“Hei, kamu. Mau tidur denganku?” Seorang perempuan cantik bertanya.
“Tentu saja cantik. Dengan senang hati. Siapa namamu?” “Aju, tapi panggil saja Malaikat,” jawab perempuan cantik itu dengan senyum lebarnya. Lelaki yang diajak, langsung berdiri dari sofa yang dia duduki dan mendekati perempuan yang menanyainya. Seorang perempuan tinggi dengan rambut hitam panjang yang indah. “Malaikat ya?” tanya lelaki mabuk itu. “Berarti Angel?” “Pintar.” Aju membelai pipi pria yang tidak dia kenali itu dan segera menggandengnya pergi. “Berhenti di sana.” Sayang sekali, seorang perempuan lain datang. “Maaf teman saya mabuk,” seru perempuan yang baru datang itu dan menarik tangan temannya yang berambut panjang itu. “Aduh apaan sih. Lepas.” Sayangnya, Aju tidak senang karena mangsanya hilang begitu saja. “Aju, jangan gila. Kau mabuk, jadi sebaiknya kita pulang saja.” Perempuan dengan rambut pendek itu segera menarik Aju lagi. “Jangan jadi orang bodoh hanya karena diputuskan lelaki.” “Aku tidak mau.” Bukannya menurut, tapi Aju malah makin memberontak saja. Dia dengan kesal, meraih lelaki mana pun yang bisa di raih, tapi gagal. Itu membuatnya cemberut ketika mereka akhirnya tiba di tempat parkir klub malam. “Tunggu di sini, sementara aku menaruh barang-barangmu di bagasi. Aju kau dengar aku?” “Aku dengar. Tidak perlu berteriak. Manajer kok teriak-teriak sih?” Aju yang mabuk, dengan cepat melambai pada manajernya. Sayang sekali perempuan tinggi itu terlalu mabuk untuk mendengar. Selagi sang manajer memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil, perempuan itu melarikan diri dengan cepat. “Sekarang kita pulang karena .... Aju?” Sang manajer terhenyak melihat Aju sudah menghilang. “Oh, sialan.” *** “Hai, baby. Mau tidur denganku?” Untuk yang kesekian kalinya, Aju bertanya pada pria tak dikenal. “Hei, dia pacarku.” Seorang lelaki lain menghardik. “Oops, maaf. Aku juga tidak tertarik ditusuk dari belakang.” Perempuan berambut hitam panjang itu pun menggeleng. Setelah berhasil lolos dari manajernya, Aju segera mencari mangsa. Dia melangkah di antara orang-orang yang sedang menari dan mabuk, bertanya pada setiap lelaki yang menurutnya menarik. Sayang sekali, belum ada yang berhasil dia jebak. “Sialan sekali.” Perempuan cantik itu berteriak keras. “Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa membuktikan pada si brengsek itu kalau aku masih muda dan cantik. Demi apa pun, aku baru dua delapan, sialan.” Teriakan keras itu, membuat beberapa orang di sekitar Aju menoleh. Sayangnya, perempuan itu sama sekali tidak peduli apa pun. Dia yang sudah mabuk, malah berjalan mundur dan menabrak seseorang. “Maafkan saya.” Lelaki yang ditabrak malah meminta maaf. “Hm.” Bukannya meminta maaf, Aju malah membingkai wajah lelaki di depannya dengan jari telunjuk dan jempol kedua tangannya. “Ganteng dan mudah. Siapa namamu?” “Maaf, Mbak. Saya sedang bekerja.” Lelaki itu menunduk dengan sopan dan sudah hendak pergi. “Hei, jangan pergi dulu dong.” Aju dengan cepat menarik lelaki tadi dan membaca papan nama yang tersemat kemeja lelaki itu. “Namanya Aiden ya?” “Ya.” Mau tidak mau lelaki tadi menjawab juga. “Apa kamu perlu bantuan?” Aiden menyipitkan mata untuk melihat wajah perempuan di depannya itu. “Coba tebak siapa namaku? Kalau berhasil aku akan memberi hadiah yang sangat mahal untukmu.” Perempuan mabuk itu mulai berceloteh tak tentu arah. “Angelina Julie kan?” Tanpa diduga, lelaki yang katanya pegawai klub malam itu menjawab. “Yang selebriti itu kan?” Aju menutup mulut dengan kedua tangan dan kedua matanya juga membulat besar. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ada orang yang bisa mengenali SEKUTER alias selebriti kurang terkenal sepertinya. “Luar biasa. Kau hebat,” pekik Aju benar-benar senang. “Itu hal yang biasa saja.” Aiden tersenyum manis. “Sekarang saya harus kembali bekerja. Saya yakin manajer kamu juga pasti sudah men ....” Kalimat Aiden terputus karena perempuan cantik di depannya, tiba-tiba menarik tangannya dengan sangat kuat. Mereka berjalan di antara orang-orang yang berjoget dengan penuh semangat, bahkan nyaris berlari. “Mbak?” Aiden memanggil, tapi sayang yang dipanggil tidak peduli. Setidaknya, sampai mereka berdua tiba di depan logo bertuliskan toilet. “Sst. Jangan ribut.” Aju menempelkan jari telunjuknya pada bibir Aiden yang terlihat seksi. “Jangan sampai manajerku tahu kita ada di sini.” Aiden mendengus menahan tawa mendengar itu. Apa yang dilakukan Aju terlihat lucu di matanya, tapi juga berbahaya pada saat yang sama. Perempuan cantik yang mabuk di klub malam, tentu akan mengundang kejahatan. “Gimana kalau Mbak Angelina saya antar ke mobil?” Aiden mencoba menawarkan bantuan. “Setelah itu, kita bisa memanggil manajer, Mbak.” “Aku gak mau pulang, sebelum berhasil tidur dengan lelaki tampan.” Tanpa diduga, Aju mengatakan apa yang dia pikirkan dengan jujur. “Aku perlu bukti foto untuk ditunjukkan pada mantanku yang menghina aku perawan tua.” “Begitu?” Tentu saja lelaki dengan seragam klub itu terlihat bingung. “Kau mungkin mau tidur denganku?” tanya Aju dengan mata berbinar. “Soalnya kau bahkan sudah tahu namaku dan kau juga cukup tampan, walau mungkin agak muda.” “Maaf, tapi saya bekerja.” Aiden menolak dengan tegas, bahkan mencoba untuk melepaskan pegangan tangan perempuan di depannya. “No. No.” Sayangnya, Aju tidak membiarkan itu terjadi. Dia bahkan dengan nekat memeluk lelaki yang tidak dia kenali itu. “Malam ini kau milikku.” “Maaf, tapi saya benar-benar tidak bisa.” Aiden kembali menggeleng dan berusaha melepas pelukan yang mencekiknya itu. Namun, bukan Aju namanya kalau dia sampai menyerah. Perempuan tinggi itu malah menaikkan kedua kakinya, memeluk pinggang lelaki muda di depannya dengan erat. Itu jelas saja membuat Aiden dengan refleks harus menyangga tubuh perempuan yang memeluknya seperti koala. “Mbak, Angelina.” Aiden kembali memanggil dengan nafas yang agak memburu karena beban yang harus dia tanggung. “Pokoknya, aku tidak akan membiarkanmu lari.” Angelina Julie yang sedang mabuk itu tersenyum lebar. Perempuan yang katanya selebriti itu, merogoh kantong belakang celananya dan mengeluarkan bungkusan plastik bening. Plastik yang biasa digunakan untuk membungkus obat dan isinya juga adalah obat. “Tadinya aku mau menggunakan ini untuk diriku sendiri, tapi kurasa aku harus memberimu ini.” Aju tersenyum lebar. Perempuan mabuk itu, memaksakan sebutir untuk masuk ke mulut Aiden. Sayangnya, lelaki itu menolak dengan mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sebenarnya atraksi itu akan menarik perhatian banyak orang jika terjadi di tempat ramai, tapi ini adalah klub malam. Tempat banyak orang mabuk, sehingga yang seperti ini masih dianggap biasa. “Yang benar saja.” Aju mulai kesal, apalagi dia bisa merasakan kalau lelaki di depannya mulai mengendurkan pegangan untuk menahan tubuhnya. “Kalau kau tidak mau, maka aku akan memaksa.” Aju mengambil minuman seseorang yang baru saja lewat dan meminumnya sampai habis, kemudian memasukkan obat tadi ke mulutnya sendiri. Setelah itu, dia beralih mencium bibir lelaki di depannya. Membuat Aiden tidak sadar melepas kedua tangan yang menyanggah tubuh Aju dan membuka sedikit mulutnya. “Kena kau.” Aju langsung berteriak riang ketika berhasil memberikan obatnya. “Obat apa yang kamu berikan?” tanya Aiden mulai panik. “Obat perangsang,” jawab Aju dengan senyum lebar.***To be continued***“Apa yang kulakukan?” gumam Aju yang menyugar rambutnya dan tubuh tertunduk. Perempuan berambut hitam panjang itu, menatap ke sebelah ranjangnya. Tempat itu sudah kosong dan bisa terbilang cukup rapi. Menandakan kalau lelaki yang menjadi teman tidur Aju sudah pergi. “Ini yang pertama dan aku malah tidak ingat.” Aju mendesah, ketika mendapati ada sedikit bercak darah di ranjangnya. “Dasar bodoh.” Perempuan yang masih tak berbusana itu memukuli kepalanya dengan pelan. “Aju bodoh. Bagaimana kalau kau sampai hamil?” Inginnya perempuan bernama Angelina Julie itu mengutuki dirinya lagi. Sayang sekali, ponselnya yang baru diisi daya beberapa menit lalu kini berdering keras. Itu jelas membuat Aju mau tidak mau harus mengangkatnya. Tulisan manajer, terlihat jelas di layarnya. “Halo,” gumam perempuan cantik berambut panjang itu. “HALO GUNDULUMU.” Suara teriakan langsung menyapa telinga yang empunya ponsel. “Apa kau tahu kalau aku mencarimu semalaman? Apa kau tahu berapa kali aku me
“Sepertinya, tidur denganmu membawa keberuntungan untukku. Pekerjaan yang hanya datang sekali seminggu, kini datang bertubi-tubi. Jadi kita lanjutkan saja hubungan ranjang itu, dengan menjalani sugar dating. Aku mendapat pekerjaan, kamu mendapat uang.” Kalimat yang dilontarkan oleh Aju beberapa hari lalu pada Aiden, masih terngiang dengan jelas di telinga perempuan itu. Padahal, hal itu sudah lewat dan dia sedang sibuk. “Apa kau sudah gila?” Perempuan dengan rambut pendek meneriaki Aju. “Untuk apa pula kau tiba-tiba mengajukan pertanyaan seperti itu, pada lelaki itu?” “Habisnya, sejak kejadian itu aku tiba-tiba jadi banyak job.” Aju mengatakan itu dengan nada yang sedikit tertekan. “Baru dapat dua job saja kau sudah bilang itu banyak?” “Bagiku itu sudah banyak, Kira.” Aju jelas saja akan mengeluh. “Biasanya seminggu juga cuma ada satu, kadang malah tidak ada.” “Itulah kubilang.” Perempuan yang dipanggil Kira itu menghardik. “Harusnya kau ikut agensi saja, jangan mandiri begin
“Soal penawaran yang kemarin ....” Aiden memulai dengan ragu-ragu. “Ya? Kenapa dengan penawaran yang kemarin?” Aju dengan cepat membalas kalimat ragu-ragu yang belum selesai itu. “Apa kamu mau menerimanya.” “Tidak.” Sayang sekali, lelaki muda itu menggeleng. “Hah? Lalu ngapain kamu datang cari saya?” Si selebriti langsung mendelik tajam dan juga menaikkan intonasi suara. “Aju.” Kira si manajer langsung menegur. “Kita memang di ruang tertutup, tapi bukan berarti kau bisa berteriak.” Mendengar itu, sang artis hanya bisa mendesis pelan. Dia benar-benar lupa kalau mereka meminjam salah satu ruang VIP kafe, tempat Aju menjalani pemotretan tadi. Kebetulan pihak kafe ingin menjadikan dia sebagai ambasador. “Pertama, perlu saya tegaskan kalau saya bukan mencari kamu.” Aiden mulai menjelaskan. “Saya kebetulan saja sedang belanja di mini market depan dan ketemu manajer kamu.” “Aku yang mengajaknya karena aku mulai percaya kalau dia membawa keberuntungan.” Kira menjawab dengan santainya
“INI MENYEBALKAN.” Beberapa pejalan kaki menoleh mendengar teriakan itu. Namun, itu tidak membuat Aiden melembutkan ekspresinya. Dia terlampau marah karena baru saja ditipu. “Dasar penipu.” Pada akhirnya, Aiden hanya bisa memaki dalam hati, sambil mengeluarkan kunci kamar kosnya. “Bagaimana mungkin aku bisa tertipu begitu saja?” tanya Aiden pada dirinya sendiri. Kini dia berjalan masuk ke rumah kos yang selama ini dia tempati. “Masa hanya gara-gara dipancing soal ....” Wajah Aiden kembali memerah ketika mengingat kejadian saat dia dijebak dulu. Kejadian yang membuat dia terjebak dalam situasi yang sekarang. “Berhenti membayangkan itu Aiden.” Lelaki muda itu, mengipas wajahnya dan menimbulkan pertanyaan dari rekan satu kos, tapi diabaikan. “Sekarang lebih baik kalau aku fokus pada kontrak baru sialan itu. Sudah terlanjur ditanda tangan dan dengan cepat mereka sembunyikan.” Aiden terus berbicara pada dirinya sendiri dalam hati, tidak peduli akan mengundang pertanyaan oran
“Tenang Aju. Ini hanya pertemuan biasa saja.” Selebriti kurang terkenal itu tidak hentinya bergumam, sambil mengetukkan sepatu hak yang dia pakai ke lantai. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Aju memberikan jadwal pada sang mantan. Hari ini, akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di kafe langganan mereka. “Aju.” Baru juga yang empunya nama menenangkan diri, kini tiba-tiba orang yang membuatnya panik muncul. Itu membuat Aju seketika menghentikan goyangan kakinya. “Hai, Henry.” Aju menyapa dengan senyum tipis, tanpa beranjak dari kursinya. “Hari ini kamu agak cepat dari biasanya.” “Aku ingat kalau kamu suka datang lebih cepat dari jam janjian.” Lelaki yang dipanggil Henry itu tersenyum dan menarik kursi di depan Aju. “Bagaimana kabarmu?” tanya Henry terlihat begitu senang. “Fine.” Aju menjawab dengan singkat, sambil menatap lelaki di depannya dengan tajam. “Apa kamu masih marah padaku?” Henry bertanya dengan tatapan sedih. “Apa aku harus minta maaf lagi?” “Menurutmu
“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya. [AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, k
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara