“INI MENYEBALKAN.”
Beberapa pejalan kaki menoleh mendengar teriakan itu. Namun, itu tidak membuat Aiden melembutkan ekspresinya. Dia terlampau marah karena baru saja ditipu. “Dasar penipu.” Pada akhirnya, Aiden hanya bisa memaki dalam hati, sambil mengeluarkan kunci kamar kosnya. “Bagaimana mungkin aku bisa tertipu begitu saja?” tanya Aiden pada dirinya sendiri. Kini dia berjalan masuk ke rumah kos yang selama ini dia tempati. “Masa hanya gara-gara dipancing soal ....” Wajah Aiden kembali memerah ketika mengingat kejadian saat dia dijebak dulu. Kejadian yang membuat dia terjebak dalam situasi yang sekarang. “Berhenti membayangkan itu Aiden.” Lelaki muda itu, mengipas wajahnya dan menimbulkan pertanyaan dari rekan satu kos, tapi diabaikan. “Sekarang lebih baik kalau aku fokus pada kontrak baru sialan itu. Sudah terlanjur ditanda tangan dan dengan cepat mereka sembunyikan.” Aiden terus berbicara pada dirinya sendiri dalam hati, tidak peduli akan mengundang pertanyaan orang lain. “Tapi bagaimana cara menghancurkan kontrak itu ya?” Pada akhirnya, Aiden mempertanyakan hal itu setelah masuk ke kamarnya. “Apa bisa aku ambil kalau pergi ke rumahnya?” Bersamaan dengan pemikiran itu, Aiden bisa merasakan ponselnya bergetar. Dia mengambil benda pipih itu dan menemukan ada pesan dari nomor yang tidak dikenal. [+628xxxxxxxx: Mengirim gambar.] [+628xxxxxxxx: Baby, Mommy udah kirim duit buat jajan seminggu ini. Nanti kalau kerjaanmu bagus, Mommy tambah lagi ya.] “Hah?” Aiden memekik melihat nominal yang dikirim oleh sang Mommy. Kebetulan tadi dia memang sudah memberikan nomor rekening, setelah dipaksa. “Tiga puluh lima juta untuk seminggu?” *** “Kenapa juga kau mengirimi dia cuma tiga puluh lima juta?” Kira bertanya pada rekan kerjanya. “Kenapa tidak langsung lima puluh juta atau seratus juta saja?” “Tidak bisa gitu dong, Sis.” Aju menggoyangkan jari telunjuknya dengan cepat, tanda tidak setuju. “Kita atau katakan saja aku, ingin melihat dulu seberapa banyak yang bisa dia berikan padaku.” “Aku tidak ingin rugi dong. Sudah bayar mahal, tapi tidak dapat apa-apa dari dia,” lanjut Aju menatap lembaran kontrak yang dia buat secara tiba-tiba bersama dengan sang manajer kemarin malam. “Masalahnya, bagaimana kalau misalnya si Aiden ini, ternyata bukan jimat keberuntungan untukmu?” Kini tiba-tiba saja Kira menjadi khawatir. “Bagaimana kalau yang kita lakukan untuk mendapat pekerjaan ini sia-sia?” “Maka kita akan kembali hidup seperti biasa dan aku akan membatalkan kontraknya.” Aju mengatakan itu, sembari mengedikkan kedua bahunya. “Itu bukan sesuatu yang sulit, Kira.” “Jangan terlalu menganggap enteng, Angelina.” Kira menyebut nama asli rekan kerjanya dengan mata berputar karena gemas. “Hidup tidak sesederhana itu.” “Bagiku hidup sesederhana itu.” Bukannya mengiyakan, Aju malah menantang. “Buktinya, walau aku tidak punya kerja, aku masih bisa hidup kan?” “Orang kaya mah enak.” Kira hanya mengatakan itu, sebelum memutuskan untuk beranjak pergi. Aju hanya bisa tertawa saja melihat manajernya itu. Dia sama sekali tidak marah atau tersinggung dengan kelakuan manajernya karena mereka memang seakrab itu. Kira mengatakannya bukan untuk mengejek. “Jangan terlalu banyak melamunkan sugar baby-mu.” Kira berteriak dari kamar mandi. “Kau harus siap-siap untuk ambil video produk endorese.” “Iya aku tahu.” Aju pada akhirnya bangkit dari sofa yang dia duduki dan segera beranjak ke dalam kamarnya, untuk memilih baju dari walk in closetnya. “Hari ini, bagusnya pakai baju apa ya?” Aju menanyakan itu pada dirinya sendiri, sambil memegangi dagunya yang sedikit lancip. Bentuk wajahnya terlihat sangat sempurna. “Yang jelas, jangan pakai baju dari mantanmu itu ya.” Kira yang sudah selesai dengan urusan kamar mandi, masuk ke kamar utama. “Untuk apa aku memakai baju dari brengsek itu?” Aju jelas saja akan memaki. “Yang dia berikan itu tidak selevel denganku.” Kira berdecih mendengar apa yang dikatakan rekan kerjanya. Apa yang Aju katakan, benar-benar tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan dulu. Dulu, Aju benar-benar bucin. “Hei, Aju. Ponselmu berbunyi.” Tiba-tiba saja, Kira memberitahu. Aju yang tengah menempelkan baju di tubuhnya segera pergi untuk mengangkat telepon. Sayangnya, itu bukanlah panggilan telepon yang dia inginkan. “Mau apa lagi dia meneleponku?” Perempuan cantik berambut panjang itu memekik kesal. “Siapa yang mene ....” Kira mendekat dan bisa melihat foto yang terpampang nyata karena si penelepon menggunakan aplikasi chat untuk menelepon. “Oh, si brengsek itu punya nyali juga untuk meneleponmu.” Kira mencebik dan langsung mengejek. “Mantan gagal move on sepertinya.” Tanpa mengatakan apa pun, Aju mematikan panggilan video itu. Dia baru saja mau memblokir nomor yang dimaksud, tapi sang mantan sudah kembali menelepon. “Astaga! Dia ini kenapa sih?” Aju memekik, setelah hal yang sama terulang sebanyak dua kali. “Sepertinya dia tidak akan menyerah, sampai kau mengangkat.” Kira memberi tahu. Mendengar hal itu, mau tidak mau Aju mengangkat panggilan video itu. “Mau apa lagi kau?” “Aduh, Sayang. Kok galak begitu sih?” Lelaki di ujung sambungan video call, bersuara manja. “Siapa yang kau panggil sayang? Jangan membuatku merinding.” Jelas saja Aju akan meradang. “Tentu saja kamu.” Lelaki itu tersenyum lebar. “Aku merindukanmu.” Dua orang perempuan itu mengerutkan kening mereka dengan ekspresi jijik. Mereka sungguh tidak mengerti apa yang ada di pikiran sang mantan. “Aku ingin mengakui kesalahanku, Aju. Aku ingin minta maaf dan aku ingin kita balikan. Aku bisa gila tanpa dirimu.” Tanpa tahu malu, sang mantan mengatakan itu dan membuat Aju ingin muntah. “Kau pikir aku akan terbujuk rayuanmu lagi?” desis Aju benar-benar merasa kesal. “Aku tidak sebodoh itu.” “Kali ini aku serius, Sayang. Setelah semua masalahku selesai, ayo kita menikah. Aku tidak bisa lagi hidup tanpamu,” lanjut sang mantan dengan serius. Kening Aju mengerut ketika mendengar hal itu. Dia menatap Kira yang langsung menggeleng, sebelum kembali menatap layar ponselnya dengan tatapan ragu-ragu. “Jangan berbohong.” Inginnya sih Aju menghardik, tapi suaranya terdengar lemah. "Aku tidak akan mudah percaya." “Aju.” Melihat rekannya mulai goyah, Kira mendesis pelan. Dia bahkan mendekati sang artis dan mencubit lengan perempuan itu. “Jangan tertipu lagi. Dia sudah cukup sering membuatmu susah,” lanjut Kira dalam bisikan pelan. “Lihat ini.” Lelaki dalam panggilan video itu, tampak sedang mencari sesuatu. “Aku bahkan sudah membeli cincin untukmu.” “Kali ini aku serius. Jadi setidaknya, ayo kita bertemu dulu kalau jadwalmu kosong,” lanjut lelaki tadi dengan serius. “Aku akan mengabari kapan jadwal kosongku,” jawab Aju dengan cepat.***To be continued***“Tenang Aju. Ini hanya pertemuan biasa saja.” Selebriti kurang terkenal itu tidak hentinya bergumam, sambil mengetukkan sepatu hak yang dia pakai ke lantai. Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Aju memberikan jadwal pada sang mantan. Hari ini, akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di kafe langganan mereka. “Aju.” Baru juga yang empunya nama menenangkan diri, kini tiba-tiba orang yang membuatnya panik muncul. Itu membuat Aju seketika menghentikan goyangan kakinya. “Hai, Henry.” Aju menyapa dengan senyum tipis, tanpa beranjak dari kursinya. “Hari ini kamu agak cepat dari biasanya.” “Aku ingat kalau kamu suka datang lebih cepat dari jam janjian.” Lelaki yang dipanggil Henry itu tersenyum dan menarik kursi di depan Aju. “Bagaimana kabarmu?” tanya Henry terlihat begitu senang. “Fine.” Aju menjawab dengan singkat, sambil menatap lelaki di depannya dengan tajam. “Apa kamu masih marah padaku?” Henry bertanya dengan tatapan sedih. “Apa aku harus minta maaf lagi?” “Menurutmu
“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya. [AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, k
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan