya, Sisilia makin menggeram kesal. Tapi dia tidak punya pilihan lain selain merebut ponselnya, membukanya dan memperlihatkan apa yang ingin dia perlihatkan. Sebenarnya, apa yang diunggah Aiden bukanlah hal spesial. Hanya s
“Haus banget sih.” Aju terbangun dari tidurnya dengan leher kering. Perempuan itu tentu saja akan meraih botol minum yang biasanya ada di atas nakas, dekat dengan ranjang. Namun kali ini, dia tidak menemukannya sama sekali. “Oh, iya. Kan ini di apartemen.” Perempuan dengan piama itu mendesah pelan ketika menyadari apartemennya tidak selengkap di rumah. Karena Kira juga masih tidur, alhasil Aju memilih untuk turun dari ranjang saja. Toh dia sudah terlanjur bangun dan perlu ke toilet juga. Sekalian saja mengambil air untuk diminum di dapur. “Hm? Kok ada suara sih?” Ketika mengambil air minum dalam botol kemasan yang tadi sempat dia beli dan ditaruh di area dapur. Aju berpikir kalau yang tadi didengarnya hanyalah khayalan saja. Siapa sangka kalau suara itu makin terdengar saja. Walau terdengar sangat samar, tapi bisa dipastikan itu adalah suara langkah kaki yang seperti diseret. “Siapa di sana?” tanya Aju yang menatap ke area ruang tamu yang memang agak gelap karena hanya area
“Halo, Kak.” Aiden kembali memanggil, setelah hanya mendengar suara teriakan tidak jelas dari ujung sambungan teleponnya. “Sialan.” Tidak mendapat respons, Aiden langsung melompat turun dari ranjang. Lelaki muda itu dengan cepat berlari turun dan menyambar kunci mobil yang di simpat di dekat pintu masuk garasi. Aiden tidak lagi melihat kunci mobil yang mana yang dia ambil karena sibuk melacak keberadaan Aju lewat aplikasi maps. Kebetulan, dulu mereka pernah setuju agar bisa saling mencari lokasi masing-masing lewat aplikasi. Siapa sangka kalau Aiden akan menggunakannya sekarang dan dalam keadaan terdesak. Untung saja lokasi ponsel Aju masih aktif, jadi dengan mudah ditemukan. “Halo. Apa bisa tolong periksa unit 1208 sekarang juga?” Merasa kalau tempatnya terlalu jauh, Aiden memutuskan untuk menelepon ke resepsionis lebih dulu. Setidaknya, dengan begitu akan ada satpam atau pegawai yang bisa memeriksa kondisi Aju. Dan untung saja orang dari pihak apartemen bisa diajak bekerja s
“Kapan sih kau punya pacar, Wil?” Tiara mengatakan itu pada salah seorang sahabatnya. “Kau sendiri kapan punya pacar?” Lelaki dengan seragam SMA penuh coretan yang dipanggil Wil itu menjawab dengan acuh. “Sampai kapan kau mau terjebak di antara aku dan Delon?” “Hei, aku tidak terjebak dengan kalian ya.” Tiara muda yang juga berseragam putih abu-abu penuh coretan, langsung protes. “Aku kan sudah punya pacar loh.” “Si Gala-Gala itu?” Kini giliran Delon yang berbicara. Kemeja putihnya juga sama saja dengan dua sahabatnya yang lain. “Kalian akhirnya jadian juga?” “Ya. Setelah aku bosan menolaknya, pada akhirnya kami pacaran juga.” Tiara mendesah pelan, seolah apa yang dia katakan adalah beban yang sangat berat. “Cih. Bilang saja kau hanya sok jual mahal.” Wil tidak keberatan berdecih, bahkan meludah. “Dari awal kau kan sebenarnya suka pada dia.” “Iya. Aku memang suka wajah tampannya dan sifat cool yang seperti cowok-cowok tsundere di komik, sudah itu saja.” Tiara mengedikkan bahuny
“Wil memanipulasi Farah dan mereka jadinya tidur bersama,” jelas Tiara yang terlihat sangat sedih. “Dia hamil Aju dan berakhir menikahi lelaki yang sama sekali tidak dia sukai di usia yang sangat muda.” “Bukankah itu bisa dibilang pemerkosaan?” tanya Aiden dengan kening berkerut. “Kenapa tidak dilaporkan?"“Tidak bisa karena saat itu Farah sudah cukup umur dan dalam pengaruh obat. Apalagi William membuatnya terlihat seperti Farah yang menggoda duluan dan terus memberi sugesti seperti itu.” “Lalu karena terbebani, si Farah ini pada akhirnya mudah terpengaruh dengan kata-kata?” tebak Aiden dengan sangat akurat. “Dia pada akhirnya sadar, tapi sudah terlambat. Aju sudah cukup besar saat itu dan dia sangat sayang pada putrinya.” Tiara mendesah pelan, sebelum melanjutkan. “Lalu anak itu juga terlalu baik. Dia pikir William bisa berubah suatu saat nanti. Karenanya tidak keberatan punya anak kedua, tapi lelaki biadab itu malah melakukan hal yang benar-benar hanya karena dia salah paham d
“Dia mengalami amnesia disiosiatif.” Dokter menjelaskan, setelah cukup lama memeriksa Aju. “Baru dugaan karena ini bukan ranah saya, tapi kalau mau saya bisa merujuk ke dokter yang lebih ahli.” “Amnesia disosiatif?” Tentu saja Tiara akan bertanya karena dia memang tidak mengerti, begitu pula dengan Aiden dan Ray yang mengerutkan kening. Rupanya itu adalah salah satu jenis penyakit hilang ingatan akibat trauma. Dijelaskan seperti itu membuat semua orang langsung paham karena Aju memang baru saja mengalami kejadian yang traumatis. Bukan hanya sekali, tapi sudah dua kali selama dia hidup. “Karena ini kemungkinan besar menyangkut trauma, akan lebih baik jika langsung dirujuk ke psikiater. Akan saya rujuk ke dokter spesialis saraf juga untuk berjaga-jaga.” Tentu saja mereka hanya bisa mengangguk setuju. Saran dari dokter jelas akan lebih baik dan benar. Itu pun mereka segera membuat janji temu, agar semuanya lekas selesai. Dokter saraf ada