“Tenang Aju. Ini hanya pertemuan biasa saja.” Selebriti kurang terkenal itu tidak hentinya bergumam, sambil mengetukkan sepatu hak yang dia pakai ke lantai.
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya Aju memberikan jadwal pada sang mantan. Hari ini, akhirnya mereka berjanji untuk bertemu di kafe langganan mereka. “Aju.” Baru juga yang empunya nama menenangkan diri, kini tiba-tiba orang yang membuatnya panik muncul. Itu membuat Aju seketika menghentikan goyangan kakinya. “Hai, Henry.” Aju menyapa dengan senyum tipis, tanpa beranjak dari kursinya. “Hari ini kamu agak cepat dari biasanya.” “Aku ingat kalau kamu suka datang lebih cepat dari jam janjian.” Lelaki yang dipanggil Henry itu tersenyum dan menarik kursi di depan Aju. “Bagaimana kabarmu?” tanya Henry terlihat begitu senang. “Fine.” Aju menjawab dengan singkat, sambil menatap lelaki di depannya dengan tajam. “Apa kamu masih marah padaku?” Henry bertanya dengan tatapan sedih. “Apa aku harus minta maaf lagi?” “Menurutmu?” Bukannya menjawab, Aju malah balik bertanya. “Aku tahu aku salah padamu.” Henry menggenggam tangan Aju yang ada di atas meja. “Aku benar-benar minta maaf karena sudah banyak berkata kasar padamu.” Tidak ada reaksi yang diberikan Aju, ketika mendengar itu semua. Perempuan tinggi itu, hanya menatap kepalan tangannya yang digenggam. Mencoba merasakan apa yang dulu pernah dia rasakan terhadap lelaki di depannya itu. “Tidak mendapat tanggapan, Henry kembali berbicara, “Waktu kita putus, aku salah karena mempermalukanmu. Aku salah karena sudah selingkuh darimu yang selalu baik.” “Lalu bagaimana dengan selingkuhan kayamu itu?” tanya Aju yang kini melirik lelaki di depannya. “Tentu saja kami putus,” jawab Henry dengan cepat. “Dia sama sekali tidak cocok untukku. Dia sangat kasar dan ... pokoknya dia jahat. Karena itu, aku mau kembali padamu. Ayo kita menikah.” Dengan gerakan yang cukup cepat, Henry mengambil kotak yang ada di dalam kantongnya. Tidak besar dan orang-orang bisa menebak dengan akurat apa itu. Kotaknya dibuka, bersamaan dengan lelaki itu yang berlutut di depan Aju. “Angelina Julie, maukah kamu menikah denganku?” Henry kembali bertanya dengan wajah yang lebih serius. “Maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?” Aju melirik lelaki yang cukup tampan dan tengah berlutut di depannya itu. Dia juga melirik ke sekitar, memastikan apakah ada yang tertarik pada kejadian itu atau tidak dan tentu saja semua mata melihat ke arah mereka. Padahal Aju sudah memilih jam yang sepi, tapi rupanya banyak juga yang datang dan kini melihat mereka. Jujur saja, ini membuat Aju bimbang. Apalagi ada yang mengambil video. “Aju?” Henry memanggil karena perempuan di depannya tidak kunjung menjawab. “Kamu ingin kita menikah?” Akhirnya Aju bersuara juga. “Tentu saja.” “Kalau begitu ....” Aju sengaja menggantungkan kalimatnya dengan sengaja dan menggerakkan tangan ke arah kotak kecil berisi cincin di depannya itu. “Oh, ini yang katanya mau pergi dinas luar kota?” Belum juga tangan Aju menggapai kotaknya, suara seorang perempuan terdengar. “Kenapa kamu ada di sini?” Ekspresi wajah Henry tiba-tiba saja memucat dan dia segera berdiri dari posisi berlututnya. “Bukannya kamu ke Singapura?” Henry segera menghampiri perempuan yang tadi menghardik dan itu membuat Aju tertawa. Ini benar-benar terlihat sangat lucu di matanya. Sepertinya kali ini, dia lagi-lagi dibodohi. “Kamu bilang mau dinas luar kota.” Perempuan yang baru datang itu tampak sangat berang. “Tapi kenapa malah berlutut di depan perempuan yang tidak dikenal?” “Maaf, saya ini mantannya dia.” Aju tiba-tiba saja berdiri dan memperkeruh suasana. “Dia tiba-tiba ngajak ketemuan dan bilang mau minta maaf. Lalu, tiba-tiba saja berlutut dan melamar.” “Ini salah paham.” Henry tiba-tiba saja jadi panik. “Aju, tolong jangan bikin masalah tambah runyam.” “Loh, aku hanya mengatakan yang sebenarnya.” Aju terlihat melotot karena malah disalahkan, bahkan sudah bicara tanpa sopan santun. “Aku ada bukti loh. Chat yang kemarin masih aku simpan.” “Mana coba lihat.” Perempuan yang tadi langsung merebut ponsel Aju begitu saja. Kebetulan sekali Aju sudah membuka room chat dirinya dengan sang mantan, jadi semua terlihat jelas di sana. Sebenarnya isi chat tidak panjang. Hanya Aju yang memberitahu kalau dia sudah senggang dan Henry yang berterima kasih karena masih mau diberi kesempatan, tapi itu semua jelas sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. “Dasar cowok matre kurang ajar.” Setelah mengembalikan ponsel Aju dengan kasar, perempuan tadi menampar Henry dengan keras. “Harusnya aku mendengar omongan teman-temanku yang bilang kalau kamu cuma mau memerasku. Sekarang kita putus.” “Tunggu dulu, Sayang.” Henry ingin mengejar, tapi dia dengan segera teringat dengan siapa dia. “Aju.” Henry dengan cepat menggenggam kedua tangan perempuan cantik berambut panjang di depannya. “Aku bisa menjelaskan semua ini. Dia itu hanya perempuan yang dijodohkan denganku dan aku sama sekali tidak suka dia.” “Kak Aju?” Belum juga Aju bersuara, seseorang memanggilnya. Itu jelas membuat perempuan yang hari ini menggunakan outer berwarna pink pastel itu tersenyum. Orang yang dia minta datang ternyata sangat tepat waktu. “Dia siapa?” Henry bertanya pada lelaki muda yang baru saja menghampiri mantan kekasihnya itu. “Kenalin. Ini Aiden.” Aju dengan senang hati mengenalkan lelaki muda di sebelahnya. “Gebetan baruku.” Mendengar hal itu, Henry langsung tertawa. Cukup keras, sampai membuat Aju dan Aiden bingung. Mereka berdua bahkan mengerutkan kening karenanya. “Anak muda begini kamu temani pacaran?” Henry bertanya dengan raut wajah yang terlihat begitu senang. “Yang ada dia malah bakal morotin kamu.” “Loh, memangnya kamu tidak morotin aku?” tanya Aju sudah kembali mencoba untuk sedikit sopan. “Apa kamu tidak dengar apa yang dibilang mantanmu tadi? Kamu cuma memeras dia saja.” Henry benar-benar melupakan apa yang baru saja mantannya katakan. Itu jelas membuatnya malu, apalagi itu didengar semua orang dan mungkin sudah direkam juga. “Lagi pula, kamu kan bilang kalau aku hanya perawan tua yang gak bakal laku-laku,” lanjut Aju mengingatkan sang mantan pada kata-kata yang pernah lelaki itu lontarkan padanya. “Ini aku kasih bukti kalau aku masih laku.” “Dia cuma mau uangmu.” Henry masih bersikeras. “Dia tidak tulus.” “Setidaknya, dia tidak akan bermulut kasar sepertimu.” Aju tidak segan menunjuk sang mantan tepat di depan wajahnya. “Kamu jelas-jelas merendahkanku di depan semua orang, mempermainkanku, bahkan pernah memukulku juga. Kurang brengsek apa dirimu?” “Aku kan sudah minta maaf untuk itu.” Rupanya, Henry cukup keras kepala juga. “Sayangnya, tidak ada maaf untukmu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Terutama setelah apa yang terjadi tadi. Kamu jelas-jelas tidak tulus dan mungkin saja hanya mengincar uangku saja karena kulihat kamu sudah terlihat seperti gembel.” Mendengar hinaan itu, wajah Henry langsung memerah. Bukan hanya merah karena malu, tapi juga marah. Makin marah lagi, ketika Aju dengan santainya menggandeng pria muda di sampingnya. “Ayo, Aiden. Kita tidak perlu meladeni lelaki menyedihkan ini.” Aju menarik lelaki yang kini jadi peliharaannya itu, tapi menghentikan langkah tak lama kemudian. “Aku lupa kamu mungkin tidak punya uang.” Sembari mengatakan hal itu, Aju mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah. “Ini untuk membayar minuman yang kupesan tadi dan sisanya bisa kamu ambil.” “Lalu untuk kalian semua yang sudah merekam kejadian ini, silakan dihapus,” tambah Aju dengan tatapan serius. “Atau kalian akan tahu akibatnya.” ***To be continued***“Apa lagi sih ini?” Aiden mendesah melihat pesan yang muncul di layar ponselnya. [AJUmma: Aku butuh bantuanmu. Datang ke kafe Lavita, jam sebelum jam sebelas siang.] “Den. Mau bantu aku kerja tugas gak?” Ray bertanya pada sahabatnya. “Maaf, tapi sepertinya tidak bisa.” Dengan berat hati, Aiden menolak. “Aku sudah punya janji lain. Lain kali saja ya.” “Tumben banget sih.” Jujur saja, Ray agak terkejut mendengar jawaban temannya. “Biasanya kalau bukan kerja sampingan, kau tidak pernah keluar. Denganku saja jarang.” “Bisa dibilang ini pekerjaan.” Aiden membalas dengan nada ragu-ragu dan ringisan pelan. “Pekerjaan yang tidak bisa kuabaikan seenaknya.” Mendengar penjelasan itu, kening Ray berkerut. Dia agak bingung dengan penjelasan sang sahabat, tapi memilih untuk tidak ambil pusing. Ray yakin apa pun yang dikerjakan sang sahabat, pastilah bagus. Dia tidak tahu saja kalau sekarang Aiden sudah jadi sugar baby. “Bersemangatlah, Aiden.” Mahasiswa itu menyemangati diri sendiri, k
“Dasar gila.” Tiba-tiba saja Aiden memekik dan membuat seisi kelas menoleh padanya. “Ada masalah apa denganmu, Aiden Dirgantara Nugraha?” Dosen perempuan yang sedang mengajar, menyipit tajam ke arah lelaki muda yang berteriak. “Kalau tidak suka dengan pelajaranku, kau bisa keluar.” “Maaf, Bu.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Aiden, tentu saja dibarengi dengan ringisan pelan. Dia benar-benar tidak sadar sedang berada di kelas, ketika memikirkan apa yang dikatakan oleh Aju kemarin. “Sebaiknya kau tidak banyak tingkah, apalagi setelah beasiswamu dicabut.” Sang dosen tidak segan mengancam dan membuat Aiden makin meringis. “Kau itu kenapa sih?” Ray yang berada di dalam kelas yang sama, berbisik pada sahabatnya yang baru ditegur. “Sedang banyak pikiran,” balas Aiden juga dalam bisikan. “Setiap hari saja banyak pikiran.” Ray kembali membalas dengan bola mata terputar karena gemas. Aiden
“Kenapa juga aku harus menuruti apa yang diminta perempuan sialan itu?” Aiden tidak henti-hentinya mengeluh dan mendesah, sejak dia sampai di gedung apartemen yang dia tuju. “Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Aiden.” Lelaki itu kembali berbicara pada diri sendiri, ketika sudah berdiri di depan pintu. “Mungkin dia hanya akan meminta tolong sesuatu yang benar-benar penting.” Setelah beberapa kali meyakinkan diri, Aiden akhirnya menekan PIN pada panel yang ada di pintu. Kombinasi nomor yang sebenarnya sangat riskan karena berulang dan berurut. Angka satu, dua dan tiga diulang sebanyak dua kali. Itu jelas riskan untuk seorang selebriti. “Ugh.” Begitu membuka pintu, Aiden bisa mendengar suara lenguhan itu. “Coba lebih keras lagi.” Suara Aju kembali terdengar, disertai dengan suara nafas yang terdengar berat. Aiden bisa mendengar karena suaranya cukup keras dan agak dekat. “Aku sudah melakukannya dengan keras, sialan.” Suara
“Wah, pas sekali posisi jatuhnya ya.” Aju dengan santainya menangkup kedua pipi lelaki yang terbaring di bawahnya. “A-apa yang ingin kau lakukan?” tanya Aiden dengan gagap karena malu dan panik. “Tu-turun,” lanjutnya dengan nada perintah yang justru terdengar sangat menggemaskan. “Kenapa harus turun?” tanya Aju dengan sengaja ingin mempermainkan lelaki muda itu. “Tubuhmu adalah tempat duduk ternyaman.” “Apa yang kau lakukan?” Karena panik dengan sentuhan pelan Aju di rahangnya, Aiden tiba-tiba saja bangun. Lelaki muda itu tidak bangun begitu saja dan menjatuhkan Aju, tapi membalikkan keadaan. Kini dia yang berada di atas, mengungkung Aju dengan kedua lengannya yang menahan tubuhnya agar tidak menimpa perempuan itu. “Oh, ini juga posisi yang bagus.” Kali ini Aju dengan santainya mengalungkan kedua tangan ke leher lelaki muda yang terlihat gugup, sekaligus tampan itu. “AKU HARUS PULANG.” Tanpa sengaja, Aiden mena
“Kenapa pihak manajemen malah menggunakan model tidak terkenal?” “Entahlah. Mungkin untuk menghemat budget. Kalian tahu kalau anak baru pasti murah kan.” “Anak baru bagaimana? Dia itu pasti sudah lebih dari dua lima tahun.” “Aku sih tidak peduli. Yang penting dia tidak mengacau saat pemotretan nanti.” Aju bisa mendengar bisik-bisik yang menyudutkan dirinya itu. Terdengar amat sangat menyebalkan, tapi dia juga tidak bisa seenaknya marah. Bisa-bisa pekerjaannya bisa melayang kalau dia salah langkah. Alhasil, dia hanya bisa tersenyum saja. “Rasanya aku ingin memasukkan cabe ke mulut mereka semua.” Rupanya bukan Aju saja yang kesal, tapi sang manajer juga. “Mau bagaimana lagi? Kalau kita protes, bisa-bisa tawaran ini dibatalkan.” Aju mengedikkan kedua bahu, menatap gerombolan orang yang berdiri dekat pintu. Mereka sedang menunggu seseoran
“Demi Tuhan!” Aiden mengeluh melihat pesan yang ada di ponselnya. “Dia mau apa lagi?” “Kenapa?” Ray bertanya dengan senyum penuh arti. “Mommy-mu mau main lagi ya?” “Berhenti menggodaku atau aku akan marah,” desis Aiden benar-benar kesal dengan sahabat yang belakangan ini selalu menggodanya. “Oke. Baiklah.” Ray mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. Tapi senyum di wajah lelaki itu belum sirna. “Kali ini ada apa lagi?” tanya Ray agak penasaran juga. “Apa dia minta dipeluk di ranjang lagi? Soalnya ini kan sudah hampir seminggu sejak terakhir kali.” Aiden jelas akan melotot pada sahabatnya itu. Dia bahkan sudah akan memukul, tapi Ray sudah menghindar duluan. Itu membuat Aiden kembali menatap ponsel dan membaca ulang pesan yang batu dia terima. [AJUmma: Boleh aku minta bantuanmu? Kalau bisa, hubungi aku kalau kau sudah punya waktu. Biar kita bisa mengatur
“Sialan!” Aiden tidak sadar kalau dirinya mengeluarkan umpatan. “Kenapa bisa satu setel jas semahal ini?” Belum juga mencoba jas yang disodorkan padanya, lelaki muda itu sudah mengeluh. Dia tentu tahu kalau di dunia orang kaya, jas seharga jutaan hingga puluhan juta adalah hal biasa. Tapi melihat secara langsung, tetap membuat dia tercengang. “Tidak apa-ap, Aiden.” Lelaki muda itu meyakinkan dirinya sendiri. “Tidak perlu dibeli. Cukup coba saja dulu dan biarkan Ajumma itu puas dulu.” Niat Aiden sih seperti itu. Tapi siapa sangka dia malah mendengar hal yang menyebalkan, bertepatan dengan dia yang membuka pintu ruang ganti dengan pelan. Bukan hanya untuk Aju, tapi bagi Aiden yang mendengar pun terdengar menyebalkan. “Mommy.” Ingin menolong perempuan yang bersamanya, Aiden refleks mengucapkan panggilan itu dengan cukup keras. Aju agak tersentak ketika mendengar panggilan itu datan
“Tenanglah Aju. Kau harus tenang.” Sang selebriti, berbicara pada dirinya sendiri. “Ini hanya pesta pernikahan biasa, bukan medan perang.” “Itu kau tahu.” Kira dengan cepat menimpali. “Jadi kenapa mukamu tegang begitu?” “Kau tahu kalau aku tidak begitu akur dengan keluarga besarku,” jawab Aju disertai dengan desahan nafas lelah. “Aku pasti hanya akan jadi badut di sana.” “Yang benar saja.” Kira langsung menghardik, mendengar apa yang dikatakan sang selebriti. “Kau cantik begini, mana mungkin jadi badut.” Kali ini, Aju memilih gaun berwarna biru langit dengan bahu yang terbuka. Lengan panjangnya yang transparan, memberikan sedikit kesan seksi. Ada belahan yang cukup panjang juga di bagian rok yang berbentuk A dan sudah sedikit dimodifikasi, agar terlihat agak mengembang. “Berhentilah mengeluh karena kau sudah luar biasa. Lebih baik kau telepon berondongmu itu.” Kira kembali membe
“Selamat, kandungannya sudah sebulan.” Mey-sepupu dari Aju adalah orang yang paling pertama bersorak. Kebetulan dia yang merekomendasikan dokter kandungan. Aiden ikut senang mendengar hal itu. Dia bahkan menangis haru, ketika melihat titik hitam yang akan menjadi calon anaknya nanti. Sayang sekali, Aju tidak bereaksi serupa. Perempuan itu justru terlihat sangat frustrasi. “Kak Aju.” Sadar ada yang salah, Aiden memanggil istrinya. “Kok malah murung?” “Bagaimana aku harus menghadapi dunia dan pekerjaanku?” tanya Aju, tidak berusaha menutupi apa yang membuatnya gelisah. “Hadapi seperti biasa saja.” Aiden mencoba memberi saran. “Maksudku, ini kan bukan suatu kesalahan, jadi tidak perlu dipikirkan.” “Aku tahu kehadiran anak ini bukan kesalahan, tapi cara mendapatkan jelas salah. Itu yang membuatku kepikiran, terutama karena mulut orang-orang sangat sulit dikendalikan. Kau tidak tahu saja kalau ucapan orang-orang di media sosial media itu sangat keterlaluan.” Semua yang ikut ke r
“Hamil?” tanya Aiden dengan mata yang melebar karena kaget. “Tidak tahu.” Aju dengan cepat menggeleng. “Tadi aku memang sempat mual, tapi belum diperiksa.” Walau sudah dikatakan seperti itu, tapi Aiden tetap saja melongo. Dia bahkan mengabaikan makanan yang ada di depannya karena masih tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. “Aku akan jadi ....” “Belum diperiksa.” Aju refleks memukul bibir suaminya, walau banyak yang mungkin melihat. Mereka memang masih di ruangan pesta. Sebagian tamu memang sudah pulang, tapi bukan berarti tidak ada orang. Masih cukup banyak yang ingin tinggal untuk after party yang akan berlangsung sebentar lagi. Lalu karena masih ada waktu, Aju dan Aiden memutuskan untuk makan dulu. Kebetulan mereka sudah berganti pakaian. “Aku akan jadi ayah.” Aiden bergumam, tanpa mendengarkan apa yang dikatakan istrinya. “Kau itu kenapa sih?” Aju kembali memukul sang suami, tapi kali ini di bagian lengan. “Aku kan sudah bilang kalau belum diperiksa.” “Tapi teta
