“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya.
[AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, ketika dia sudah sampai di tempat parkir kafe. “Perempuan itu sepertinya tidak akan macam-macam lagi, jadi kau bisa tenang.” Niat Aiden sih berpikiran positif. Tapi ketika menemukan perempuan yang dia cari, lelaki muda itu malah disuguhi pertengkaran yang membuat bingung. Untung saja dia tidak perlu melakukan dan mengatakan apa pun, sampai diseret pergi. “Kau datang naik motor?” Aju bertanya, ketika mereka sudah sampai di tempat parkir kafe. “Ya. Ada masalah dengan itu?” Aiden bisa menebak, tapi dia enggan berbicara lebih jauh. “Kalau terlalu banyak kena matahari, kulitku bisa rusak.” Aju mengatakan itu, sembari melihat ke arah pintu kafe. “Tapi karena sepertinya ada yang mengejar, aku harus terpaksa naik motor.” Aiden bisa melihat kalau lelaki yang tadi bertengkar, kini keluar dari kafe. Entah ingin mengejar siapa, tapi itu membuat Aiden bergerak dengan cepat. “Ayo naik.” Lelaki muda itu, memberikan helm-nya pada Aju. “Kau yakin memberikan ini padaku?” Sang selebriti naik, tanpa memakai helm. “Kau pakai apa?” “Aku baik-baik saja. Lebih baik kau saja yang pakai, biar kulitmu bisa lebih tertutupi.” Aju tersenyum mendengar itu dan segera memakai helm. Dia juga harus memeluk lelaki muda di depannya dengan erat karena rupanya lelaki itu punya bakat jadi pembalap. “Kita mau ke mana?” Aiden meneriakkan hal itu karena suara bising. “Terserah mau ke mana, tapi jangan ke tempat ramai ya.” Aju ikut menjawab dengan teriakan. “Masalahnya aku tidak tahu tempat seperti itu,” balas Aiden dengan kening berkerut. “Aku jarang keluar.” “Kalau begitu ... bagaimana kalau ke rumahmu saja? Kau tinggal di kos kan?” “Yang benar saja. Aku tidak bisa membawa perempuan.” Aiden dengan cepat menolak. “Tempat yang lain saja.” “Astaga! Kenapa kau kolot sekali sih.” Dari balik helm full face, Aju memutar bola matanya dengan gemas. “Ya sudah. Ikuti saja petunjukku,” lanjut perempuan cantik berambut panjang itu. “Kita akan ke tempat yang benar-benar sepi.” “Hah? Maksudnya gimana?” Tentu saja Aiden menjadi bingung. “Sudah! Kau diam saja dan ikuti arahanku.” Kali ini, Aju bahkan memukul pelan kepala lelaki muda di depannya. Pukulan itu tidak sakit, tapi itu membuat Aiden merasa kesal. Walau begitu, dia tetap mengikuti arahan sang Mommy. Tentu saja dengan harapan dia tidak dibawa ke tempat aneh. “Kita ada di kompleks pemakaman?” Aiden menanyakan hal itu dengan kening berkerut, ketika mereka sudah sampai. “Tentu saja. Memangnya ada batu nisan di mal?” Aju mengatakan itu, sembari turun dari motor. Dia juga tidak melepas helm. “Aku juga tahu itu, tapi untuk apa ke sini?” Aiden bertanya dengan nada kesal, tapi tetap mengikuti langkah perempuan di depannya. “Tentu saja untuk bertemu ayah dan ibuku.” Perempuan dengan helm itu, kini melepas pelindung kepalanya saat tiba di depan dua buah nisan. Tepat di bawah pohon yang rindang. Aiden langsung terdiam ketika mendengar yang dikatakan Aju barusan. Dia tentu tidak menyangka kalau perempuan itu malah mengunjungi makam kedua orang tuanya. Hal ini membuat Aiden menjadi tidak enak hati. “Halo, ayah. Ibu.” Aju berjongkok dan menyapa. “Bagaimana kabarnya? Hari ini Aju baik-baik saja, walau tadi sempat kena sial.” “Ayah dan ibu ingat mantanku yang menyebalkan itu?” Aju kembali bertanya pada nisan di depannya. “Dia kembali datang dan ingin menipuku lagi.” Aju menceritakan keluh kesahnya dan Aiden hanya bisa mendengar dalam diam. Jujur saja, lelaki itu jadi sedikit iba pada perempuan yang jauh lebih tua darinya itu. Kalau didengar sekilas, Aju punya hidup yang cukup rumit dibanding dirinya. “Ayo pulang.” Setelah merasa cukup, Aju pada akhirnya berdiri dari posisi jongkoknya. “Pulang ke rumah?” tanya Aiden yang agak linglung sesaat. “Atau mau pulang ke tempat tadi.” “Tentu saja pulang ke rumah, Baby.” Aju sengaja menggoda lelaki muda di depannya itu. “Kau kok seperti kebingungan gitu? Udah bosan ya?” “Mungkin.” Aiden hanya bisa mengangguk saja. “Tapi, rumah Kak Aju di mana?” Lelaki muda itu kembali bertanya, sembari berjalan pelan. “Nanti akan kutunjukkan, tapi kau juga turun ya. Kau harus tahu yang mana apartemenku dan juga harus tahu PIN pintu rumah.” Perempuan dengan outer itu memberi penjelasan lebih lanjut. “Untuk apa aku harus tahu sedetail itu?” Kini Aiden tidak lagi canggung berbicara santai pada Mommy-nya. “Tentu saja harus tahu, siapa yang tahu kalau aku nanti perlu bantuanmu. Atau mungkin ....” Aju dengan sengaja menggantungkan kalimatnya. Dia melirik ke arah Aiden yang tampak bingung. Dalam kepala kecilnya, Aju sedang berpikir, apakah dia bisa mengerjai lelaki muda itu lebih jauh lagi. “Mungkin apa?” Aiden mengernyitkan keningnya dengan curiga. “Bisa kalau bicara jangan setengah-setengah.” “Mungkin aku perlu bantuanmu di malam hari,” jawab Aju dengan senyum lebar. Dia memutuskan untuk mengerjai Aiden lebih jauh. “Hah? Memangnya bantuan apa yang diperlukan di malam hari?” Aiden yang polos itu makin bingung saja. “Banyak.” Aju bergerak mendekati lelaki muda itu. “Misalnya kalau aku sakit dan minta diantar ke rumah sakit.” “Oh, kalau itu masuk akal.” Aiden mengangguk, sembari mulai menaiki motornya. “Lalu mungkin kau bisa membantuku dalam hal lain yang lebih privat,” tambah Aju dengan senyum yang makin lebar saja. “Privat seperti apa?” Aiden yang mulai curiga, kini menyipit. Rasanya ada yang aneh, tapi dia belum tahu apa. Aju pun tidak langsung menjawab. Dia makin mendekati lelaki muda di depannya dan meletakkan sebelah tangan di bahu Aiden. Bahkan mengelusnya pelan, sampai ke area dada. “Mungkin saja kau bisa menjadi penghangat ranjangku,” gumam Aju sengaja dalam bisikan. “Kita mungkin masih bisa tidur bersama.”***To be continued***Hai, man teman. Maaf baru nyapa di bab 7. Ini karya ke-3 di Good Novel, semoga suka ya. Jangan lupa tinggalkan jejak. Makasih 😘
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan
“Tenanglah Aju. Kau harus tenang.” Sang selebriti, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini hanya pesta pernikahan biasa, bukan medan perang.” “Itu kau tahu.” Kira dengan cepat menimpali. “Jadi kenapa mukamu tegang begitu?” “Kau tahu kalau aku tidak begitu akur dengan keluarga besarku,” jawab Aju disertai dengan desahan nafas lelah. “Aku pasti hanya akan jadi badut di sana.” “Yang benar saja.” Kira langsung menghardik, mendengar apa yang dikatakan sang selebriti. “Kau cantik begini, mana mungkin jadi badut.” Kali ini, Aju memilih gaun berwarna biru langit dengan bahu yang terbuka. Lengan panjangnya yang transparan, memberikan sedikit kesan seksi. Ada belahan yang cukup panjang juga di bagian rok yang berbentuk A dan sudah sedikit dimodifikasi, agar terlihat agak mengembang. “Berhentilah mengeluh karena kau sudah luar biasa. Lebih baik kau telepon berondongmu itu.” Kira kembali membe
“Hai, sepupu.” Mau tidak mau, Aju menyapa orang yang baru saja mengejeknya itu. “Mulutmu masih saja seperti sampah ya.” “Setidaknya aku bukan manusia sampah sepertimu,” desis perempuan yang jadi lawan bicara Aju. Aiden yang berada di antara dua perempuan itu tertegun. Padahal mereka baru saja tiba dan belum ada lima menit di dalam tempat acara, tapi sudah ada saja yang menyerang. Makin terkejut karena yang menyerang dengan ejakan itu adalah sepupu Aju dan tampak tidak bersahabat. “Berhentilah membuat kegaduhan.” Baru juga Aju ingin membalas, seseorang lain datang. “Kalian itu bukan anak TK yang harus berkelahi karena mainan.” “Bukan aku yang mulai, Ma. Aju yang duluan.” Perempuan muda tadi tidak segan menunjuk. “Bianca.” Perempuan yang lebih tua menegur. “Ini adalah pernikahan kakakmu, jadi bersikaplah dengan baik.” “Menyebalkan.” Hanya itu yang dikatakan Bianca, sebelum berbalik pergi. “Maafkan