“Wah, kenapa gaunmu bagus sekali?” Tiara langsung merasa takjub dengan perempuan yang berdiri di depannya. “Bukankah katanya ada bagian yang rusak?” “Ya.” Aju tanpa ragu mengangguk. “Tapi mereka memutuskan untuk memotong bagian depan ini dan membiarkannya menjadi pendek di bagian depan, tapi tetap panjang di bagian belakang.” “Lebih tepatnya, mereka memotong bagian rok agar jadi pendek dan menambahkan kain lagi untuk menutupi bagian belakang dan samping.” Tiara mengangguk, sembari terus melihat gaun milik sang pengantin. “Ide yang sebenarnya sudah lama ada, tapi aku pribadi tidak berpikir akan terlihat cantik di gaun pengantin,” lanjut Tiara yang masih saja takjub. “Terutama yang menggunakan gaun ini adalah orang yang juga sangat cantik.” “Ah, Tante bisa saja.” Mau tidak mau, Aju tersipu juga. “Dari pada membahas pakaian, mending membahas mentalmu.” Sepupu Aju yang bernama Mey bertanya. "Bagaimana? Apa sudah siap?” “Siap gak siap sih.” Aju meringis ketika menjawabnya. “Benar
“Selamat siang menjelang sore, Mbak Aju.” Seorang pegawai butik menyambut. “Aduh, maaf ya Mbak Adel. Saya agak terlambat karena ternyata pekerjaan saya selesai lebih lambat.” Aju tentu saja akan meminta maaf lebih dulu karena sudah datang sangat terlambat dari waktu yang dijanjikan. “Sama sekali tidak masalah karena Aidennya sudah datang duluan.” “Ya?” Mata Aju melotot mendengar apa yang barusan diucapkan petugas butik. “Siapa yang datang?” “Calon suaminya, Mbak.” Pegawai butik menjawab dengan nada gemas. “Dia telat juga sih, tapi yang penting kan sudah datang.” Walau Aju masih agak terkejut dengan apa yang dia dengar, tapi dirinya masih berusaha tenang. Padahal tadi dia sudah mencoba mengecek jadwal sang tunangan lewat asisten, tapi tidak menemukan ada kunjungan ke butik. Jadi kenapa Aidenada di sini? “Kak Aju.” Aiden yang menunggu di ruang tunggu, langsung bangkit dan menyapa tunangannya. “Kenapa ada di sini?” Alih-alih menyambut rentangan tangan sang tunangan, Aju malah
“Aiden. Apa kau sibuk?” Aju menanyakan hal itu lewat telepon dengan ekspresi yang terlihat frustrasi. “Maaf, Kak. Aku udah selesai kuliah sih, tapi habis ini mau ikut rapat di kantor. Memangnya ada apa ya?” Aju mengatupkan matanya. Dia tampak kesal, sekaligus terlihat lelah saat bersamaan. Inginnya marah, tapi pada akhirnya dia tidak bisa melakukan itu. Apalagi sekarang ini Aju sedang berada di tempat umum. “Ya sudah.” Pada akhirnya sang selebriti hanya bisa mendesah saja. “Tapi nanti kalau sudah selesai telepon aku ya.” “Oke. Nanti aku juga akan kirim pesan kalau sudah sampai di kantor.” Sang selebriti kembali mendesah lelah, sebelum akhirnya mematikan sambungan telepon. Aju kemudian menatap pesan yang baru saja dia terima, tepat sebelum menelepon sang kekasih. Itu adalah pesan dari butik tempat Aju memesan gaun pengantin. [Butik: Mbak, ada sedikit masalah dengan gaun dan jasnya. Masih bisa diperbaiki, tapi mu
“Kenapa kau terlihat lesu?” Ray bertanya pada sang sahabat. “Bertengkar dengan Kak Aju?” “Tentu saja tidak,” jawab Aiden dengan wajah yang ditutupi buku. “Walau tidak separah bertengkar, tapi aku punya masalah yang tidak kalah gawatnya.” “Apa itu?” “Kakek mulai memintaku untuk memikirkan pernikahan.” “Wow.” Ray tidak bisa menahan rasa terkejutnya dan berakhir mendapat pelototan dari orang-orang yang ada di perpustakaan. Aiden dan Ray tentu saja sedang berada di perpustakaan kampus. Mereka saat ini sedang mengerjakan tugas, sembari menunggu mata kuliah berikutnya. Sayang sekali Aiden sama sekali tidak bisa fokus sama sekali, walau masalah yang dia pikirkan sudah lewat beberapa minggu. “Jadi sekarang aku harus bagaimana?” tanya Aiden yang kini menatap sang sahabat. “Ya kalau mau nikah ya nikah saja.” Ray berbicara dengan santainya. “Yang penting Kak Aju juga mau. Gitu aja kok repot.” “Kau pikir menikah itu mainan?” Aiden tidak segan memukul bagian kepala sahabatnya yang
“Bagaimana mungkin aku tiba-tiba punya saham?” Suara teriakan Aju terdengar bahkan sampai keluar ruangan sang kakek. Para asisten dan sekretaris yang menguping saja sampai tersentak saking kerasnya suara itu. “Sabarlah, Sayang.” Aiden tentu akan bertugas sebagai penenang. “Aku pun baru tahu hari ini.” “Karena itu aku bertanya pada Kakek.” Aju tidak segan memukul meja yang ada di depannya. “Kenapa membuat keputusan yang gegabah seperti itu?” “Itu sama sekali bukan keputusan yang gegabah.” Walau orang-orang di depannya terlihat sangat serius, tapi Raja sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, dia malah sangat tenang. “Sebenarnya, ini sudah Kakek pikirkan selama berbulan-bulan,” lanjut pria sepuh itu dengan mata yang memejam, seolah sedang lelah. “Sekali pun begitu, Kakek tidak bisa seenaknya memutuskan.” Kali ini, Atlas yang protes. Tadi dia memang ikut masuk ke ruangan sang kakek, setelah rapat selesai. “Itu adalah saham milikku, Atlas.” Raja membuka mata, hanya untuk
“Eh? Aku juga ikut?” tanya Aju dengan kedua mata yang membulat karena terkejut. “Untuk apa Aju harus ikut?” Kini Aiden yang bertanya dengan mata melotot. “Kita kan hanya akan pergi ke rapat umum pemegang saham. Aju tidak perlu ikut.” “Justru karena kita akan pergi ke rapat itu, makanya Aju harus ikut.” Sayangnya, Raja tetap kukuh pada pendiriannya. “Kecuali kalau hari ini Aju ada jadwal kerja.” “Hari ini tidak ada sih, tapi ....” Jujur saja Aju sangat bingung dengan ajakan yang sangat tiba-tiba ini. “Tapi memangnya tidak masalah? Aku kan tidak bakal ngapa-ngapaiin di sana. Nanti malah mengganggu saja.” “Kau tidak akan mengganggu, justru kau akan bosan.” Aiden yang berbicara. “Aku tidak ingin kau bosan ketika mengikuti rapat yang memang membosankan itu.” “Rapat membosankan kepalamu.” Raja tidak segan memukul cucunya. “Kinerjamu selama magang di kantor akan dinilai semua orang.” “Tapi tetap saja rapat itu pasti akan membosankan bagi Aju.” Aiden yang tidak mau kalah, malah berdeba
“Selamat pagi.” “Selamat pagi juga, Aju.” Tiara membalas sapaan itu dengan sama hangatnya. “Hari ini kau terlihat sangat bersemangat, apa ada sesuatu yang baik terjadi?” “Ada sih, tapi aku tidak akan mengatakannya.” Aju mengedipkan mata dengan jahil. Jujur saja, ini membuat Tiara agak terkejut. Hari ini memang Aju sudah kembali bekerja seperti biasa dan akan melanjutkan pemotretan dengannya, tapi tidak disangka kalau sang selebriti akan seriang itu. Jangankan Tiara, Kira sebagai manajer saja merasa bingung. [Malaikat: Baby, aku sudah sampai di tempat Tante Tiara dan akan bekerja. Kamu juga yang semangat ya di kampus.] Aju menyempatkan diri mengirimkan pesan itu pada sang kekasih dan membuatnya makin tersenyum. Iya, dirinya dan Aiden pada akhirnya resmi menjadi kekasih lagi. Itu pun setelah Aju berhasil membuat Aiden tersipu malu dengan kalimatnya sendiri. Aiden sudah mengakui perasaan dan ketakutannya akan masa